back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
25.7 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

Bapenda Makassar Lakukan Penertiban Reklame Ilegal

MAKASSAR, Inspirasinusantara.id – Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Makassar kembali melakukan penertiban terhadap reklame ilegal yang tidak membayar pajak dan melanggar aturan perizinan. Penertiban ini...
BerandaEksklusifMakassar Boros Energi: Siapa yang Bertanggung Jawab?

Makassar Boros Energi: Siapa yang Bertanggung Jawab?

Listrik terus mengalir ke mal, hotel, dan kampus. Tapi siapa yang berpikir tentang jejak karbonnya? Makassar mungkin terang, tapi masa depannya suram jika gedung-gedung terus rakus energi. Pasalnya, Kesadaran akan krisis iklim belum benar-benar menyala.

Makassar, Inspirasinusantara.id – Mahasiswa itu melintasi lorong kampus dengan jaket tipis dan ransel tergantung di pundak. Matahari sudah tinggi. Udara lengket oleh kelembapan, seperti biasa di Makassar.

Di dalam ruangan, sebaliknya, hawa dingin menampar kulit. Mesin pendingin udara berdengung dari sudut ke sudut, menyatu dengan cahaya lampu yang tak pernah padam meski jendela besar membiarkan sinar pagi menembus kaca.

“Setiap sudut ada AC,” kata Kahar Junaedi, mahasiswa Politeknik Nusantara Makassar.

Di matanya, gedung-gedung tempat ia beraktivitas sehari-hari tampak seperti raksasa peminum listrik. Tanpa kendali. Tanpa kesadaran.

Kampus, hotel, pusat perbelanjaan—semuanya berdiri megah, tetapi belum satu pun, kata Kahar, menunjukkan tanda-tanda keseriusan untuk menekan konsumsi energi.

“Kalau mati lampu, baru pakai genset. Itu pun jarang,” ujarnya.

Di kampusnya sendiri, belum ada satu pun kebijakan yang mendorong efisiensi energi. Tidak ada pengaturan suhu AC, tidak ada pengurangan penggunaan lampu, apalagi pemanfaatan energi terbarukan secara menyeluruh.

“Baru sebatas wacana soal panel surya, tapi itu pun belum tahu apa akan cukup menutupi kebutuhan listrik kampus.”

Kahar mengamati dengan saksama bagaimana gedung-gedung tempat ia hadir dan belajar, sesungguhnya tengah menyumbang jejak karbon yang tak kecil. AC dan lampu menyala sepanjang hari, televisi dan perangkat elektronik tak pernah benar-benar mati.

“Kalau terus begini, perubahan iklim makin cepat merusak kota ini.”

Ia memberi contoh hotel yang pernah ia datangi saat ikut kegiatan organisasi. Di sana, kata dia, semua ruangan dingin oleh mesin pendingin. Tak ada batas waktu pemakaian. Tidak ada imbauan soal penghematan.

“Handuk dan tisu bebas dipakai, dibuang. Tidak ada pembatasan.”

Kahar menyadari bahwa kenyamanan yang disediakan oleh bangunan modern itu dibayar dengan harga mahal: krisis iklim.

“Fasilitas yang kita nikmati, semuanya berdampak. Kita harus sadar soal itu,” katanya.

Menurutnya, gedung-gedung publik seperti sekolah, rumah sakit, hingga kantor pemerintah bisa lumpuh sewaktu-waktu jika perubahan iklim memperparah krisis energi.

“Bayangkan rumah sakit mati lampu, atau sekolah harus tutup karena banjir. Ini sudah terjadi di kota-kota lain.”

Namun hingga kini, ia belum melihat ada upaya serius dari pemerintah atau pemilik gedung untuk mengubah arah.

“Belum ada sama sekali. Bahkan di kampus pun belum ada kebijakan hidup ramah lingkungan.”

Sebagai warga kota dan bagian dari generasi muda, Kahar berharap ada langkah nyata. Ia mengusulkan kebijakan efisiensi energi yang tegas di lingkungan kampus dan gedung-gedung lain.

“Bukan cuma soal teknologi seperti panel surya, tapi juga kesadaran: pakai seperlunya, hemat sebisanya.”

Ruang Dingin, Kota Panas

Bagi Syarifah Hijrah Febrianti, udara dingin di dalam gedung adalah sesuatu yang lumrah.

“Memang sudah seharusnya seperti itu,” ujarnya.

Ia adalah barista di sebuah kedai kopi dan juga mahasiswi Universitas Negeri Makassar (UNM). Hampir setiap hari, ia berpindah antara ruang ber-AC: kampus, tempat kerja, dan sesekali pusat perbelanjaan. Namun ia sadar, kenyamanan itu datang dengan ongkos besar.

“Hotel, mal, kampus, semuanya butuh energi besar untuk mesin pendingin dan pencahayaan,” katanya.

Dulu, Syarifah cukup sering ke mal. Kini ia jarang. Tapi pengamatannya tetap tajam. Sejauh ini, ia belum pernah melihat upaya untuk mengurangi konsumsi energi. Tidak ada pengurangan lampu, atau AC yang dimatikan di ruangan kosong.

Sebagai warga kota dan pekerja di sektor jasa, ia paham betul tuntutan kenyamanan pelanggan.

“Hotel pasti butuh lampu terang, AC dingin, air melimpah. Tapi tetap bisa kok dikurangi, misalnya dengan energi terbarukan atau membatasi pemakaian air,” katanya.

Di kampusnya, ia belum melihat upaya sistematis untuk mendorong efisiensi energi. Tapi ia yakin, perubahan bisa dimulai dari langkah kecil.

“Mungkin bisa dimulai dengan teknologi efisien, atau sekadar matikan lampu kalau ruangan kosong.”

Syarifah menggunakan sepeda motor untuk mobilitas sehari-hari. Seperti Kahar Junaedi, ia juga melihat ketergantungan terhadap kendaraan pribadi sebagai bagian dari masalah.

“Transportasi umum belum memadai. Jadi ya motor terus.”

Meski begitu, ia menyadari pentingnya kontribusi pribadi dalam merespons krisis iklim. Ia mulai belajar membawa tempat makan sendiri, dan mencoba mengurangi limbah plastik.

Ia percaya, perubahan iklim akan berdampak langsung ke kehidupan sehari-hari.

“Kalau terus panas, orang bisa gampang sakit. Udara juga makin berat,” ujarnya.

Solusinya? Edukasi publik, efisiensi energi, dan memperbanyak ruang terbuka hijau.

“Kota ini terlalu padat, terlalu panas. Kita butuh lebih banyak tempat bernapas.”

Kampus Modern, Kesadaran Lama

Gedung kampus selalu terang. Kadang terlalu terang. Udara di dalamnya selalu dingin. Kadang terlalu dingin. Khilfatul Ilmi, mahasiswa Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM), sudah terbiasa dengan itu. Tapi lama-kelamaan ia mulai bertanya: apakah semua itu perlu?

“Boros energi. Terlalu dingin, terlalu terang,” katanya.

Hampir setiap hari ia datang ke kampus di kawasan Samata, Gowa. Sehari-hari ia menggunakan sepeda motor. Mal hanya ia kunjungi sebulan sekali.

“Saya belum melihat ada dorongan dari pihak kampus untuk gaya hidup ramah lingkungan.”

Ilmi tak sedang menyalahkan. Ia hanya menggambarkan situasi apa adanya. Menurutnya, kampus modern seharusnya bukan hanya tempat belajar, tapi juga tempat membangun kesadaran ekologi. Tapi sejauh yang ia lihat, belum ada kebijakan spesifik dari kampus untuk mengurangi emisi karbon.

Meski begitu, ada satu hal yang ia soroti sebagai langkah potensial: lokasi asrama kampus yang dekat dengan gedung fakultas.

“Orang yang tinggal di sana bisa jalan kaki ke kelas. Tidak perlu pakai kendaraan,” ujarnya.

Baginya, itu adalah contoh kecil bagaimana tata ruang kampus bisa membantu mengurangi emisi. Tapi itu belum cukup. Menurutnya, penting sekali kampus memberi dorongan soal gaya hidup ramah lingkungan kepada mahasiswa.

Menurutnya, pembiasaan kecil seperti membawa tumbler, mengurangi jajanan plastik, atau berbagi kendaraan dengan teman bisa menjadi awal dari perubahan yang lebih besar.

Ia menyebut beberapa tempat perbelanjaan mulai mengganti kantong plastik dengan paperbag atau totebag. Tapi itu belum menjadi gerakan luas. Di kampusnya sendiri, pemilahan sampah organik dan non-organik memang sudah tersedia, tapi belum sepenuhnya dijalankan dengan baik.

“Kesadarannya masih belum merata,” katanya.

Ia sendiri mengaku masih belajar konsisten membawa tumbler dan mengurangi limbah plastik. Tapi baginya, proses itu penting.

“Meskipun masih sering lupa, setidaknya sudah ada sedikit kesadaran yang terbangun.”

Ilmi menekankan bahwa gedung-gedung pendidikan—dari kelas hingga ruang rektorat—ikut menyumbang emisi dalam jumlah besar.

“Mereka menghasilkan emisi yang tidak sedikit dan itu berdampak pada krisis iklim.”

Para pengguna gedung—terutama generasi muda—pelan-pelan mulai menggugatnya. Mereka tidak meminta gedung menjadi gelap atau panas. Mereka hanya ingin ada batas. Ada kesadaran. Ada tanggung jawab. Kampus, menurut Ilmi, punya posisi strategis untuk memulai perubahan.

“Kampus seharusnya jadi tempat lahirnya kesadaran ekologis.”

Konsumsi Energi dan Iklim Makassar

PLN mencatat, total konsumsi listrik Kota Makassar hingga Mei 2025 telah mencapai 213 juta megawatt hour (MWh). Angka itu dipecah berdasarkan kategori: rumah tangga menjadi konsumen terbesar dengan 93 juta MWh, disusul sektor bisnis (65 juta MWh), industri (27 juta MWh), sosial (18 juta MWh), dan pemerintahan (7 juta MWh). Sektor curah dan layanan khusus menyumbang sisanya.

“Evaluasi dilakukan berdasarkan golongan tarif,” ujar Ahmad Amirul Syarif, Manajer Komunikasi & TJSL PLN UID Sulselrabar.

Menariknya, dari seluruh sistem kelistrikan yang terhubung di Sulawesi Selatan, Barat, dan Tengah (Sulbagsel), sebesar 44 persen energi telah berasal dari sumber energi baru terbarukan (EBT).

Tapi angka itu belum menggambarkan distribusi spesifik di gedung-gedung publik Makassar. Sebab meskipun pembangkitnya sudah berbaur, konsumsi di sisi hilir—seperti pusat perbelanjaan, hotel, dan gedung kampus—tetap saja boros.

Kota Cerah, Energi Tersedot

Data itu seperti bayangan yang menegaskan kesaksian tiga mahasiswa sebelumnya – gedung-gedung publik di Makassar adalah konsumen rakus.

Padahal, suhu udara luar ruangan terus naik. Kota ini kini makin lengket dan panas. Tak ada banyak ruang terbuka hijau. Udara makin padat. Lalu lintas kendaraan pribadi tak kunjung surut.

Konsumsi energi pun bertumbuh, seiring gaya hidup yang serba instan dan nyaman. Tapi kenyamanan itu, jika tak dikendalikan, akan berbalik jadi ancaman. Banjir, pemadaman, lonjakan suhu, dan kelangkaan energi jadi risiko yang mengintai.

Gedung dan Kesadaran yang Belum Menyala

Kampus, hotel, dan mal seharusnya bukan hanya simbol kemajuan. Namun juga ruang untuk membentuk kesadaran. Hanya saja, hingga kini, dari kesaksian mahasiswa, belum satu pun institusi yang mereka tempati memiliki kebijakan konkret untuk efisiensi energi.

Panel surya belum terpasang. Kampanye pengurangan energi minim. Pemilahan sampah sekadar tempelan. Namun yang tak pernah padam justru lampu dan AC—siang dan malam. (Andi/IN)