IN, GOWA — Di tengah arus modernitas, kearifan lokal berupa Bosara Gowa tetap memesona dengan keindahan bentuk dan nilai kehormatannya. Kearifan lokal ini menghadirkan lebih dari sekadar wadah kue, tetapi menjadi simbol estetika dalam setiap perayaan.
Dalam pusaran perubahan zaman, kearifan lokal Bosara terus bertahan di berbagai acara tradisional masyarakat Makassar. Kearifan lokal ini hidup di pesta pernikahan, syukuran, hingga seremonial resmi yang mengikat rasa kebersamaan.
Kearifan Lokal Sebagai Sumber Ekonomi
Daeng Romba (49), warga Desa Bontosunggu, Bontonompo Selatan, Gowa, menjadi satu dari sedikit penjaga kearifan lokal tersebut melalui produksi Bosara untuk keluarganya. “Karena masih ada ji pelanggan, pelangganku itu ada pendekor kalau menikah orang, ada yang kasih jadi erang-erang, ada juga na jual ji lagi kembali,” ucapnya.
BACA JUGA: Melestarikan 7 Kearifan Lokal Sulawesi Selatan di Tengah Modernitas
Daeng Romba menjelaskan, Bosara menjadi bagian penting dalam pesta adat, menyimpan makna penghormatan bagi setiap tamu yang datang. Di balik fungsi sederhananya, Bosara menghidupkan kekayaan rasa hormat dan nilai budaya.
Pada masa lalu, Bosara dibuat dari anyaman bambu yang dibalut daun lontar, dihias kain, serta dipercantik pernak-pernik sederhana. “Dulu itu masih yang dari daun lontar, jadi rangkanya bambu baru dianyami daun lontar, tapi sekarang Bosara Palipung mami yang begitu, kalau model biasa, jumbo, baskom sama turki itu dari besimi,” lanjut Daeng Romba.
Kini, Bosara berkembang dengan beragam model dan jenis kain, memperkaya kearifan lokal yang tetap relevan dengan zaman. “Banyakmi sekarang jenisnya, tegantung bentuk dan jenis kainnya, ada dibilang Turki, Organdi, Kain Lame, Brokat, Tempelan,” tambahnya.
Dalam memenuhi pesanan yang melonjak, Daeng Romba juga melibatkan tetangga sekitar dengan upah per lusin tergantung pada kerumitan model. “Kalau banyak pesananku, kupekerjakan tetangga, gajinya beda-beda, kalau palipung Rp15 ribu kalau besi ada Rp25 ribu ada Rp30 ribu, tergantung model,” pungkasnya.
Pegiat seni dan budaya, Salmiah, melihat Bosara sebagai representasi penting dari kearifan lokal masyarakat Makassar. “Sudah pasti saya mengenal bosara, benda itu digunakan saat acara tradisional seperti pernikahan, aqiqah maupun acara formal di kantor, sekolah, dan kampus,” ungkapnya.
Menurut Salmiah, Bosara tidak hanya memperindah penyajian makanan, tetapi juga menjaga nilai penghargaan dalam tradisi. “Ini perlu dilestarikan dan dipertahankan, sebab makanan yang disajikan dalam setiap acara tradisional maupun formal itu terlihat lebih estetik dan terhormat,” tutupnya. (mg1/IN)