back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
33.3 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

Eco-anxiety : Anak Muda Makassar dan Kecemasan Iklim

Generasi muda Makassar tumbuh di tengah krisis iklim dan kecemasan yang tak mereka ciptakan. Dari gawai, kelas, hingga ruang keluarga, kekhawatiran mereka tak selalu...
BerandaEksklusifNafas Ekonomi di Trotoar: Potret Pekerja Jalanan Kota Makassar

Nafas Ekonomi di Trotoar: Potret Pekerja Jalanan Kota Makassar

“Setiap hari kami berjibaku di trotoar ini demi sesuap nasi dan hidup keluarga,” ujar Mohammad Abbas, pedagang kaki lima yang menjual nasi goreng di pinggir Jalan Bumi Tamalanrea Permai Perintis Kemerdekaan, Kota Makassar. 

MAKASSAR, inspirasinusantara.id Di tengah deru kendaraan dan aroma menggoda dari gerobak kaki lima, kehidupan ekonomi jalanan Makassar terus berdenyut.

Interaksi hangat antara pedagang dan pembeli menjadi pemandangan harian di trotoar-trotoar kota.

Sektor informal menjadi penyerap tenaga kerja yang signifikan di Makassar, seperti tercatat dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Makassar.

Para pelaku ekonomi jalanan ini turut berkontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Makassar Tahun 2023 mencapai Rp 226,90 triliun dan PDRB per kapita mencapai Rp. 155,95 juta atau US$ 8.607,08.

Namun, keberadaan mereka tidak lepas dari tantangan, mulai dari penertiban hingga cuaca ekstrem. Penataan kota yang kerap dilakukan pemerintah kadang menjadi dilema bagi mereka yang menggantungkan hidup dari aktivitas jalanan.

Baca juga: Panen Raya dan Lonjakan Konsumsi Rumah Tangga: Pertanian sebagai Motor Ekonomi Sulsel

Mohammad Abbas, pedagang nasi goreng selama 12 tahun, bercerita bahwa awal tahun adalah masa sulit baginya.

“Kalau awal tahun kemarin ya paling 30-an porsi maksimal, sekarang sudah syukur kalau habis 60 porsi,” katanya sambil membersihkan wajan.

Abbas mengaku sempat berpindah tempat dagang karena dilarang berjualan di lokasi awal.

“Awalnya di depan sana (depan gerbang BTP), tapi karena dilarang saya pindah ke sini, (masuk ke dalam) baru enam bulan saya di sini,” ungkapnya.

Menurutnya, musim hujan juga menjadi tantangan besar karena pelanggan cenderung enggan keluar rumah.

“Kalau musim hujan, pelanggan berkurang, orang biasa malas keluar di situ.”

Meski telah bertahun-tahun berdagang, Abbas mengaku belum pernah menerima bantuan atau pelatihan dari pemerintah.

Baca juga: Rupiah Menguat di Awal Pekan, Dolar AS Melemah Akibat Data Ekonomi

“Mana tahu soal pelatihan, kecuali mungkin yang sudah berkelas seperti yang di ruko-ruko begitu,” katanya.

Baca juga: Perkuat Ekonomi Syariah: BI Sulsel Gelar Forum Ekonomi Syariah dan Kukuhkan Pengurus Hebitren

Di sudut lain kota, tepatnya di batas Makassar-Gowa, Izzad, seorang pengamen, memainkan gitarnya untuk menyambung hidup.

“Saya mengamen sudah tiga tahun,” ujarnya, sambil memperhatikan lalu lintas yang padat.

Ayah dua anak ini memilih mengamen karena sulitnya mendapat pekerjaan tetap.

“Kalau ada kerjaan lain, tidak mengamen ji. Biasa jadi buruh bangunan kalau ada yang panggil,” jelasnya.

Bagi Izzad, bekerja di jalanan penuh risiko, terutama dari kendaraan besar dan debu yang beterbangan.

“Jangan mi dibilang debu, disenggol mobil atau motor juga bisa,” katanya sambil tertawa getir.

Ia mengaku tidak pernah bermasalah dengan aparat penertiban selama ini. Namun harapannya tetap sama.

“Kami maunya dibukakan lapangan kerja, apapun itu yang penting halal.”

Teman seprofesinya, Manda, memilih mengamen pada malam hari setelah bekerja sebagai buruh pabrik.

“Kalau bosan ji, tidak pergi. Kalau pergi, biasa untuk beli rokok atau sekadar ketemu teman,” ucapnya.

Mereka tak pernah memaksa pengendara untuk memberi uang, dan selalu berhenti saat lampu lalu lintas menyala hijau.

“Kalau hijau mi lampu, cepat maki ke pinggir jalan, merah pi baru mengamen ki,” jelasnya.

Di sisi lain jalan, Suwandi, seorang juru parkir di Jalan Perintis Kemerdekaan, juga menggantungkan hidup dari pekerjaan informal.

“Ini ji kerjaku, di kasih lokasi parkir sama om,” tuturnya.

Ia menyetorkan sebagian pendapatannya kepada orang yang memberinya lokasi.

“Biasa setor Rp100 ribu sampai Rp120 ribu, tergantung hasil hari itu,” katanya.

Suwandi mengaku kadang mendapat teguran jika kondisi parkir semrawut. Namun, ia tetap bertahan karena susahnya mencari kerja.

“Kalau mauki perhatikan, kita juga hidupi anak istri, sekarang susah cari kerja,” ujarnya.

Denyut ekonomi di jalanan Makassar menjadi potret nyata bagaimana sektor informal menopang kehidupan banyak warga.

Baca juga: Wali Kota Makassar Ajak FH Unhas Perkuat Sinergi Kebijakan Hukum dan Pembangunan Daerah

Di balik keterbatasan, para pekerja jalanan tetap menunjukkan keteguhan untuk hidup secara mandiri dan bermartabat. (mg1/IN)