Kota ini hanya memiliki 3,86 persen ruang hijau, jauh dari kebutuhan ekologis minimal. Di tengah gelombang pembangunan, Makassar kian kehilangan nafas panjangnya.
MAKASSAR, Inspirasinusantara.id – Siang itu, Maulana Ishak, mahasiswa pascasarjana Universitas Hasanuddin, memutuskan untuk menunda keluar rumah. Matahari terlalu terik. Udara seperti menusuk kulit, dan debu-debu dari proyek pembangunan baru di sekelilingnya melayang di udara, membentuk kabut tipis yang tak sehat untuk dihirup.
“Belakangan memang terasa cukup buruk,” katanya.
Baca juga: Kota Makassar di Halaman Depan Krisis Iklim
Dulu, kenangnya, ia masih bisa merasakan sejuknya kota. Namun saat ini rasa itu terasa asing akibat sengatan matahari ditambah lagi polusi dan debu-debu pembangunan menghiasi langit-langit kota.
Ia tinggal di Kecamatan Mariso, salah satu kawasan padat di Makassar yang pelan-pelan kehilangan teduh. Dahulu, ia ingat betul, sudut-sudut kota ini dipenuhi pohon besar yang menaungi warga dari panas. Kini, pohon-pohon itu banyak yang ditebang dan yang masih berdiri pun tampak menyusut.
Baca juga: Gaya Hidup Rendah Karbon Tumbuh Perlahan di Makassar
“Sekarang marak penebangan. Meski masih ada, pasti pohonnya sudah tak seperti sedia kala.”
Perubahan itu tidak hanya terasa di suhu yang meningkat atau debu yang menggumpal di jalan. Bagi Maulana, tanda-tandanya juga hadir dalam hal-hal kecil yang dulu akrab. Seperti kehadiran burung-burung kecil yang hinggap di ranting.
“Sekarang sudah jarang. Mungkin karena habitatnya hilang,” katanya pelan.
Sebagai warga yang sehari-hari aktif di lingkungan akademik dan sosial, Maulana paham bahwa persoalan ini bukan sekadar soal panas. Ini tentang arah pembangunan kota.
“Pembangunan kota hanya menguntungkan bagi segelintir kelompok,” ujarnya.
Masyarakat, kata dia, tergerus akibat maraknya pembangunan gedung-gedung besar. Dampaknya, kehilangan ruang publik, kemacetan makin parah, dan udara makin kotor. Ia menyebut sering mendengar wacana soal penghijauan, baik dari media maupun dari diskusi-diskusi kecil di komunitas. Tapi bagi Maulana, itu belum cukup.
“Kampanye ruang hijau masif kita dengarkan tetapi tidak jelas pada realisasinya.”
Namun, tidak semuanya muram. Di akhir pekan, taman-taman kota masih menjadi tempat pelarian warga. Mereka datang dari berbagai kalangan. Anak-anak berlarian, pasangan duduk di bangku taman, orang tua berjalan santai di lintasan.
“Taman kota yang tiap akhir pekan ramai dikunjungi oleh semua kalangan,” kata Maulana, seolah itu oase kecil dalam kota yang makin sesak.
Makassar, bagi Maulana, adalah rumah yang sedang berubah terlalu cepat. Ia menolak pasrah. Ia masih percaya bahwa kota ini bisa lebih baik.
“Kita butuh pembangunan yang memihak manusia, bukan hanya beton.”
Makassar Kehilangan Jantung Ekologisnya
Achmad Yusran mengamati lanskap kota dari balik jendela ruang kerjanya di Forum Komunitas Hijau. Pandangannya melintasi jalanan padat, gedung-gedung menjulang, dan sisa-sisa hijau yang tersisa di pinggiran kota.
“Transformasi Makassar dari kota hijau pesisir menjadi metropolis,” katanya, “mencerminkan kegagalan tata kelola ruang yang akut.”
Menurutnya, kota ini sedang berlomba dengan waktu untuk menghindari ecological collapse. Data Forum Komunitas Hijau menunjukkan bahwa Makassar mengalami defisit ruang terbuka hijau sebesar 96,14 persen.
“Makassar hanya memiliki 3,86 persen hutan kota dari target minimal 10 persen,” ujarnya. Hal itu jauh di bawah kebutuhan ekologis.
Yusran menyebut hutan kota sebagai jantung ekologis. Ia mengurai tiga fungsi vital: fungsi biofisikal sebagai penyerap polutan, pengatur suhu mikro, dan penahan angin laut; fungsi hidrologi untuk menjaga resapan air tanah dan mencegah limpasan; serta fungsi sosial sebagai ruang rekreasi, edukasi lingkungan, dan pelestarian budaya pesisir Bugis-Makassar.Namun, seluruh fungsi itu kini terganggu.
“Konsekuensi hilangnya ruang terbuka hijau adalah gambaran krisis ekologis multidimensi,” ujarnya.
Ia menjelaskan bagaimana dominasi beton dan aspal memperkuat efek urban heat island, yang meningkatkan kebutuhan energi untuk pendinginan. Kualitas udara menurun karena berkurangnya filtrasi polutan seperti NO₂ dan PM10, berdampak pada ISPA dan menurunnya produktivitas warga. Lebih jauh, Yusran menyebutkan krisis air tanah yang mengancam.
“PDAM Makassar kehilangan 42 persen air bersih,” katanya.
Ia menyebut itu sebagai non-revenue water yang mendorong eksploitasi air tanah berlebihan, menyebabkan depression cone dan intrusi air laut.
“Kita juga melihat banjir dan longsor makin parah,” lanjutnya.
Ia mengaitkan ini dengan degradasi tutupan hutan di hulu DAS Jeneberang yang hanya tersisa 16,82 persen. Dalam periode 2015–2021, kata Yusran, Sulawesi Selatan mencatat 162 korban jiwa akibat bencana hidrometeorologis.
Yusran tak segan menyebut akar masalahnya. Menurutnya, proyek-proyek pembangunan di Makassar seringkali mengorbankan prinsip lanskap ekologis.
“Alih fungsi lahan kritis terjadi secara terang-terangan,” katanya.
Ia mencontohkan kawasan rawa seperti Bung BTP dan Antang yang seharusnya menjadi ruang terbuka hijau, kini menjadi permukiman elite.
“Juga fragmentasi habitat oleh pembangunan jalan tol dan pusat komersial,” katanya.
Koridor satwa dan jalur migrasi burung terputus. Ia menyebut reklamasi pantai tanpa kompensasi hijau di Pantai Losari dan CPI sebagai contoh lain.
“Itu menghancurkan sabuk hijau pesisir yang berfungsi sebagai wave breaker alami.”
Yusran menunjuk wilayah pesisir Tanjung Layar sebagai kawasan paling terdegradasi. Berdasarkan citra satelit dan kajian lapangan, kata dia, sabuk hijau pantai di sana telah berubah menjadi kawasan reklamasi dan apartemen. Rawa Antang, yang dulunya menjadi penyangga DAS Jeneberang, kini menyusut 70 persen akibat pembangunan perumahan dan mal.
Ia juga menyebut hilangnya ruang hijau strategis di pusat kota.
“Eks Terminal Toddopuli sekarang jadi plaza komersial,” katanya. Lalu, di Teluk Makassar, mangrove sebagai carbon sink dan pemecah ombak alami telah terdegradasi hingga 40 persen.
“Sabuk hijau alami di jalur hijau sepanjang Sungai Jeneberang kini disegmentasi untuk hunian mewah,” ujarnya.
Meski begitu, Yusran tak kehilangan harapan. Ia menyebut beberapa pendekatan inovatif sebagai jalan keluar. Yang pertama adalah pengembangan hutan kota multifungsi, seperti urban wetland park di eks rawa Bung BTP yang menggabungkan bioremediasi dan ekowisata. Yang kedua adalah pembangunan infrastruktur biru-hijau, seperti bioswale di jalan protokol, sumur resapan di kawasan transit, dan taman vertikal di gedung-gedung pemerintah.
Yang terakhir, dan baginya yang paling penting, adalah pelibatan komunitas lokal dalam penanaman pohon endemik melalui desain berbasis komunitas.
“Bukan berarti tidak ada solusi,” katanya, “tapi solusinya harus berbasis pada rekonstruksi kebijakan ekosistem, bukan tambal sulam infrastruktur hijau.”
Sunyi dari Dinas Tata Ruang
Saat warga dan aktivis lingkungan bicara lantang soal krisis ruang hijau, suara dari pemerintah Kota Makassar justru tenggelam dalam kesunyian. Salah satu pejabat yang diharapkan memberi jawaban atas defisit ruang terbuka hijau kota—yang kini hanya tersisa 3,86 persen—adalah Plt. Kepala Dinas Tata Ruang Kota Makassar, M. Fuad Azis.
Upaya untuk mewawancarainya telah dilakukan sejak Rabu, 25 Juni 2025. Hari itu, sekitar pukul 13.00 WITA, reporter Inspirasi mengirim pesan WhatsApp ke nomor pribadi Fuad, meminta waktu untuk wawancara terkait kebijakan tata ruang dan kondisi ekologis Makassar. Sekitar satu jam kemudian, pukul 14.23 WITA, Fuad Azis sempat menelepon. Namun panggilan itu hanya sebentar dan tidak sempat diangkat. Balasan dari reporter berisi permohonan wawancara kembali dikirim, yang kemudian dibalas Fuad dengan satu kalimat singkat: datang saja ke kantor.
Keesokan harinya, Kamis, 26 Juni 2025, reporter kembali mencoba menghubungi Fuad via pesan WhatsApp pukul 14.27. Namun pesan itu hanya menunjukkan dua centang tanpa balasan, tak jelas apakah telah dibaca atau tidak.
Hingga menjelang sore, tak ada tanggapan. Reporter akhirnya memutuskan datang langsung ke kantor Dinas Tata Ruang Kota Makassar di Jalan Urip Sumoharjo, tanpa konfirmasi lebih lanjut. Tiba di lokasi sekitar pukul 16.17, ia mengirim ulang pesan, kali ini disertai foto pintu kantor dinas.
Seorang pria yang duduk di ruang depan menjawab, “Itu ada ji pak, tapi mauki keluar, ketemu Sekda Kota Makassar.”
Beberapa saat kemudian, Fuad Azis tampak bersiap meninggalkan ruangan.
“Kenapaki?” tanya Fuad singkat saat bertemu di pintu.
“Saya yang hubungiki dari Media Inspirasi, Pak,” jawab reporter.
“Oh,” sahutnya. “Mauka keluar. Senin pi lagi datangki,” tambahnya sambil melangkah pergi.
Reporter kembali mengajukan permohonan wawancara via telepon atau chat WhatsApp. Fuad mengiyakan. Daftar pertanyaan pun langsung dikirimkan saat itu juga. Balasan yang datang hanyalah satu stiker bertuliskan “Siap”.
Namun hingga laporan ini ditulis, tak satu pun jawaban dari daftar pertanyaan tersebut dikembalikan. Suara dari Dinas Tata Ruang tetap senyap, bahkan ketika kota terus bergerak menuju risiko ekologis yang kian akut.
Rencana yang Masih Dirapatkan
Di tengah sorotan tajam terhadap minimnya ruang terbuka hijau dan memburuknya kualitas udara di kota, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Makassar memilih langkah hati-hati.
Kepala DLH Helmy Budiman, saat dihubungi pekan terakhir Juni 2025, tak memberikan banyak detail—selain menyebut bahwa “semua sedang dalam proses rembuk.”
“Iye, kami sementara upayakan perbaikan segera secara menyeluruh,” ujar Helmy singkat, saat ditanya mengenai arah kebijakan DLH dalam merespons defisit ruang hijau dan memburuknya indikator ekologis kota.
Ia menegaskan bahwa pengelolaan lingkungan hidup akan segera dibicarakan secara serius lintas sektor. Saat reporter Inspirasi kembali menanyakan apakah dalam waktu dekat ada pelaksanaan program konkret.
“Iye, ini mau di-rembukkan segera. Akan ada update segera,” ujar Helmy.
Malam itu juga, Helmy menyebutkan akan menghadiri pertemuan bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat penggiat isu persampahan dan lingkungan. Namun tak dijelaskan lebih lanjut agenda ataupun hasil dari pertemuan tersebut.
Tak ada keterangan soal langkah jangka panjang. Tak pula disampaikan skema yang tengah disiapkan untuk mengembalikan daya dukung ekologis kota. Semua masih akan dibicarakan. Dirapatkan. Direncanakan.
Sementara itu, waktu terus berjalan. Kota terus dibangun. Beton semakin mencengkram tanah. Udara makin berat. Dan ruang hijau, seperti juga jawaban pemerintah, belum terlihat datang. (Andi/IN)



