back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
30.1 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

Eco-anxiety : Anak Muda Makassar dan Kecemasan Iklim

Generasi muda Makassar tumbuh di tengah krisis iklim dan kecemasan yang tak mereka ciptakan. Dari gawai, kelas, hingga ruang keluarga, kekhawatiran mereka tak selalu...
BerandaEksklusifEco-anxiety : Anak Muda Makassar dan Kecemasan Iklim

Eco-anxiety : Anak Muda Makassar dan Kecemasan Iklim

Generasi muda Makassar tumbuh di tengah krisis iklim dan kecemasan yang tak mereka ciptakan. Dari gawai, kelas, hingga ruang keluarga, kekhawatiran mereka tak selalu mendapat tempat. Ini kisah mereka, yang takut tapi tak ingin diam.

MAKASSAR, Inspirasinusantara.id – Di sela tumpukan tugas kuliah dan tekanan hidup di usia dua puluhan, Rezky Amelia, mahasiswi semester empat Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, menemukan dirinya dihantui oleh ketakutan yang tak kasat mata. Bukan ujian atau kegagalan akademik, melainkan bumi yang semakin renta.

“Perasaan khawatir, cemas, dan takut,” ujarnya pelan.

Ketika tubuhnya lelah dan pikirannya jenuh, ia membuka TikTok sekadar mencari hiburan. Tapi yang muncul justru tayangan banjir di Cina dan spekulasi soal pecahnya Perang Dunia Ketiga. Saat itulah, kecemasannya kian memuncak.

“Saya belum bisa jadi apa-apa di tengah bumi yang semakin rusak dan tua,” katanya.

Perasaan itu, menurut Rezky, tak enak sama sekali. Ia hanya bisa membantu menyebarkan informasi terkait bencana dan perubahan iklim, berharap orang-orang mulai sadar akan kerusakan yang sedang terjadi. Tapi respons di sekelilingnya tak selalu sejalan.

“Sering, apalagi kepada orang tua dan teman. Mereka bereaksi khawatir dan cemas,” ujarnya.

Baca juga: Pakaian Bekas di Makassar dan Iklim yang Kian Sesak

Namun ketika ditanya soal tindakan nyata dari lingkungan sekitar, Rezky menggeleng.

“Untuk sejauh ini tidak pernah, karena mereka juga merasa bingung harus berbuat apa.”

Di kampus, obrolan tentang krisis iklim hanya sesekali muncul, seperti dalam pelajaran geografi. Itupun dalam bentuk diskusi yang tak berlanjut ke tindakan. Ia menyadari bahwa kesadaran itu belum menjalar luas.

“Yang peduli hanya sebagian dan selebihnya merasa abai.”

Baginya, media sosial seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, ia bisa menyuarakan kegelisahan. Di sisi lain, ia juga melihat bagaimana platform itu membuat generasinya menjadi abai dan lebih mementingkan hal-hal yang tidak berguna. Namun ia menolak larut dalam ketakutan.

“Kalau saya terus-terus takut dan tidak bergerak pastinya tidak ada perubahan. Tapi jika saya tetap bersemangat maka dunia terasa lebih indah.”

Perasaan serupa juga dirasakan Abir Sud’ma, mahasiswa Universitas Hasanuddin dan Puteri Remaja Makassar 2025. Ia tak hanya takut, tapi juga marah.

Baca juga: Kesehatan Warga Tergerus Krisis Iklim Makassar

“Sedih karena alam yang seharusnya kita jaga malah rusak. Takut karena rasanya bencana itu makin dekat dan bisa terjadi kapan aja. Dan marah karena kadang aku merasa orang-orang yang punya kuasa kayak nggak benar-benar peduli.”

Kecemasan itu datang bukan hanya dari berita global, tapi dari kejadian nyata yang ia saksikan sendiri. Suatu hari, hujan deras menenggelamkan sebagian jalanan kota. Warga kehilangan rumah. Saat itu, pikir Abir, ini bukan lagi soal “alam yang marah, tapi ada yang salah dengan sama cara hidup.

Ia sering mempertanyakan masa depannya sendiri. “Buat apa kita sekolah tinggi-tinggi, punya cita-cita, kalau bumi kita aja udah nggak sehat?” Kekhawatiran akan kekurangan air, udara kotor, hingga cuaca ekstrem menghantui. Namun, ia menyadari tak semua orang bisa memahami beban pikirannya.

“Kadang aku ngerasa perasaan ini terlalu berat buat dibahas. Nggak semua teman ngerti, dan orang dewasa sering nganggep aku terlalu sensitif. Jadi aku simpan sendiri, dan itu bikin makin sesak.”

Untuk meredamnya, Abir menulis jurnal. Ia juga aktif mencari komunitas dan akun media sosial yang membahas solusi iklim. Melihat orang lain juga membuatnya merasa tak sendiri. Namun, ketika berbagi cerita kepada orang tuanya, ia tidak menemukan dukungan yang diharapkan.

“Mereka bilang aku ‘kebanyakan mikir.’ Mereka maksudnya baik, tapi rasanya malah makin sendiri.”

Di sekolah maupun kampus, ruang untuk membahas soal ini nyaris tak ada. “Jarang banget. Kadang disentuh di pelajaran IPA, tapi lebih ke teori,” ujarnya.

Ia juga belum pernah merasakan peran guru BK dalam mendampingi perasaan cemas terhadap iklim. “Biasanya fokus ke masalah nilai, pergaulan, atau keluarga. Perasaan cemas soal iklim kayaknya belum dianggap serius di dunia pendidikan.”

Respons lingkungan sosial terhadap isu ini, menurut Abir, juga tak menggembirakan. Sebagian besar masih cuek. Mereka lebih fokus ke hal-hal praktis kayak kerja, ekonomi, pendidikan. Padahal, kata dia, semua itu juga bakal terdampak kalau krisis iklim makin parah.

Meski dihimpit ketakutan dan rasa sepi, Abir ingin perubahan iklim menjadi topik serius. Ia berharap isu ini masuk kurikulum, dibahas di rumah, dan dijadikan bagian dari program sekolah.

“Yang paling penting: jangan cuma disuruh hemat listrik, tapi juga diajak mikir dan beraksi bareng,” katanya.

Ia percaya, generasinya punya alasan kuat untuk lebih peduli. Lantara melihat sendiri perubahan cuaca yang makin gila, banjir makin sering, dan berita buruk tiap hari.

“Kita tumbuh di tengah krisis, jadi wajar kalau kita lebih peka.”

Ia mengaku yang membuatnya bertahan hingga saat ini adalah adalah komunitas. Ia melihat anak-anak muda bergerak di pelbagai daerah.

“Aku percaya, meskipun kecil, aksi kita bareng-bareng bisa jadi perubahan besar.”

Perumnas Antang, kawasan padat di pinggiran Makassar, seorang remaja duduk di dalam kamar sempit sambil memandangi layar gawainya. Di sela berita olahraga dan hiburan, muncul kabar tentang suhu global yang kian naik. Fahri, siswa kelas 11 SMAN 19 Makassar, langsung merasa cemas.

“Merasa khawatir karena atmosfer bumi semakin menipis,” katanya.

Kekhawatirannya tak bersifat abstrak. Ia membayangkan orang-orang yang setiap hari bekerja di bawah terik matahari: buruh bangunan, ojek online, penjual kaki lima. Mereka, pikir Fahri, yang paling pertama merasakan dampaknya.

Kecemasan tentang lingkungan lambat laun menyatu dengan kegelisahan soal masa depan pribadinya. Ia takut tak bisa menjadi sesuatu.

“Takut karena tidak bisa mencapai sesuatu yang saya inginkan dan tidak bisa membanggakan kedua orang tua saya.”

Ketika musim hujan tiba, perasaan tak nyaman itu berubah jadi ancaman konkret. Ia menyebut banjir sebagai momok yang “selalu menghantui.” Pernah, katanya, ia bingung harus berbuat apa. Tidak tahu bagaimana menghadapi semua rasa cemas yang datang tiba-tiba. Namun, ia tidak ingin diam.

“Saya memikirkan tentang menghadapi kecemasan tersebut karena saya yakin bahwa perubahan itu pasti ada,” ujarnya.

Perubahan yang ia maksud bukan sekadar iklim yang memburuk, tapi juga perubahan sikap. “Seperti membayar dari kondisi lingkungan yang sekarang,” katanya, sambil menyebut beberapa tindakan kecil yang bisa ia lakukan: membuang sampah pada tempatnya dan mengurangi penggunaan plastik.

Dalam satu kesempatan, Fahri menyampaikan kegelisahannya kepada gurunya. Reaksi sang guru membekas dalam ingatannya.

Ia juga mengingat pelajaran sekolah yang pernah membahas banjir dan perubahan suhu bumi. Bagi Fahri, ini bukan sekadar materi ujian. Ini kehidupan nyata. Karena itu, ketika ada kegiatan kerja bakti di sekolah, ia ikut turun tangan.

“Mengambil sampah yang berserakan di lingkungan sekolah dan di lingkungan luar sekolah.”

Namun, tidak semua orang seusianya punya kepedulian yang sama.

“Ya 50-50,” katanya. “Ada sebagian yang tidak mau merasakan hal tersebut. Ada yang peduli, ada yang tidak peduli.”

Di tengah keterbatasan yang ia hadapi sebagai pelajar, Fahri tetap punya harapan besar. Ia meminta pemerintah untuk turun tangan.

“Melakukan kerja bakti di kawasan Makassar terutama dan Indonesia untuk mengurangi aktivitas sampah yang berbahaya.”

Ia percaya, generasinya punya potensi besar menjaga bumi. Ia menilai generasi muda ini bisa lebih menjangkau tentang kehidupan di bumi ini untuk masa depan yang cerah. Semangat itu muncul dari lingkungan sekitar. Ia tidak ingin orang-orang di sekitarnya hidup dalam kerusakan.

“Saya tidak ingin melihat masyarakat di sekitar saya terganggu terhadap kerusakan lingkungan.”

Cemas yang Bukan Milik Satu Anak

Kecemasan anak muda bukanlah fenomena tunggal di sudut-sudut Kota Makassar. Di luar kamar mereka, jutaan anak muda lain merasakan hal yang sama—meski tak selalu bisa mengucapkannya.

Pada 2021, sebuah studi yang diterbitkan di The Lancet Planetary Health melibatkan 10.000 responden muda dari sepuluh negara. Hasilnya mencengangkan: 59 persen responden menyatakan sangat khawatir terhadap perubahan iklim,dan 45 persen mengaku kecemasan itu memengaruhi kehidupan mereka sehari-hari. Bahkan, lebih dari 75 persen merasa masa depan dunia tampak menakutkan. Ini bukan sekadar rasa takut biasa, tapi keresahan eksistensial yang menyelimuti masa remaja.

Fenomena ini telah diakui oleh American Psychological Association (APA) sejak 2017. Mereka menyebutnya eco-anxiety—kecemasan yang muncul bukan karena masalah personal, tapi akibat memburuknya kondisi bumi. Dalam laporan mereka, gejalanya meliputi kesulitan tidur, overthinking, hingga rasa tidak berdaya yang berulang. Bila tidak ditangani, eco-anxiety bisa berkembang menjadi depresi atau gangguan stres pascatrauma (PTSD), terutama pada mereka yang mengalami bencana secara langsung.

Anak muda Indonesia pun tidak luput. Dalam Youth Climate Survey yang dilakukan UNICEF Indonesia tahun 2022, tercatat bahwa 77 persen responden muda Indonesia mengaku khawatir terhadap dampak perubahan iklim. Namun, yang mengkhawatirkan, hanya 24 persen merasa mendapatkan cukup informasi soal perubahan iklim di sekolah. Mayoritas menyatakan ingin terlibat, tetapi tidak tahu bagaimana caranya.

Di kota Makassar, ancaman itu bukan sekadar wacana. Data BMKG Makassar menunjukkan bahwa dalam 20 tahun terakhir, suhu udara di kota ini meningkat sekitar 0,7 derajat Celsius. Perubahan suhu yang tidak terasa bagi sebagian orang itu berdampak nyata bagi warga yang hidup di pemukiman padat, rumah non-permanen, atau pekerja lapangan. 

***

Ketika remaja mulai takut bermimpi karena khawatir bumi tak lagi layak dihuni, pertanda ada sesuatu yang lebih dari sekadar keresahan sesaat. Bagi Andi Tenri Pada Rustham, psikolog dan dosen tetap di Fakultas Kedokteran Unhas, kondisi ini bukan ilusi.

“Eco-anxiety adalah kondisi psikologis yang ditandai dengan kecemasan yang berhubungan dengan kekhawatiran akan kerusakan lingkungan dan perubahan iklim yang terus berlangsung,” katanya, merujuk pada definisi yang dikembangkan oleh Clayton dkk. pada 2017.

Berbeda dari kecemasan umum yang umumnya berkutat pada masalah pribadi atau sosial, eco-anxiety muncul secara spesifik karena ancaman terhadap planet ini. Ciri khasnya adalah perasaan cemas yang muncul secara spesifik saat memikirkan isu-isu lingkungan dan masa depan bumi. Bukan karena ujian, bukan pula soal hubungan sosial.

Gejala-gejalanya tak selalu kentara. Bisa berwujud rasa takut dan cemas berlebihan ketika mendengar berita bencana alam, perasaan putus asa terhadap masa depan, bahkan kesulitan tidur dan overthinking yang terus-menerus. Dalam beberapa kasus, mood anak bisa berubah drastis: mudah marah, sedih, atau menjauh dari pergaulan.

Bila tak ditangani, Tenri mewanti-wanti, eco-anxiety bisa menjadi jalan masuk gangguan psikologis lain.

“Terutama depresi,” ujarnya.

Ia menyebut perasaan kehilangan harapan sebagai pemicu yang kerap tak disadari. Dalam kasus tertentu, khususnya pada anak yang pernah mengalami bencana secara langsung, gejala itu bisa berkembang menjadi trauma psikologis, bahkan PTSD.

Tenri mengamati, generasi muda saat ini jauh lebih rentan dibanding generasi sebelumnya. Bukan karena mereka lebih lemah, melainkan karena paparan informasi yang terlalu intens dan tanpa jeda.

“Mereka tumbuh di era informasi digital yang sangat cepat dan intens, di mana berita tentang bencana dan perubahan iklim terus-menerus hadir di media sosial dan media arus utama,” katanya.

Sayangnya, sistem pendidikan belum cukup siap menghadapi kenyataan ini. Kurikulum sekolah, menurutnya, masih belum mampu memberikan pemahaman yang konstruktif dan solusi yang bisa dipraktikkan.

Akibatnya, banyak remaja merasa seolah hanya korban dari krisis, tanpa pegangan atau alat untuk bertindak.

Situasi kian buruk bagi anak-anak yang tinggal di wilayah rawan bencana. Di tempat seperti Makassar, yang rutin dihantam banjir dan suhu ekstrem, risiko eco-anxiety lebih tinggi.

“Paparan langsung terhadap bencana bisa meningkatkan perasaan takut, stres, dan ketidakpastian terhadap masa depan,” ujar Tenri.

Namun, ia percaya bahwa kecemasan ini bisa dikelola—bukan ditekan atau diabaikan. Salah satu pendekatan pertama adalah pendidikan emosional.

“Membantu remaja mengenali dan memahami perasaan mereka terkait isu lingkungan,” katanya.

Setelah itu, strategi coping seperti teknik relaksasi dan mindfulness bisa membantu meredam pikiran negatif. Tak kalah penting, pemberdayaan. Remaja perlu diberi ruang untuk ikut ambil bagian dalam aksi lingkungan, sekecil apa pun itu.

“Agar mereka merasa memiliki kontrol dan kontribusi nyata,” ujarnya.

Dalam hal ini, dukungan sosial—dari keluarga, guru, komunitas—menjadi pondasi penting. Tenri juga mendorong integrasi isu ini dalam pendidikan formal.

“Sangat perlu. Pendidikan formal harus memasukkan pendidikan kesehatan mental terkait perubahan iklim dan eco-anxiety,” katanya tegas.

Bukan sekadar menakuti lewat fakta-fakta bencana, tapi juga memberikan pemahaman seimbang tentang solusi dan cara menjaga kesehatan psikologis.

Baginya, pendidikan yang inklusif soal iklim adalah modal membentuk generasi yang tidak hanya peduli lingkungan, tapi juga tangguh menghadapi tantangan zaman.

“Generasi yang tidak hanya cemas, tapi juga siap.” (Andi/IN)