back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
29.3 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

Makassar Makin Padat: Hutan Kota yang Hilang

MAKASSAR, Inspirasinusantara.id – Siang itu, Maulana Ishak menatap matahari dari balik jendela rumahnya di Mariso. Udara terasa tajam, menampar kulit tanpa ampun. Sinar mentari...
BerandaPerempuanPers di Ujung Tanduk: Ketika Jurnalis di Makassar Bertahan dalam Ketidakpastian

Pers di Ujung Tanduk: Ketika Jurnalis di Makassar Bertahan dalam Ketidakpastian

Di Makassar, kebebasan pers dirayakan dengan kegelisahan: upah minim, akses dibatasi, dan ruang kritik terus menyempit.

IN, Makassar — Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar menggelar diskusi publik bertajuk Pers di Ujung Tanduk, untuk memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia.

Bukannya perayaan, yang muncul justru semacam refleksi suram tentang kondisi pers lokal yang nyaris kolaps oleh tekanan dari berbagai arah.

“Kesejahteraan jurnalis di Makassar masih sangat jauh dari ideal,” kata Kepala Divisi Advokasi dan Ketenagakerjaan AJI Makassar, Syahrul Ramadhan.

Baca Juga: AJI: Kebebasan Pers di Indonesia Kian Memburuk

Pernyataan itu bukan keluhan, tapi potret tajam dari apa yang selama ini hanya dibisikkan di ruang-ruang redaksi.

Antara Target Berita dan Dapur yang Tak Ngebul

Di sejumlah media lokal, terutama yang baru bertumbuh, jurnalis dituntut untuk memproduksi lima hingga tujuh berita per hari. Tak peduli kualitasnya.

“Kalau tak setor berita, ya tak dapat honor,” ujar seorang jurnalis muda dari salah satu portal berita daring.

Di tengah tekanan itu, impian membuat liputan investigatif atau laporan mendalam hanya jadi wacana.

AJI mencatat, belum ada satu pun perusahaan media lokal di Makassar yang secara konsisten membayar jurnalisnya sesuai Upah Minimum Provinsi. Sebagian malah tidak memberikan kontrak kerja.

“Mereka hidup dari kerja sama iklan pemerintah. Begitu media mulai kritis, iklannya diputus,” kata Syahrul.

Tembok Kekuasaan dan Akses yang Dibatasi

Bekerja di bawah tekanan ekonomi hanya satu sisi dari kerentanan. Di sisi lain, jurnalis juga menghadapi tembok kekuasaan yang kian tinggi. Di lingkungan pemerintahan daerah, wartawan sering kali dibatasi dalam mengakses informasi.

“Kita datang bawa pertanyaan, mereka tanya balik: dari media mana? Kenapa datang sendiri?” tutur Syahrul.

Jawaban dari narasumber kerap ditentukan oleh relasi kekuasaan, bukan kebutuhan publik akan informasi.

Menurut Prof. Dr. Firdaus Muhammad, Guru Besar Komunikasi Politik UIN Alauddin Makassar, praktik ini jelas melanggar semangat demokrasi.

“Pejabat publik itu wajib melayani wawancara, baik oleh satu jurnalis maupun sepuluh. Pers bekerja untuk publik, bukan untuk dirinya sendiri,” ujarnya.

Demokrasi dalam Bayang-Bayang Kekerasan

Diskusi AJI pada 5 Mei 2025 tak hanya menyuguhkan data. Mereka juga menyuguhkan pementasan teatrikal yang menggetarkan: paket kepala babi, ancaman pembunuhan, dan simbol-simbol teror terhadap jurnalis.

Baca juga: Refleksi Kebebasan Pers: Teror Kepala Babi, Hantu PHK dan Bayang-bayang AI

Teater itu merujuk pada salah satu bentuk intimidasi nyata yang dialami jurnalis Tempo beberapa pekan lalu.

“Zaman sekarang, pembungkaman tidak selalu lewat peluru. Kadang cukup dengan pembatalan iklan,” kata Nurdin Amir, Koordinator Wilayah AJI Indonesia untuk Sulawesi.

Ia menyebut era pemerintahan Prabowo-Gibran sebagai masa yang menunjukkan tren kemunduran kebebasan pers.

“Negara ini ingin tampak demokratis, tapi lebih memilih buzzer daripada media independen.”

Jalan Sunyi Media Independen

Di tengah kondisi ini, AJI terus mendorong lahirnya media independen yang tak tergantung pada iklan pemerintah. Namun, jalan ini tak mudah.

Selain butuh modal dan keberanian, media semacam itu juga membutuhkan kepercayaan publik yang stabil.

“Pers seharusnya menjadi pilar demokrasi, tapi selama ini diperlakukan seperti pelayan kekuasaan,” kata Syahrul.

Direktur LBH Pers Fajriani Langgeng menilai Undang-Undang dan nota kesepahaman antara Dewan Pers dan lembaga negara terus diperbanyak, namun jurnalis di lapangan masih berkutat pada masalah yang sama: tekanan ekonomi, pembatasan informasi, dan kekerasan yang kerap tak pernah diusut tuntas.

Dalam beberapa tahun, kata dia, jurnalis kerap mengalami kekerasan, baik fisik maupun lewat serangan digital. Juga ada yang dilaporkan atas nama pencemaran nama baik.

Pers: Pilar yang Terkikis

Jika kebebasan pers menjadi ukuran demokrasi, maka yang terjadi di Makassar menunjukkan gejala sakit yang akut.

Baca juga: Pers Hanya Didengar Ketika Berkerumun

“Negara ini belum sembuh dari mental Orde Lama,” tutur Fajriani.

“Ada yang berubah, tapi pada dasarnya pola kontrol itu tetap lestari. Kini lebih rapi, lebih halus, tapi tetap menekan.”

Hari Kebebasan Pers Sedunia, sejatinya menjadi ruang refleksi: apakah pers benar-benar merdeka? Atau hanya berpindah dari satu bentuk pembungkaman ke bentuk lainnya? (mg1/IN)