Ketika Panglima TNI diduga diintervensi, dan seorang mantan ajudan Presiden mencuat ke permukaan
IN, Makassar — Langit politik militer kembali bergejolak akhir April lalu. Letnan Jenderal Kunto Arief Wibowo, perwira tinggi yang dikenal berpengaruh di tubuh TNI, tiba-tiba dipindahkan dari jabatan Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) I menjadi Staf Khusus Kepala Staf Angkatan Darat.
Posisi baru itu, dalam tradisi militer, kerap dianggap sebagai “tempat parkir” sebelum purnatugas. Namun, drama belum usai. Sehari berselang, keputusan mutasi itu dibatalkan.
Kisruh ini menyeret nama-nama besar. Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin, anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDIP, menjadi salah satu suara vokal yang mengkritisi proses mutasi tersebut.
Dalam sebuah wawancara dengan Kompas TV, Senin pagi, 5 Mei 2025, ia mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kemungkinan adanya intervensi dari pihak sipil dalam proses tersebut.
“Kalau mutasi Letjen Kunto dilakukan atas perintah Presiden, itu sah, karena Presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi atas TNI,” ujarnya.
“Tapi kalau bukan? Ini bahaya.”
Menurut UUD 1945 Pasal 10, Presiden—dalam hal ini Prabowo Subianto—memegang kekuasaan tertinggi atas ketiga matra TNI. Panglima TNI memang memiliki wewenang memutasi perwira tinggi, kecuali untuk posisi strategis seperti Kepala Staf Angkatan. Tapi, Hasanuddin mempertanyakan: atas perintah siapa mutasi Letjen Kunto dilakukan?
Sorotan tajam TB Hasanuddin mengarah ke sosok Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo.
Ia mencurigai keterlibatan Jokowi dalam pergantian Letjen Kunto, terlebih karena posisi yang ditinggalkan Kunto disebut-sebut akan diisi oleh Laksamana Muda Hersan, mantan ajudan Jokowi semasa menjabat presiden.
“Kalau benar begitu, berarti Panglima TNI ini bekerja atas arahan Presiden ke-7. Ini yang tidak benar,” kata Hasanuddin.
Dugaan intervensi dari lingkaran Jokowi makin menguat setelah mencuatnya Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/554/IV/2025, yang menunjuk Hersan sebagai pengganti Kunto. Namun, hanya berselang sehari, keputusan itu dibatalkan melalui Kep/554.a/IV/2025.
Spekulasi pun merebak. Mengapa mutasi itu tiba-tiba dibatalkan? Apakah karena tekanan politik, atau karena polemik internal di tubuh TNI? Apakah Presiden Prabowo mengetahui, atau justru tidak dilibatkan dalam keputusan awal?
Baca juga: Warga Desak Cabut Izin Tambang Pasir di Mamuju Berujung Tindakan Represi
Letjen Kunto bukan nama sembarangan. Ia putra dari Wakil Presiden ke-6, Jenderal (Purn) Try Sutrisno. Selama karier militernya, Kunto dikenal memiliki jaringan kuat di Angkatan Darat dan dinilai dekat dengan beberapa faksi politik.
Amankan Jalur
Beberapa pengamat menyebut, pemindahan Kunto ke posisi non-strategis seperti staf khusus bisa saja dimaknai sebagai upaya untuk “mengamankan jalur” bagi perwira lain yang lebih dekat dengan lingkar kekuasaan lama.
Polemik ini menjadi ujian pertama bagi Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto di era Presiden Prabowo.
Baca juga: Destinasi Wisata Mandatte Park, Permandian Bernuansa Pegunungan
Apakah ia akan berdiri sebagai panglima yang independen dan tegak di bawah komando presiden, atau menjadi panglima yang terombang-ambing dalam tarikan kepentingan sipil dan sisa pengaruh kekuasaan sebelumnya?
Kisruh mutasi ini membuka tabir bahwa pergolakan di tubuh TNI belum sepenuhnya usai.
Dan publik, kini menanti, siapa yang sesungguhnya sedang memainkan bidak catur di balik layar.