MAKASSAR, Inspirasinusantara – Ember bekas cat berukuran 25 kilogram itu berdiri di sudut dapur warung. Di dalamnya, sisa-sisa nasi, lauk, dan potongan sayur menumpuk bersama plastik-plastik bekas dan air cucian.
Di rumah makan milik Herdianti, perempuan paruh baya yang sudah belasan tahun berjualan di Jalan Cilallang Jaya, Kelurahan Buakana, Rappocini, Kota Makassar, sampah dapur menjadi penanda zaman yang berubah—dan pasar yang makin sesak.
“Dulu itu bisa habis 25 kilo beras sehari,” katanya sambil mengaduk sayur nangka di panci besar.
“Kalau sekarang paling 10 kilo, tapi kalau libur mahasiswa, tidak sampai mi (semakin berkurang).”
Warungnya berdiri tak jauh dari kampus Universitas Negeri Makassar (UNM) Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Kesehatan. Pelanggannya kebanyakan mahasiswa.
Hanya saja, sejak deretan penjual makanan menjamur di sepanjang Jalan Rappocini—dari ayam crispy hingga nasi bungkus serba Rp5.000—ia mesti berbagi ruang dan rezeki. Termasuk menanggung risiko lebih banyak makanan yang terbuang.
Baca juga: Krisis Iklim dan Ironi Makanan Terbuang di Kota Makassar
“Dulu sore pi baru ada yang jualan. Sekarang, dari pagi sampai malam, penjual makanan banyak mi,” keluhnya.
Herdianti tak banyak bisa bersaing dalam hal harga. Menu di warungnya tergolong tradisional — perkedel jagung dari lima bonggol jagung, tumis kol dan wortel dari dua kilogram sayuran, tempe empat potong, serta sayur nangka sebiji yang dimasak untuk dua-tiga hari. Ia memilih kesegaran ketimbang stok besar.
Baca juga: Kisah Dg Sese dan Krisis Iklim di Kota Makassar
Namun, dalam sehari, tak semua masakan tandas.
“Kalau mahasiswa, kadang ada yang sisakan makanan. Tapi jarang ji. Mereka pilih sendiri lauk dan ambil sayur. Biasa saya juga ingatkan jangan mi banyak nasinya,” ujarnya.
Sisa-sisa yang tak habis—nasi setengah piring, lauk tak disentuh, sayur mengering di sudut piring—kadang diambil tetangganya yang punya ternak bebek. Tapi tidak setiap hari ada yang datang.
“Kalau tidak ada, ya kubuang ji. Sama sampah-sampah yang lain.”
Ia lalu menunjuk ember bekas cat yang jadi tempat penampungan utama. Satu-satunya tempat sisa makanan dicampur dengan limbah lainnya.
“Kadang penuh, kadang tidak,” katanya.
Petugas kebersihan datang rutin. Tapi soal isi ember itu—apa yang terbuang, berapa banyak, dan dari siapa—tak pernah menjadi perhitungan.
Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) KLHK, terdapat 19,4 juta ton timbulan sampah pada 2023. Dari jumlah tersebut 41,76 persen merupakan sampah sisa makanan, lebih besar dibandingkan sampah anorganik seperti sampah kertas 11,02 persen dan plastik 18,39 persen.
Sementara data dari Pemerintah Kota Makassar 2024 menunjukan bahwa kota ini mampu menghasilkan 1.200 ton sampah per hari. Parahnya, didominasi sampah makanan.
Di kota dengan lebih dari 1,5 juta penduduk, fenomena ini kasatmata. Di warung-warung sederhana seperti milik Ibu Herdianti, sisa makanan adalah cerita sehari-hari. Tak tercatat, tak dibahas, tapi pelan-pelan menjadi beban.
Di tengah inflasi bahan pangan dan krisis iklim global, makanan yang tak habis bukan sekadar pemborosan. Ia adalah ironi.
***
Sore itu, Herdianti kembali menata nasi di piring-piring. Mahasiswa mulai berdatangan setelah kelas usai. Satu per satu mengambil nasi, memilih lauk, dan duduk. Ia tahu tak semua akan dihabiskan.
Hanya saja, seperti banyak pedagang kecil lainnya, ia tak punya banyak pilihan. Membatasi masak berarti kehilangan pelanggan. Memasak terlalu banyak berarti kehilangan makanan.
Ia lalu melirik ember di dapur.
“Yah, besok penuhmi lagi.”
Jejak Karbon di Piring Prasmanan
Makassar dikenal dengan slogan “Kota Makan Enak”. Namun di balik santapan hangat rumah makan prasmanan, dari warung Tunjuk-Tunjuk hingga Kedai Biru, mengendap persoalan yang tak tercium lidah – jejak karbon yang kian membesar.
Penelitian tim dari Universitas Hasanuddin yang dipublikasikan dalam Jurnal Bisnis, Manajemen, dan Informatika pada Februari 2023 mengungkapkan bahwa warung-warung prasmanan di Makassar menghasilkan emisi karbon dalam jumlah signifikan akibat pola konsumsi energi dan food waste.
Rumah Makan Mba Sari tercatat sebagai penghasil emisi tertinggi—0,72 ton CO₂ ekuivalen per bulan hanya dari listrik, gas, dan bahan bakar minyak.
“Kami mendapati banyak UMKM yang secara tidak sadar membakar energi lebih banyak dari yang mereka butuhkan,” kata Daniella Sampepajung, peneliti utama studi tersebut.
“Kebiasaan overproduction dan sisa makanan berlebih memperparah emisi yang seharusnya bisa ditekan.”
Riset ini mencakup 20 UMKM prasmanan di Makassar yang telah beroperasi lebih dari tiga tahun. Hasilnya mencengangkan. Pemakaian listrik, sisa makanan, bahan bakar gas, dan BBM jadi kontributor utama.
Yang lebih mengejutkan adalah sumber emisi yang datang dari sampah organik—sisa makanan yang tidak dikonsumsi. Warung Mardati, misalnya, menyumbang 25% dari total emisi karbon yang dihasilkan seluruh sampel UMKM, hanya dari limbah makanan.
“Sebagian besar pengusaha belum sadar bahwa limbah itu mengandung jejak karbon yang sama besar dengan bahan bakar,” ujar Daniella.
Tren Prasmanan dan Budaya Boros
Masalahnya bukan hanya pada konsumsi energi, tapi juga budaya makan itu sendiri. Sistem prasmanan, yang kini marak karena dinilai praktis dan ekonomis, justru menjadi ladang pemborosan.
“Dalam satu jam, bisa ada tiga panci habis tak disentuh,” ungkap Pak Iwan, pemilik salah satu warung prasmanan. Ia mengaku sering menyisakan makanan karena takut pelanggan kecewa jika sajian terlihat kosong.
“Kalau enggak banyak, mereka pikir kita pelit.”
Menurut studi, perilaku seperti ini masuk dalam kategori overproduction—memasak lebih dari yang diperlukan. Akibatnya, makanan yang tak tersentuh dibuang begitu saja. Dalam skala mikro, ini tampak remeh. Tapi dalam skala kota? Efeknya mengkhawatirkan.
Lean-Green: Solusi yang Belum Menyebar
Studi Unhas menggunakan pendekatan Lean dan Green Waste Production. Secara sederhana, dua metode ini menekankan efisiensi operasional dan pengurangan dampak lingkungan.
Jika UMKM mampu mengurangi gerakan yang tidak perlu, memperkirakan jumlah produksi yang tepat, dan meminimalisasi pemakaian listrik serta bahan bakar, maka emisi karbon bisa ditekan drastis.
Namun, sebagian besar UMKM kesulitan mengadopsinya.
“Pengetahuan dan teknologi masih jadi tantangan besar,” kata Nurazmi Afifah, anggota tim riset.
Banyak pelaku usaha menganggap efisiensi identik dengan penghematan biaya, bukan pengurangan karbon.
Kota Tanpa Peta Karbon
Makassar sejatinya punya visi sebagai low carbon city, berkolaborasi dengan sejumlah pihak internasional. Tapi sayangnya, tidak ada peta karbon spesifik untuk sektor kuliner, apalagi untuk UMKM.
Untuk mengatasi problem ini, para peneliti Unhas menyarankan beberapa langkah praktis, antara lain, mengganti kompor gas dengan kompor listrik hemat energi, menerapkan sistem kompos dari limbah makanan, menyediakan pelatihan perencanaan menu efisien berbasis data, serta mengadopsi sistem value stream mapping yang mampu mengukur titik-titik pemborosan energi.
Makassar, kota dengan jejak sejarah kuliner yang panjang, kini berada di persimpangan. Apakah ingin tetap menjadi surga makanan dengan konsekuensi ekologis, atau bertransformasi jadi kota makan enak yang juga ramah iklim?
Dapur-dapur kecil di Kota Daeng kini menyimpan pertaruhan besar: apakah piring-piring prasmanan akan terus menyumbang karbon diam-diam, atau mulai dirancang menjadi ladang efisiensi dan kesadaran baru? (Andi/IN)