back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
31.2 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

Hujan Lebat Disertai Petir dan Angin Kencang Ancam Sulsel Selama 3 Hari ke Depan

MAKASSAR, inspirasinusantara.id — BMKG Sulawesi Selatan mengingatkan masyarakat untuk lebih waspada dalam tiga hari ke depan, 3–5 Desember 2025. Hujan berintensitas sedang hingga lebat...
BerandaEksklusifAsap Warung, Jejak Karbon Kota Daeng

Asap Warung, Jejak Karbon Kota Daeng

Bagaimana seporsi tumis dan segelas kopi ikut memanaskan bumi.

Dapur yang Selalu Hidup

MAKASSAR, Inspirasinusantara – Pagi itu, langit belum benar-benar cerah di lorong 10 Jalan Rappocini Raya, Makassar. Di antara deret ruko dan dinding-dinding kusam, sebuah warung semi permanen berdiri dalam kesunyian yang pelan-pelan hidup.

Warung itu kecil—hanya sekitar satu setengah meter lebarnya dan enam meter panjangnya—terjepit di antara pagar bambu dan tembok ruko yang separuhnya mengelupas. Tapi dari celah kecil itulah dapur Ibu Rusni mengepul setiap hari.

Baca juga: Krisis Iklim dan Ironi Makanan Terbuang di Kota Makassar

Ia berdiri di depan rak sayur dan baskom plastik yang berisi tahu, tempe, serta potongan ikan yang sudah dibersihkan.

Pelanggannya datang silih berganti – dari tukang bentor yang biasa mangkal di ujung lorong, hingga driver ojek online yang mampir sejenak sebelum menerima pesanan berikutnya.

Baca juga: Pelajaran Iklim dari Anak-anak yang Memilah Sampah di Makassar

Ada juga karyawan toko, ibu rumah tangga, atau tetangga yang hanya ingin menyeruput teh hangat dan makan singkong goreng.

Semua terasa biasa saja di warung itu. Meja kayu berlapis taplak plastik, kursi plastik usang yang mulai retak di bagian kaki, dan etalase kaca kecil tempat lauk-pauk ditata seadanya.

Tapi justru dari kesederhanaan itulah, dapur Rusni menjadi saksi dari denyut hidup warga kota yang menggantungkan sarapan dan makan siangnya pada wajan, api, dan sejumput garam.

Setiap harinya, Rusni memasak sekitar 10 hingga 12 liter makanan. Belanja ikannya bisa mencapai dua ratus ribu rupiah sekali beli.

“Biasa beli ikan dua ratus ribu,” jelasnya.

Tambahan ayam seharga tujuh puluh ribu, tahu dan tempe sekitar lima puluh ribu, belum termasuk bumbu dan pelengkap lain. Semuanya dimasak sendiri, di atas kompor yang terus menyala sejak pagi hingga siang. Gas melon 3 kilogram menjadi andalan. Ia menggunakan tiga tabung untuk dua hari.

“Tiga tabung habis dua hari,” ungkapnya.

Ketika stok tersedia, harga bisa dikendalikan. Tapi ketika gas langka, harga ikut melonjak. Ia tak jarang harus berkeliling mencari tabung.

“Gas sering langka, kadang mahal sekali,” keluhnya.

Jika normal, harga antar gas ke rumah bisa 19 ribu rupiah. Tapi dalam situasi sulit, ia pernah membeli seharga 30 ribu.

Ia tak punya pilihan. Untuk menghemat, ia menutup panci saat memasak. Kecuali saat menumis atau menggoreng, penutup selalu digunakan untuk menahan panas.

“Kalau nasi, pasti ditutup,” katanya sambil tertawa.

Warungnya buka dari pukul 10 pagi hingga dua siang, kadang lebih cepat jika lauk cepat habis. Semuanya tergantung irama perut pelanggan dan stok bahan dapur. Sisa makanan ia buang bersama sampah lain, tanpa pemilahan.

“Saya tidak tahu itu karbon,” ucapnya polos saat ditanya soal perubahan iklim. Ia hanya tahu bahwa dapur harus tetap menyala, dan pelanggan tak boleh pulang lapar.

Cerita Rusni menjadi potongan dari mozaik besar — ribuan dapur rumah tangga di Makassar yang hidup setiap hari dengan elpiji subsidi.

Emisi dari Panci dan Ceret

Dapur Rusni menghabiskan ±4,5 kg elpiji per hari. Jika tiap kilogram gas menghasilkan ±3 kg karbon dioksida, maka ia melepaskan sekitar 13,5 kg CO₂eq setiap hari, atau 4,9 ton per tahun.

Makassar sendiri, menurut data BPS 2023, dihuni oleh sekitar 400 ribu rumah tangga. Jika 60 persen di antaranya menggunakan gas melon—sekitar 240 ribu rumah tangga—dan rata-rata konsumsi tiga tabung  per bulan, maka konsumsi elpiji di kota ini mencapai sekitar 2.160 ton per bulan, atau 72 ton per hari.

Artinya, dapur-dapur warga Makassar kemungkinan menyumbang lebih dari 216 ton karbon dioksida ekuivalen setiap hari—setara dengan emisi harian 47 ribu mobil pribadi.

Namun gas rumah tangga bukan satu-satunya sumber emisi. Makanan yang tak habis di piring pelanggan warung Rusni, kemungkinan besar berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tamangapa, bercampur dengan sampah plastik, kertas, dan sampah busuk lainnya. Saat terurai tanpa udara, limbah organik ini menghasilkan metana —gas rumah kaca yang 28-36 kali lebih kuat daripada karbon dioksida.

“Sisa makanan ada ji tukang sampah ambilki, sama ji dengan sampah-sampah lain,” ujar Rusni. Ia tak pernah memisahkan organik dan anorganik, seperti kebanyakan warga Makassar lainnya.

Perempuan dan Beban Karbon

Dapur—sebuah ruang domestik yang selama ini identik dengan kerja perempuan—ternyata juga menjadi ruang karbon. Dalam senyap, para ibu seperti Rusni menyokong konsumsi energi kota, menyumbang emisi, dan sekaligus menjadi korban dari sistem distribusi energi yang timpang.

“Kelangkaan gas bikin kita panik. Pernah itu saya keliling cari gas, akhirnya dapat yang harganya 30 ribu,” tutur Rusni.

Di sisi lain, kompor induksi dan energi bersih masih jadi wacana. Rosmini juga belum tertarik beralih dari gas, meski mengaku kini memakai rice cooker untuk memasak nasi.

“Supaya tidak boros gas,” ujarnya.

Jalan Panjang Menuju Dapur Rendah Emisi

Sejumlah pakar energi menilai bahwa Makassar membutuhkan langkah konkret untuk menurunkan emisi dari sektor rumah tangga—mulai dari transisi ke kompor listrik, penyediaan energi terbarukan bersubsidi, hingga sistem pengumpulan sampah organik yang terintegrasi. Tanpa intervensi nyata di ruang-ruang domestik, upaya mitigasi iklim akan terus timpang, karena emisi kecil dari jutaan dapur bisa membentuk tumpukan besar karbon yang tak terlihat.

Pemerintah Kota Makassar sendiri telah menggandeng UN-Habitat dan Asian Resilient Cities Program dalam pemasangan panel surya atap di sejumlah pasar tradisional sebagai proyek percontohan energi bersih. Namun hingga pertengahan 2025, program itu baru menjangkau 20 lokasi.

Sementara skema bank sampah dan biodigester belum berjalan efektif dan menjangkau kawasan padat seperti Rappocini dan Manggala, tempat ribuan rumah tangga masih bergantung sepenuhnya pada elpiji 3 kg.

Mengaduk Masa Depan

Menjelang siang, dapur Rosmini tetap sibuk. Wajan masih panas, air masih mendidih. Di bawah panci-panci itu, gas terus terbakar, perlahan memanaskan tak hanya air dan ikan, tapi juga atmosfer bumi.

Mereka tak pernah menyebut kata “iklim”, tapi dapur mereka adalah panggung kecil dari krisis besar. Selama kebijakan energi tetap tertahan di pusat, dan edukasi iklim tak menjangkau lorong-lorong rakyat, karbon akan terus mengepul dari warung dan rumah-rumah sederhana Kota Daeng. (Andi/IN)