back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
26.7 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

Masa Orientasi Sekolah Makassar Usung Edukasi Lingkungan dan Parenting

MAKASSAR, Inspirasinusantara.id --Masa orientasi sekolah tahun ajaran baru di Kota Makassar akan menekankan pada pengenalan lingkungan hidup melalui pembiasaan buang sampah pada tempatnya dan...
BerandaKulinerKuliner Khas Sulsel: Di Antara Arang, Aroma, dan Kenangan

Kuliner Khas Sulsel: Di Antara Arang, Aroma, dan Kenangan

inspirasinusantara.id — Kuliner khas Sulsel bukan hanya persoalan selera, tapi cara sebuah budaya mempertahankan dirinya di tengah gempuran zaman. Ia merawat jejak sejarah lewat racikan rempah, menjaga identitas melalui aroma, dan menyampaikan narasi leluhur lewat setiap suapan.

Kuliner khas Sulsel bukan sekadar soal rasa. Ia adalah tafsir panjang tentang identitas, ketahanan, dan ingatan kolektif yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lain.

Di Makassar—jantung budaya Sulawesi Selatan setiap sajian menyimpan narasi yang tak bisa dibaca dari buku sejarah, tapi bisa dicicipi lewat semangkuk coto yang mengepul sejak subuh atau sepotong jalangkote yang digoreng di lorong sempit. Kuliner khas di kota ini adalah arsip yang bisa dimakan; medium yang merawat budaya dalam wujud yang paling akrab: rasa.

Dalam kuliner khas Sulsel, kita menemukan cara orang-orang melawan lupa dan mempertahankan warisan leluhur melalui dapur. Songkolo dengan taburan kelapa sangrai bukan sekadar sarapan, melainkan representasi keintiman antara tanah dan tubuh.

Karebosi: Iga, Bara, dan Waktu yang Dibelah

Di jantung kota, di Jalan Gunung Lompobattang, asap arang menyambut pengunjung. Konro Karebosi, berdiri sejak 1968, adalah semacam monumen kuliner.

Baca juga : Kuliner Khas Sulsel Dirombak Gen Z, Tetap Lezat dan Berkarakter

Di meja-meja kayu yang padat oleh peluh dan percakapan, potongan iga disajikan dalam dua bentuk: dibakar kering dengan sentuhan kecap pekat, atau direbus dalam kuah cokelat gelap yang kaya rempah. Mereka yang duduk di sini bukan hanya menyantap, tapi mengenang: tentang zaman ketika jalan-jalan Makassar belum sepadat kini.

Coto Nusantara: Subuh dan Sumsum

Lima menit dari Pantai Losari, di Jalan Nusantara Baru, aroma kuah kacang menyusup dari dalam mangkuk coto. Warung ini buka sejak pagi buta, saat matahari belum sepenuhnya naik.

Berdiri sejak 1978, Coto Nusantara menawarkan potret kota yang bangun lebih awal demi mengejar rasa. Daging dan jeroan direbus dalam waktu lama, lalu disiramkan ke dalam mangkuk yang disandingkan dengan burasa. Di sini, waktu pelan-pelan mengental jadi tradisi.

Pallubasa Serigala: Makan sebagai Ritual

Jalan Serigala, Mamajang, mungkin hanya salah satu dari banyak jalan tua di Makassar. Tapi sejak 1987, ia dikenal sebagai tempat ziarah rasa.

Pallubasa Serigala hanya punya satu menu, tapi itulah kekuatannya. Jeroan yang dimasak dengan santan dan rempah, dilengkapi telur ayam kampung mentah yang pecah dalam kuah panas—memantik keintiman antara rasa dan tubuh.

Mie Titi: Warisan Diaspora Tionghoa

Kalau jalan ke Boulevard, temui Mie Titi. Ia adalah kisah diaspora: dimulai dari Angko Cao, imigran Tionghoa yang mengolah mie kering dengan teknik goreng garing. Kemudian diwariskan ke anaknya, Titi.

Kini, mie ini jadi ikon kuliner khas  Makassar. Ia melintasi kelas, generasi, bahkan negara. Di atas piring, mie garing itu dilengkapi kuah kental dan topping ayam, hati, dan sayur. Di balik renyahnya, tersimpan narasi tentang integrasi dan ketekunan.

Sop Ubi Datu Museng: Lorong, Generasi, dan Ubi Goreng

Di Jalan Datu Museng, aroma bawang putih dan kacang goreng menyesaki udara. Sejak 1963, warung ini tetap sederhana, nyaris tak berubah. Ubi goreng dipotong kecil, dicampur bihun, tauge, daging, dan telur.

Di atasnya, taburan bawang goreng dan kerupuk menjadi penanda rasa rakyat. Tempat ini diwariskan hingga generasi ketiga. Makan sop ubi di sini seperti membuka lembaran memoar keluarga yang panjang.

Songkolo Bagadang: Tradisi di Pinggir Kota

Antang, di pinggir Makassar, punya denyut malam yang khas. Songkolo Bagadang Alhamdulillah adalah buktinya.

Nasi ketan hitam disajikan dengan kelapa sangrai, sambal, dan telur asin. Dulunya, ini makanan acara adat.

Kini, ia bertahan sebagai alternatif santap malam warga kelas menengah ke bawah. Dalam kesederhanaannya, ia menyimpan rasa hormat pada tradisi yang menolak pupus oleh kota yang terus berkembang.

Otak-Otak Ibu Elly: Rasa yang Dikemas

Di Maricaya, Otak-Otak Ibu Elly berdiri sebagai simbol kuliner yang bertransformasi. Dari resep keluarga, otak-otak ikan ini kini dikemas dalam kotak karton yang elegan, menembus pasar nasional, bahkan jadi buah tangan bagi pejabat yang berkunjung ke Makassar.

Selain otak-otak, tersedia juga bolu kambu, sop kepala ikan, hingga pallu kaloa. Ini bukan sekadar bisnis. Ia adalah diplomasi rasa.

Pallumara Mappanyukki: Asam yang Menyadarkan

Di sebuah gang kecil di Jalan A. Mappanyukki, kepala ikan kakap direbus dalam kuah kuning beraroma daun salam dan asam. Pallumara Mappanyukki tak pernah sepi.

Rasanya menggigit, menyegarkan, dan kadang menyentak kesadaran bahwa kuliner terbaik lahir dari dapur yang tak takut menyuguhkan rasa apa adanya.

Jalangkote Lasinrang: Gorengan sebagai Arsip

Di Lasinrang, sejak 1985, jalangkote tak pernah absen dari etalase kecil Ny. Lili Montolalu. Ia bukan pastel. Kulitnya lebih tipis, isinya lebih padat.

Bersama lumpia dan bikang, jalangkote menyimpan rasa zaman. Gorengan ini jadi bagian upacara, bagian keseharian, dan bagian dari cerita tentang tangan-tangan perempuan yang menjaga dapur Makassar tetap hangat.

Yang Bertahan di Antara Beton

Makassar mungkin berubah cepat—trotoar disulap jadi lahan parkir, warung kecil terdesak gerai waralaba. Tapi rasa punya cara bertahan. Ia bersembunyi di lorong, di warung tua, di tangan-tangan cekatan yang menolak menyerah pada modernitas instan.

Karena selama masih ada songkolo yang ditanak perlahan, masih ada coto yang direbus subuh-subuh, dan masih ada ibu-ibu yang mengisi jalangkote dengan ketelitian yang tak bisa digantikan mesin, Makassar tetap punya denyut. Denyut itu ada di ujung lidah—dan di dalam kenangan. (*/IN)