back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
32 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

Bapenda Makassar Lakukan Penertiban Reklame Ilegal

MAKASSAR, Inspirasinusantara.id – Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Makassar kembali melakukan penertiban terhadap reklame ilegal yang tidak membayar pajak dan melanggar aturan perizinan. Penertiban ini...
BerandaPemerintahanIhwal Sekolah Rakyat di Makassar: Solusi atau Ilusi?

Ihwal Sekolah Rakyat di Makassar: Solusi atau Ilusi?

IN, MAKASSAR – Di lorong-lorong Salodong, Kecamatan Biringkanaya, kata “sekolah” kembali mengandung harapan. Wacana pembangunan Sekolah Rakyat yang dilirik Pemerintah Kota Makassar dan Kementerian Sosial menjadi secercah cahaya bagi warga yang lama bergelut dengan akses pendidikan terbatas.

Tapi di kampus dan ruang diskusi akademik, ide besar ini mulai diuji secara kritis: benarkah ini solusi, atau sekadar ilusi baru dalam kebijakan populis?

Fika Maydasari, 28 tahun, adalah salah satu yang memegang harapan itu erat-erat.

“Kalau memang ini betul untuk rakyat, saya dukung ji,” ujarnya dari rumahnya di Biringkanaya.

Di mata Fika, Sekolah Rakyat bisa menjadi titik balik: bukan hanya menyediakan ruang belajar, tapi juga memutus mata rantai kemiskinan yang menjerat banyak keluarga di wilayahnya.

“Tapi semoga bukan hanya janji. Anak-anak di Salodong juga berhak bermimpi,” katanya, menatap jalan tanah di depan rumahnya.

Menurutnya, masa depan Makassar tak cukup dibangun dengan jalan mulus atau gedung menjulang.

“Bukan infrastruktur yang menentukan kemajuan daerah, tapi SDM yang unggul,” ujarnya.

Baca juga: Sekolah Rakyat Bakal Dibangun di Makassar

Fika tahu betul jurang itu nyata. Di daerahnya, akses pendidikan belum merata. Ia membandingkan kondisi Biringkanaya dengan kecamatan lain seperti Panakkukang atau Rappocini—yang menurutnya lebih dahulu melaju.

“Di sini, masih jauh tertinggal,” ujarnya lirih.

Harapannya sederhana tapi dalam: agar anak-anak Salodong tidak terus tertinggal dari anak-anak dari kecamatan lain.

“Kalau betul-betul ada Sekolah Rakyat, mungkin itu bisa bantu kami kejar ketertinggalan,” ucapnya.

Dalam raut wajah Fika, ada rasa cemas sekaligus optimisme. Ia tahu perubahan tak datang secepat mimpi. Tapi ketika ia membayangkan anak-anak kecil di daerahnya bisa sekolah dengan layak—tak hanya cerdas secara akademik, tapi juga peka terhadap lingkungannya sendiri—ia tersenyum kecil.

“Itu baru Makassar 2045 yang betul,” katanya pelan, seraya melirik gang sempit tempat anak-anak bermain petak umpet di bawah tiang listrik kusam.

***

Di salah satu sudut sunyi di Kecamatan Biringkanaya, Makassar, seorang anak perempuan bernama Naila (12) duduk bersila di atas tikar usang.

Rumahnya berdinding tripleks reyot, berdiri di atas lahan milik orang lain. Sejak ayahnya berhenti bekerja karena sakit, keluarganya terjerembab dalam kemiskinan ekstrem. Namun, nasib Naila berubah pada Kamis, 8 Mei lalu.

Baca juga: Kisah Gelap di Balik Dinding Sekolah Disabilitas Makassar

Hari itu, Menteri Sosial Saifullah Yusuf, yang akrab disapa Gus Ipul, datang langsung ke Makassar. Ia membawa secercah harapan: beasiswa dari Presiden Prabowo Subianto untuk Naila, siswa Sekolah Rakyat yang dinilai layak menerima bantuan negara.

Tak hanya Naila, ratusan anak seperti dirinya akan segera mendapat akses pendidikan gratis lewat dua Sekolah Rakyat yang direncanakan berdiri di Makassar.

Pemerintah pusat menargetkan 53 titik Sekolah Rakyat dibuka secara nasional pada 2025. Dua di antaranya berlokasi di Sulawesi Selatan.

“Yang di Makassar sudah siap untuk 100 siswa, dan di BPSDM ini bisa menampung hingga 400 siswa,” kata Gus Ipul saat meninjau ruang belajar di gedung Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Provinsi Sulsel.

Lokasi kedua berada di Kelurahan Untia, wilayah pesisir yang sebagian besar dihuni keluarga nelayan dan buruh pelabuhan.

Di dua titik itu, Pemprov Sulsel dan Pemkot Makassar telah menyiapkan sarana dan prasarana, meski renovasi dan pengadaan alat penunjang pendidikan masih menunggu survei teknis dan penyusunan Rencana Anggaran Biaya (RAB).

“Yang tahap pertama sudah berjalan, sementara Makassar masuk tahap kedua. Tapi tahun ini tetap kita mulai. RAB-nya sedang disusun,” ujar Gus Ipul.

Pendanaan Tiga Arah

Program Sekolah Rakyat dibiayai penuh oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun pemerintah daerah tak lepas tangan. Pemprov Sulsel dan Pemkot Makassar ikut menyokong anggaran pelengkap.

“Mana yang belum tercover pusat, nanti ditopang provinsi dan kota,” katanya.

Tenaga pengajar pun diambil dari aparatur sipil negara (ASN) yang diusulkan oleh pemda. Untuk kepala sekolah, Pemkot Makassar dan Pemprov Sulsel akan menentukan nama-nama calon berdasarkan kualifikasi yang disyaratkan Kementerian Sosial.

Dari Rumah Reyot ke Harapan Baru

Kisah Naila mencerminkan urgensi dari keberadaan Sekolah Rakyat. Hasil asesmen tim Pendamping Keluarga Harapan (PKH) menunjukkan bahwa Naila dan ratusan anak lainnya hidup dalam kondisi tak layak: rumah berdempetan tanpa sanitasi, akses pendidikan rendah, dan penghasilan keluarga tak menentu.

Tak tinggal diam, Presiden Prabowo disebut telah memberi perhatian khusus. Salah satu langkah konkret adalah mendorong relokasi keluarga seperti Naila ke kawasan yang lebih manusiawi.

Pemerintah Kota Makassar merespons dengan menyiapkan lahan di Salodong untuk pembangunan 30 unit rumah layak huni.

Pembangunan dilakukan secara bertahap. Proyek ini menjadi simbol kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam menjawab problem struktural kemiskinan kota.

Sekolah Bagi Mereka yang Terpinggirkan

Sekolah Rakyat adalah program afirmatif pemerintah untuk anak-anak dari keluarga miskin, terlantar, dan tidak bersekolah. Di banyak tempat, program ini menjadi jalan keluar bagi mereka yang selama ini tercecer dari sistem pendidikan formal.

Di Makassar, di mana ketimpangan sosial masih tajam, program ini memberi angin segar. Dari lorong-lorong kumuh, dari anak-anak yang tinggal di atas rawa-rawa buangan kota, negara akhirnya hadir lewat ruang kelas dan papan tulis sederhana.

Sekolah Rakyat: Solusi atau Ilusi untuk Makassar 2045?

Bergeser ke pertanyaan yang lebih dalam: mungkinkah model pendidikan alternatif ini menjadi jawaban atas ketimpangan kualitas sumber daya manusia di Makassar?

Pakar Pendidikan Universitas Negeri Makassar, Prof. Arismunandar, menyambut ide itu dengan hati-hati.

Baginya, Sekolah Rakyat berpotensi menjadi jalan pintas untuk mengangkat anak-anak dari keluarga miskin agar memiliki kesempatan setara dalam pendidikan.

Namun, ia juga mengingatkan bahwa solusi yang tampak “berpihak pada rakyat” tidak selalu bebas dari jebakan.

“Saya kira ini ide bagus untuk mengentaskan rakyat miskin,” ujar mantan Rektor UNM itu.

“Tapi jangan sampai sekolah ini jadi mahal dan menguras anggaran pendidikan secara tidak proporsional.”

Ia merujuk pada potensi pembiayaan besar yang diperlukan jika sekolah ini mengadopsi sistem asrama, pendampingan intensif, dan fasilitas yang menjauh dari standar sekolah reguler.

Ketimpangan itu, menurutnya, justru bisa menciptakan friksi baru dalam sistem pendidikan kota: si miskin mendapat fasilitas premium, sementara sekolah umum tetap bergulat dengan kekurangan anggaran.

Miskin Tak Berarti Tak Berprestasi

Sebagai pendidik yang puluhan tahun berkutat di dunia akademik, Prof. Arismunandar tahu tantangan utama bukan sekadar anggaran, tapi motivasi dan kesiapan peserta didik.

“Motivasi diri siswa untuk berprestasi itu kunci. Dan kenyataannya, anak-anak dari keluarga miskin umumnya menghadapi hambatan psikososial dan kultural yang tidak kecil,” jelasnya.

Ia mempertanyakan apakah siswa yang dipilih masuk Sekolah Rakyat benar-benar siap menjalani pola hidup berasrama. Apakah mereka punya daya tahan mental dan kecakapan belajar yang memadai?

“Kalau tidak berprestasi, lalu apa gunanya dibiayai mahal?” katanya lugas.

Lebih jauh, ia melempar tantangan substansial: apakah benar Sekolah Rakyat akan menghasilkan lulusan yang lebih unggul ketimbang sekolah-sekolah lokal di kampung mereka sendiri?

“Jangan-jangan nanti hasilnya justru biasa saja. Padahal, dengan intervensi yang tepat, sekolah lokal bisa jauh lebih efektif dan murah.”

Gratisan yang Menjebak?

Dalam nada setengah cemas, Prof. Arismunandar mengingatkan bahwa kebijakan pendidikan sering kali menciptakan anomali sosial.

Ia mencontohkan kemungkinan masyarakat berlomba-lomba mengaku miskin agar bisa masuk sekolah gratis, tanpa motivasi belajar yang tulus.

“Jangan sampai nanti semua orang tiba-tiba miskin karena ada sekolah gratis,” sindirnya.

Oleh karena itu, ia menegaskan pentingnya seleksi yang ketat, bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga kesiapan mental dan intelektual.

“Sekolah gratis bukan hadiah. Ini investasi. Dan investasi butuh perhitungan,” ujarnya.

Masa Depan Setelah SMA

Satu kekhawatiran besar lainnya adalah kesinambungan pendidikan. Jika Sekolah Rakyat hanya sampai tingkat SMA, bagaimana nasib lulusan yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi?

“Ada kesenjangan besar di situ. Jika tidak disiapkan dengan beasiswa atau skema lanjutan, maka siswa kembali terjebak. Tamat SMA, lalu selesai,” kata Prof. Arismunandar.

Ia berharap agar wacana Sekolah Rakyat tidak berhenti sebagai proyek populis, tetapi benar-benar disiapkan sebagai ekosistem pendidikan jangka panjang.

Di tengah gejolak antusiasme warga dan janji-janji manis dari pejabat, suara Prof Arismunandar menjadi pengingat keras: bahwa ide besar dalam pendidikan hanya akan berhasil jika dibangun di atas struktur yang kuat, terukur, dan berpihak pada kualitas, bukan sekadar kuantitas belas kasih. (mg1/IN)