back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
31.4 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

6 Tempat Wisata Menyaksikan Sunset di Sulawesi Selatan

inspirasinusantara.id -- Sulawesi Selatan tak hanya kaya tradisi dan kuliner, tetapi juga menawarkan deretan tempat wisata yang menawan, terutama saat senja tiba. Di antara...
BerandaPerempuanOpiniLelaki yang Menanam Harapan di Pesisir Pangkep

Lelaki yang Menanam Harapan di Pesisir Pangkep

Penulis
Achmad Yusran
Ketua LSM Lingkungan Hidup Forum Komunitas Hijau

Senja merangkak perlahan di pesisir Pangkep, membawa serta bisik angin yang mengusap dedaunan bakau, seolah alam sendiri yang bercerita tentang seorang lelaki yang menjadikan lumpur sebagai kanvas, dan bakau sebagai syair hidupnya.

Namanya Haji Hamzah. Usianya telah melampaui enam dekade, tapi gurat semangatnya masih tegak seperti akar Rhizophora yang mencengkeram tanah.

Sejak remaja, ia menanam bakau satu demi satu, bukan dengan sekadar tangan, tapi dengan hati yang merindukan pesisir tak terkikis waktu. Setiap bibit yang ia tanam adalah janji: janji pada laut, pada tanah, pada generasi yang akan datang.

Bakau Bukan Hanya Pohon, Tapi Nadi Kehidupan

Bagi Hamzah, hutan bakau ini bukan sekadar penghalang ombak atau pemecah gelombang. Ini adalah jantung yang berdetak, menyimpan denyut kehidupan di setiap jengkalnya.

Akar-akar yang menjalar seperti tangan penyelamat, tak hanya menahan abrasi, tapi juga menjadi rumah bagi kepiting berlarian, ikan yang bersembunyi, dan udang yang berkejaran.

“Setiap bakau yang tumbuh,” katanya, adalah pintu masa depan yang terbuka untuk anak cucu kita.”

Suatu sore, ketika Tim Forum Komunitas Hijau (FKH) Sulawesi Selatan menyambanginya, Hamzah duduk di atas batu sungai seperti seorang guru tua yang bersemayam di singgasana kebijaksanaan.

Wajahnya yang keriput memantulkan cahaya senja, garis-garis hidupnya bercerita tentang dedikasi yang tak kenal lelah.

“Jangan menanam hanya karena proyek,” ujarnya, suaranya lirih tapi tegas, tanamlah karena kita berhutang pada bumi.”

Dari Tangan Satu Orang, Menjadi Gerakan Ratusan Hektar

Berkat ketekunannya, lebih dari 500 hektar hutan bakau di Pangkep kini kembali hijau, sebuah mahakarya yang dirajut bukan dalam semalam, tapi lewat puluhan tahun kesabaran.

Hamzah tak hanya mengguratkan bakau di tanah, tapi juga menanamkan kesadaran di benak warga. Ia mengajarkan bahwa bakau bukan sekadar tumbuhan, melainkan penjaga peradaban.

“Jika bakau mati,” katanya dengan nada yang menggugah, “maka hilang sudah benteng terakhir kampung kita.”

Namun, di balik kegigihannya, ada kegelisahan yang mengusik. Ia khawatir, suatu hari nanti, wisatawan akan datang seperti angin lalu membawa keriangan, tapi meninggalkan sampah dan ketidakpedulian. Ekowisata itu harus mengedukasi, bukan sekadar memamerkan keindahan,” tegasnya. Baginya, bakau adalah warisan yang harus dijaga, bukan dieksploitasi.

Sebuah Pesan untuk Kita Semua

Melalui dokumentasi ini, Forum Komunitas Hijau Sulsel dan Yayasan Haji Kalla (YHK) berharap kisah Hamzah tak hanya menginspirasi, tapi juga menggerakkan. Agar setiap pelajar, pemerintah, perusahaan, atau wisatawan yang datang ke Pangkep tak hanya melihat bakau sebagai pemandangan, tapi sebagai *cermin tanggung jawab.

Baca juga : Berbicara Itu Hal Biasa atau Suatu Berkah?

Karena merawat bakau bukan sekadar menancapkan bibit, tapi menumbuhkan kesadaran bahwa alam ini bukan warisan nenek moyang, melainkan pinjaman dari anak cucu kita yang belum lahir. Dan Hamzah? Ia adalah sang penjaga waktu, yang dengan kedua tangannya, menulis surat cinta untuk bumi—satu bibit, satu harapan, pada satu waktu.

Di ujung senja, bakau-bakau itu masih berbisik. Mungkin mereka sedang bercerita tentang seorang lelaki yang mengubah lumpur menjadi harapan, dan dedikasinya yang abadi seperti akar yang tak pernah lepas dari tanah.(*/IN)