back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
25.7 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

Bapenda Makassar Lakukan Penertiban Reklame Ilegal

MAKASSAR, Inspirasinusantara.id – Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Makassar kembali melakukan penertiban terhadap reklame ilegal yang tidak membayar pajak dan melanggar aturan perizinan. Penertiban ini...
BerandaEksklusifPelajaran Iklim dari Anak-anak yang Memilah Sampah di Makassar

Pelajaran Iklim dari Anak-anak yang Memilah Sampah di Makassar

MAKASSAR, Inspirasinusantara.id – Pagi di SD Negeri Pongtiku 2, Makassar, tak hanya diisi suara guru dan deru bel istirahat. Di halaman sekolah yang sempit, dua tong sampah berdiri berdampingan – satu bertuliskan “Organik”, satu lagi “Anorganik”.

Di dekatnya, anak-anak kelas dua tampak rapi berbaris, masing-masing membawa bekal dan sisa jajanan dari kantin.

“Yang ini masuk organik, karena sisa makanan,” kata Syila, siswi delapan tahun, sambil membuang kulit pisang ke tong hijau. Di sampingnya, temannya menaruh botol plastik ke tong merah.

Pemandangan ini bukan sekadar rutinitas. Sejak beberapa tahun terakhir, Hijra mengajak murid-muridnya memahami jenis-jenis sampah dan pentingnya memilah sejak usia dini.

“Kalau mereka sudah terbiasa dari kecil, harapannya nanti jadi budaya. Bukan sekadar tugas,” kata Hijra saat ditemui di sela-sela jam mengajar.

Dari Sisa Makan Siang ke Pupuk Sekolah

Kunci dari pendidikan lingkungan di SD Pongtiku 2 bukan sekadar memberi tahu. Tapi membiasakan lewat praktik. Sisa bekal makan siang—nasi, kulit buah, atau remah gorengan—tidak dibuang sembarangan.

Semua diarahkan ke tong organik. Sementara plastik pembungkus, botol minuman, dan sedotan dikumpulkan dalam wadah khusus yang nantinya ditimbang dan dijual ke pengepul.

Baca juga: Munafri Nilai Sampah di Kota Makassar Capai Level Darurat

Hasil penjualan plastik ini tak banyak, tapi cukup untuk membeli sabun, alat tulis, atau kebutuhan kebersihan kelas. Anak-anak diajak mencatat, menimbang, bahkan menghitung nilai rupiah yang mereka hasilkan dari sampah.

Lebih jauh dari itu, Hijra juga memperkenalkan kompos. Lokasinya berada di depan kelas, sekolah ini punya tempat sederhana untuk mengolah sampah organik menjadi pupuk.

“Kita bikin kompos dari kulit sayur dan nasi basi. Nanti dipakai buat kebun sekolah,” ujar Hijra.

Baca juga: Gaya Hidup Kekinian, Sampah Menggunung di Belakang Layar

Dari tangan-tangan kecil itulah, tomat dan cabai mulai tumbuh di sudut sekolah.

Belajar Bertanggung Jawab Lewat Sampah

Menurut Hijra, kebiasaan ini lebih dari sekadar proyek sekolah. Ia bagian dari pendidikan karakter.

“Kalau anak-anak paham bahwa membuang sampah itu berdampak, mereka akan lebih peduli pada lingkungan sekitarnya,” ujarnya.

Anak-anak pun mulai membawa cerita itu ke rumah. Ada yang menegur orangtuanya karena mencampur semua sampah ke kantong plastik besar. Ada pula yang meminta ibunya membuat tempat sampah dua jenis di dapur.

“Mereka itu cepat sekali belajar. Tinggal bagaimana kita kasih contoh terus,” kata Hijra.

Ia percaya, revolusi besar soal sampah hanya bisa dimulai dari tindakan kecil yang konsisten.

Kota yang Belum Memilah

Menurut data Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Makassar menghasilkan lebih dari 1.200 ton sampah per hari. Hanya sebagian kecil yang berhasil dipilah di sumber. Sisanya dibuang bercampur dan dikirim ke TPA Tamangapa yang kian penuh.

Ironisnya, meski sekolah seperti Pongtiku 2 sudah mulai memilah sampah dengan baik, sistem di luar pagar sekolah justru belum siap menyambut. Sampah yang sudah dipilah tetap diangkut truk pengangkut tanpa pemisahan.

Hijra mengakui tantangan itu. Namun ia memilih untuk tetap fokus pada apa yang bisa dilakukan di ruang kelas.

“Saya tidak bisa tunggu sistem sempurna. Tapi saya bisa mulai dari kelas saya. Itu saja dulu,” katanya.

Masa Depan dari Ruang Kelas

Kini, setiap Jumat, murid-murid Hijra tak hanya belajar membaca atau berhitung. Mereka menimbang sampah plastik, menulis data di papan tulis, menyiram kompos, dan menjaga tong sampah tetap bersih. Tidak semua anak langsung paham. Tapi setiap tindakan kecil dihargai.

“Mereka itu seperti spons. Cepat menyerap. Tinggal kita mau isi dengan apa,” kata Hijra.

Dari ruang kelas di ujung Kota Makassar itu, pelajaran tentang bumi, sampah, dan tanggung jawab sedang tumbuh. Mungkin belum sempurna. Tapi seperti semua hal yang tumbuh – Ia dimulai dari akar yang paling kecil.

Ketika Kota Mulai Mendengar

Upaya kecil di ruang kelas akhirnya menemukan gema di balai kota. Pada Selasa, 17 Juni 2025, Wali Kota Makassar Munafri Arifuddin—yang akrab disapa Appi—mengumumkan bahwa pemkot akan mendorong edukasi pemilahan sampah secara masif di lingkungan sekolah.

“Kebiasaan membuang sampah ini karena tidak ada edukasi terhadap prosesnya. Kita ingin semua terintegrasi, dan ini harus segera dieksekusi,” ujar Appi.

Pernyataan itu seperti menjawab kegelisahan Hijra dan banyak guru lain yang telah memulai inisiatif serupa tanpa sokongan struktural.

Appi menyebut bahwa sekolah akan menjadi titik mula dari revolusi pengelolaan sampah di Makassar.

Ia menginginkan agar anak-anak membawa contoh sampah dari rumah—daun, botol plastik, atau sisa kertas—untuk dipilah di sekolah. Konsep ini, katanya, akan ditindaklanjuti dengan distribusi sampah ke bank sampah, kompos, hingga urban farming.

“Nantinya hasil dari kegiatan ini bisa disalurkan kepada pelaku urban farming. Jadi proses ini berputar,” kata Appi.

Ia bahkan menjanjikan penyediaan tiga set tong sampah di setiap sekolah—depan, belakang, dan area kantor—agar anak-anak memahami proses pemilahan secara menyeluruh. Tujuan akhirnya bukan sekadar pemisahan fisik, tapi perubahan pola pikir.

Tantangan Menuju Integrasi

Namun, Hijra menyambut kabar itu dengan hati-hati. “Bagus sekali kalau pemerintah kota turun langsung. Tapi yang paling penting adalah konsistensinya,” ujarnya.

Ia mengingat, bahkan di sekolahnya yang sudah memiliki tong sampah organik-anorganik dan kompos, belum ada sistem yang terhubung dengan Bank Sampah.

“Sampah kami tetap diambil oleh truk biasa. Kalau dipilah lalu dicampur, itu menghancurkan semangat anak-anak,” katanya.

Persoalan integrasi ini juga disorot pegiat lingkungan. Kepala Departemen Riset dan Keterlibatan Publik WALHI Sulsel, Slamet Riadi, menilai inisiatif dari sekolah atau pemerintah kota hanya akan efektif jika didukung oleh sistem pengangkutan, pengolahan, dan regulasi yang serius.

“Jangan cuma berhenti di seremoni peluncuran. Harus ada audit, pelatihan guru, dan evaluasi berkala,” ujarnya.

Pada 2017, pemerintah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 97 tentang kebijakan dan strategi nasional pengelolaan sampah rumah tangga dan sejenisnya.

Melalui program Indonesia Bersih 2025, negara menargetkan pengurangan 30 persen dan penanganan 70 persen sampah melalui strategi dari hulu ke hilir.

Namun, seperti biasa, jalan kebijakan selalu lebih panjang dari jalan ke ruang kelas. Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) mencatat bahwa 41,9 persen sampah di Indonesia adalah sisa makanan, 18,7 persen plastik, dan sisanya gabungan dari kertas, tumbuhan, dan jenis lainnya. Yang paling menyumbang? Rumah tangga dengan 37,6 persen, disusul pasar tradisional dan pusat perniagaan.

Itu artinya, jika tong-tong kecil di rumah tak ikut memilah, tong-tong besar milik kota akan terus kebanjiran.

Pelajaran Iklim dari Tangan Kecil

Di tengah iklim yang kian panas dan pesisir Makassar yang kian terancam, aksi-aksi kecil seperti memilah sampah menjadi bagian penting dari mitigasi. Istilah 3R—reduce, reuse, recycle—bukan sekadar jargon kelas atas. Ia hidup, tumbuh, dan diamalkan dari ruang kelas dasar.

Meski berada jauh dari ruang kebijakan, Hijra percaya bahwa pendidikan lingkungan hidup di sekolah bukan sekadar mendidik anak-anak—tapi juga memberi sinyal ke pengambil kebijakan.

“Kalau anak-anak sudah sadar, orang tuanya akan ikut. Kalau satu sekolah berubah, lingkungan akan ikut,” kata Hijra.

Jika pemerintah benar-benar menepati janjinya, seperti yang diumumkan Appi, maka pengalaman seperti yang sedang tumbuh di SD Negeri Pongtiku 2 bukan lagi pengecualian, melainkan awal dari kebiasaan baru.

“Kalau tak mulai dari anak-anak, dari mana lagi kita bisa berharap kota ini berubah?” ujar Hijra.

Mungkin, di kota yang belum rampung memilah dan di tengah sistem pengelolaan sampah yang masih gamang, kisah seperti ini hanya sebutir pasir. Tapi dari pasir-pasir kecil, bisa lahir gelombang.

Saat pemerintah mulai mengakui pentingnya pendidikan sampah sejak dini, dan guru-guru  tak berhenti menanamkan kesadaran di ruang kelas, barangkali mimpi tentang kota yang lebih bersih tak lagi terdengar utopis.

Ia sedang bertumbuh—pelan-pelan, dari tangan-tangan kecil yang tahu ke mana membuang sisa bekal makan siangnya.