MAKASSAR, Inspirasinusantara.id – Sore menggantung pelan di atas Makassar. Matahari meluruhkan panasnya ke genting-genting toko yang mulai lengang, sementara bayangan pohon dan kabel listrik yang semberawut menjalar di aspal Jalan Toddopuli.
Di sisi jalan, berdiri etalase sederhana yang menyambut siapa pun yang melambatkan langkahnya.
Di sanalah Darul membangun harapannya setiap hari. Ia tiba menjelang pukul empat, membuka lapak dagangannya tanpa gegap gempita. Tak ada peluit penjaja, tak ada spanduk mencolok.
Pakaian berbaris rapi — tersusun berjejer di atas gantungan baja ringan. Semua tampak tenang, nyaris seperti museum mode jalanan.
Baca juga: Cerita Ibu Herdianti dan Jejak Karbon di Piring Prasmanan Makassar
Jaket outdoor, running, rompi, crewneck, hoodie, hingga celana kargo bekas dari negeri jauh tergantung seperti ingatan masa muda yang tak ingin dibuang.
Beberapa telah luntur, beberapa lainnya masih menyimpan aroma pelembut pabrik. Tapi tak satu pun Darul tumpuk sembarangan. Ia gantung setiap helai seperti menata puisi.
“Saya mau orang bisa lihat karakter,” ujarnya suatu hari, saat matahari baru condong.
Lapaknya tidak besar, hanya beberapa meter persegi menyita tepi jalan. Tapi di ruang sekecil itu, Darul membangun dunia alternatif. Dunia di mana pakaian lama diberi hidup kedua, dan barang-barang tak lagi baru bisa kembali memikat.
Ia berbejer di antara kawat gantungan dan etalase besi yang kokoh, menyambut siapa saja yang datang: anak muda berburu gaya, ibu rumah tangga yang mencari harga miring, hingga pengendara motor yang sekadar menepi karena penasaran.
“Ada yang suka karena murah, ada yang suka karena motif. Tapi jarang yang tanya, apakah ini menyelamatkan bumi,” katanya sambil mengepulkan asap rokok.
Ia tahu, dagangannya tidak sedang menyelamatkan dunia. Tapi ia juga tahu: jika pakaian-pakaian ini tidak digantung di sini, mungkin akan mengendap di tempat pembuangan akhir, bersama sepi dan limbah-limbah tak bersuara.
Darul mulai menekuni bisnis ini sejak awal 2025. Ia melihat ada cela dan potensi yang menjanjikan dari bisnis ini. Dengan menjual pakaian bekas secara daring dan langsung di pinggir jalan, ia melihat peluang besar.
“Market-nya menjanjikan,” ujarnya.
“Apalagi anak muda sekarang suka yang beda.”
Namun bisnis ini bukan tanpa ironi. Di tengah meningkatnya kesadaran lingkungan, usaha Darul bersandar pada industri yang disebut PBB sebagai salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di dunia: industri tekstil.
Data UN Environment menunjukkan bahwa sektor fesyen menyumbang sekitar 8–10% emisi global dan limbah tekstil tahunan mencapai puluhan juta ton, termasuk potensi membebani “budget karbon” dunia.
“Saya tahu industri tekstil menyumbang banyak polusi. Tapi bukan itu alasan saya jualan,” kata Darul.
“Saya lihat peluang di sini. Dan ya, banyak orang butuh kerja.”
Di Antara Sampah dan Fashion
Darul tidak memosisikan dirinya sebagai bagian dari gerakan ramah lingkungan. Baginya, pakaian bekas bukan tentang mengurangi limbah, melainkan menjaga kultur fashion—khususnya pakaian original dan vintage.
“Sebagian besar barang drifting itu ori. Ini tentang mempertahankan sirkulasi fesyen, bukan soal lingkungan,” tuturnya.
Namun data menunjukkan sisi gelap dari industri pakaian global. Laporan UN Environment mencatat bahwa industri fesyen bertanggung jawab atas 20% limbah air global dan sekitar 10% total emisi karbon dunia. Setiap tahun, lebih dari 92 juta ton limbah tekstil dihasilkan—jumlah yang bisa menutupi satu negara kecil.
Di Indonesia, fenomena thrifting telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, menciptakan pasar alternatif yang semarak, tapi sekaligus membuka dilema baru; legalitas barang impor bekas, potensi limbah sekunder, dan peran negara dalam mengatur keseimbangan antara ekonomi informal dan keberlanjutan.
Bisnis di Wilayah Abu-abu
Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Perdagangan telah melarang impor pakaian bekas karena alasan higienis dan perlindungan industri lokal. Tapi celah hukum tetap ada.
“Kami tahu itu ilegal, tapi ini seperti sindiran balik ke negara. Kalau lapangan kerja tidak tersedia, ya kami cari sendiri,” ujar Darul.
Menurutnya, arus masuk pakaian bekas sudah “obesitas”—istilah yang ia gunakan untuk menggambarkan banjirnya barang dari luar negeri. Ada “pintu-pintu tikus” di pelabuhan dan gudang yang menjadi jalur masuk pakaian-pakaian bekas ini.
Ia menyebut praktik ini sebagai bentuk kompromi antara kebutuhan ekonomi warga dan ketidakhadiran negara.
“Pemerintah banyak memberi larangan, tapi tak memberi solusi. Orang butuh makan, bukan hanya imbauan,” katanya.
Darul tidak menampik bahwa drifting tetap menyumbang tumpukan sampah jika tak dikelola dengan baik. Namun, menurutnya, usaha ini masih lebih baik ketimbang pakaian dibuang ke selokan atau TPA tanpa pernah digunakan kembali.
“Ada nilai ekonomi, ada perputaran. Setidaknya kita beri napas kedua sebelum jadi limbah.”
Tren, Bukan Kesadaran
Dari pengamatannya, konsumen lebih didorong oleh alasan estetika dan harga, bukan kesadaran lingkungan.
“Mereka ikut tren. Jarang yang benar-benar berpikir soal bumi,” ujarnya.
Namun ada perubahan yang ia rasakan – permintaan pakaian bekas terus meningkat, bahkan dari kalangan kelas menengah. Barang-barang yang dulu dianggap murahan kini menjadi simbol gaya hidup alternatif.
Kendati begitu, Darul sadar, jika tidak dikelola, bisnis ini bisa menjadi bagian dari siklus konsumsi berlebihan yang justru memperparah krisis lingkungan.
“Entah itu baju bekas atau baru, tetap saja kalau dibeli berlebihan, ya menumpuk jadi sampah juga.”
Menunggu Kebijakan yang Adil
Senja menjulur pelan di langit Makassar, menumpahkan emas lembut di atas aspal Jalan Toddopuli yang hangat. Deru sepeda motor turun satu oktaf; suara klakson terseret angin sore yang mulai jinak.
Di salah satu bahu jalan, di antara warung kopi dan kios pulsa, Darul membuka ritual harian—menata empat jejeran pakaian pada gantungan besi.
Ia mengerjakan semuanya seperti orang menata altar: Jaket outdoor disandingkan jaket hoodie lusuh, jaket running diapit celana cargo yang warnanya mulai memudar. Udara beraroma debu jalanan bercampur wangi pelembut kain yang tersisa di serat‑serat tua.
Di sela gerakan tenang itu, Darul sesekali menepuk celana lusuhnya, membuang debu imajiner seolah sedang menepikan kekhawatiran.
Kalau ada pelatihan dari pemerintah untuk mengembangkan usaha agar lebih ramah lingkungan?
“Saya siap ikut,” katanya mantap.
Kalimat itu mengalir pelan, seperti air yang mencari celah di bebatuan. Baginya, pelatihan bukan sekadar tiket menuju label “ramah lingkungan”, melainkan cara sederhana menjaga agar setiap helai yang pernah dijahit tak langsung jadi sampah.
Darul tahu peta lebih lebar daripada lapaknya. Ia mendesah singkat—pelan, nyaris tak terdengar di tengah desing rem kendaraan pribadi —lalu meneguk kopi dari gelas kaca yang mulai hangat.
“Kita ini negara pasar, bukan negara produsen,” lanjutnya, mata menatap menyeberangi arus kendaraan.
“Jadi kalau pemerintah mau membatasi drifting, tolong siapkan juga pintu keluar, buka peluang kerja, akses modal, hingga sistem daur ulang. Jangan cuma bilang ‘dilarang!’ tanpa jalan keluar.”
Lampu pijar kini membentuk lingkar cahaya samar di atas rangka besi. Setiap pakaian yang Darul gantung mencerminkan perjalanan panjang; ladang kapas yang menyedot air sungai, mesin pewarna yang melepas limbah, kapal kargo yang membelah lautan dan menebarkan karbon di langit. Namun ia juga memuat cita‑cita sederhana: uang belanja esok hari, uang persiapan sekolah anak, dan waktu rehat bagi istri yang menunggu di rumah.
Lapak pakaian bekas itulah simpul paradoks zaman. Terlalu banyak pabrik memproduksi, terlalu murah tangan manusia membeli, terlalu lambat kesadaran mengejar dampaknya.
Ekonomi trotoar bertaut dengan krisis iklim; getah konsumsi global menetes di lapak selebar tiga meter itu. Darul berdiri persis di antara dua pusaran: kebutuhan hari ini dan planet yang mulai sesak napas.
Sementara lampu kendaraan berminyak membentuk sungai cahaya di kejauhan, Darul merapikan rompi yang sedikit miring. Lalu entah kepada siapa, ia berbisik, “Baju‑baju ini—semoga masih ada yang sayang.”
Dan di udara yang mulai lembap, bisikan itu terdengar seperti doa bagi selembar kain, juga bagi bumi yang diam‑diam menimbang beban karbonnya. (*)