MAKASSAR, inspirasinusantara.id — Budayawan, Alwy Rachman menjelaskan konsep semiotika sosial dalam seni lukis sebagai salah satu bentuk komunikasi simbolik yang mampu merepresentasikan dunia sosial dan membangun relasi antara seniman dan audiens. Hal ini disampaikan dalam Diskusi Semiotika Sosial dalam Lukisan refleksi terhadap pemaran lukisan Kurru Sumanga di Enre’co Coffee, Jl Bougenville, Makassar, Sabtu (31/05/2025).
Menurut Alwy, manusia hidup dalam semesta simbolik. Ia mengutip pemikiran Ernst Cassirer dalam An Essay on Man (1944) yang menyatakan bahwa manusia hidup dalam “symbolic universe”.
“Dalam konteks ini, semiotika menjadi salah satu dari empat cara manusia bernalar dan berekspresi, selain logika (bahasa), matematika, dan statistika,” jelas Alwy.
Mantan Dosen Universitas Hasanuddin itu menjabarkan bahwa semiotika terbagi dalam tiga mazhab besar: semiotika pragmatik (Charles Sanders Peirce), semiotika struktural (Ferdinand de Saussure dan Claude Lévi-Strauss), dan semiotika sosial (Michael Halliday dan Gunther Kress). Semiotika sosial, yang menjadi fokus utama paparannya, digunakan untuk menganalisis makna melalui representasi, interaksi sosial, dan struktur tekstual dalam karya seni.
“Dalam lukisan, kita tidak hanya melihat warna dan bentuk, tapi juga bagaimana elemen-elemen itu menyampaikan pengalaman sosial,” ungkap Alwy.
Alwy Rachman merinci bahwa analisis semiotika sosial mencakup lima aspek utama:
1. Representasi (Ideational Meaning). Menjawab pertanyaan apa yang dihadirkan dalam lukisan. Misalnya, lukisan anak memeluk ibu bisa dimaknai sebagai representasi kasih sayang dan kenyamanan.
2. Interaksi Sosial (Interpersonal Meaning). Melihat bagaimana lukisan membangun relasi dengan penonton. Tatapan langsung dari subjek, sudut pandang (angle), dan jarak visual (distance) berpengaruh pada makna yang dirasakan audiens.
3. Textual Meaning. Mengkaji komposisi visual, arah pandang, serta struktur gambar yang membentuk narasi. Komposisi seperti penempatan figur atau asosiasi sisi kiri dan kanan ikut menentukan interpretasi.
4. Modalitas. Menggambarkan derajat realisme atau imajinasi dalam karya. Alwy menyebutkan bahwa warna natural, bayangan, dan perspektif mendukung kesan realistik, sementara warna ekspresif menurunkan modalitas. “Modalitas bersifat budaya dan sangat bergantung pada konteks masyarakat,” jelasnya.
5. Multimodalitas. Penggunaan lebih dari satu mode komunikasi. Alwy mencontohkan lukisan yang dipamerkan bersama teks kuratorial, suara, atau instalasi aktif dapat memperkaya makna dan keterlibatan penonton.
Dalam pemaparannya, Alwy juga menekankan pentingnya teks kuratorial dalam membingkai makna. “Teks kuratorial adalah tindakan semiotik yang menciptakan jalur pemaknaan dan bisa mewakili atau bahkan menantang struktur sosial,” katanya.
Sebagai ilustrasi, ia menampilkan lukisan karya Gatot Indrajati berjudul Right or Wrong My Home yang memenangkan UOB Painting of the Year Award 2016. Karya bertema patriotisme ini menunjukkan bagaimana lukisan bisa memuat narasi sosial yang kuat dan multimodal.
Melalui pendekatan semiotika sosial, Alwy Rachman menegaskan bahwa lukisan bukan sekadar objek estetik, melainkan ruang diskursif yang sarat makna budaya dan sosial. Ia menutup sesi dengan ucapan “Kurru Sumanga”, salam hangat khas budaya Sulawesi Selatan. (*/IN)