Buka kunci konten ini
“Ketika pelaku usaha mikro merasa dilegalkan karena membayar retribusi, padahal belum ada penataan resmi, konflik pun sulit dihindari,” ujar Wakil Dekan II FEBI UIN Alauddin Makassar, Murtiadi Awaluddin, menyoroti persoalan pedagang kaki lima di Kota Makassar.
MAKASSAR, inspirasinusantara.id — Fenomena tumbuhnya pasar jalanan di berbagai sudut Kota Makassar dinilai menjadi dilema antara ketertiban kota dan kebutuhan ekonomi masyarakat kecil.
Pengamat Ekonomi, Murtiadi menyebut para pedagang kaki lima merupakan pelaku usaha mikro yang berperan penting dalam menopang kebutuhan keluarga mereka.
Banyak warga justru menyukai keberadaan pedagang di pinggir jalan karena praktis dan mudah dijangkau.
Namun, transaksi di atas kendaraan atau saat parkir di bahu jalan kerap menimbulkan kemacetan yang semakin parah dari waktu ke waktu.
Baca juga: Nafas Ekonomi di Trotoar: Potret Pekerja Jalanan Kota Makassar
Menurutnya, pada awalnya jumlah pedagang mungkin masih terbatas sehingga dampaknya belum terasa signifikan. Tetapi seiring meningkatnya jumlah penjual dan pembeli, kawasan itu menjadi ramai dan mengganggu kelancaran lalu lintas.
Masalah menjadi rumit ketika pihak berwenang tidak segera mengambil tindakan saat aktivitas mulai tumbuh.
“Sering kali pemerintah datang terlambat, setelah para pedagang merasa usahanya sah karena telah membayar retribusi,” jelasnya.
Baca juga: Bupati Enrekang Yusuf Ritangnga Perkuat Ekosistem Ekonomi Kreatif
Hal ini, kata dia, membuat sebagian pedagang mulai membangun lapak secara permanen di lokasi yang tidak resmi.
Kondisi ini menciptakan pasar-pasar liar tanpa izin dan menyebabkan konflik antara pedagang dan aparat pemerintah.
Di Makassar, kasus serupa terjadi di berbagai wilayah, bukan hanya di pusat kota. Murtiadi menilai pemerintah seharusnya sejak awal mendeteksi potensi terbentuknya pusat kegiatan ekonomi dan langsung menata area tersebut.
Ia menyoroti alternatif tempat resmi seperti pasar tradisional sering kali tidak terjangkau oleh pelaku usaha kecil.
Biaya sewa tinggi dan lokasi pasar yang jauh dari permukiman membuat mereka enggan berpindah.
“Pemerintah harus menyediakan lokasi berjualan yang dekat dengan masyarakat serta biaya terjangkau,” tuturnya.
Ia mengusulkan agar pemerintah menyiapkan lahan, sementara masyarakat bisa membangun sendiri los-los usaha secara gotong royong.
Menurutnya, kolaborasi seperti ini bisa menjadi solusi jangka panjang yang tidak memberatkan pedagang sekaligus tetap menjaga ketertiban kota.
“Dengan begitu, baik pedagang maupun masyarakat sebagai konsumen bisa sama-sama mendapatkan manfaat,” pungkasnya. (mg1/IN)



                                    