INSPIRASI NUSANTARA–Kearifan lokal Sulsel menjadi sumber kebahagiaan yang tak lekang oleh waktu, sebagaimana tercermin dalam tradisi Mappadendang. Di tengah modernisasi yang sering kali mengukur kebahagiaan dengan pencapaian materi, masyarakat Bugis justru merayakannya melalui kebersamaan dan rasa syukur atas hasil panen.
Setiap 20 Maret, dunia memperingati Hari Kebahagiaan Internasional, yang menegaskan bahwa kebahagiaan sejati tidak hanya berasal dari pencapaian materi, tetapi juga dari rasa syukur, kebersamaan, dan kesejahteraan sosial. Di Sulawesi Selatan, nilai-nilai ini telah lama tercermin dalam Mappadendang, tradisi panen khas masyarakat Bugis yang penuh makna dan sarat dengan kearifan lokal Sulsel.
Dilansir dari Cendekia, Jurnal Ilmu Sosial, Bahasa dan Pendidikan, pesta adat Mappadendang menjadi momen menyenangkan yang dinantikan oleh masyarakat, karena melalui tradisi ini mereka dapat berkumpul dan mempererat silaturahmi dengan warga desa lainnya. Lebih dari sekadar perayaan, Mappadendang memiliki makna mendalam sebagai ungkapan rasa syukur atas limpahan rezeki berupa hasil panen padi.
Tradisi ini juga dapat diibaratkan sebagai doa bersama, memohon keberkahan agar panen berikutnya lebih baik dan memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk kembali merayakan Mappadendang di tahun-tahun mendatang. Tradisi ini menunjukkan betapa kearifan lokal Sulsel telah mengajarkan nilai kebersamaan dan kesyukuran dalam kehidupan.
Perayaan Panen yang Sarat Makna
Kearifan lokal Sulsel, Mappadendang merupakan pesta adat yang dilakukan setelah musim panen sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil bumi yang melimpah. Tradisi ini ditandai dengan aktivitas menumbuk padi secara bersama-sama di atas lesung besar, menciptakan irama khas yang menjadi simbol kebahagiaan dan keberlimpahan.
Irama ini tidak hanya menggema sebagai musik tradisional, tetapi juga mencerminkan kearifan lokal Sulsel yang menjunjung tinggi semangat gotong royong. Biasanya, masyarakat menggelar Mappadendang pada malam hari, terutama saat musim kemarau, dengan cahaya bulan purnama sebagai penerangan alami.
Namun, jika diselenggarakan oleh pemerintah atau kelompok tani untuk pelestarian budaya, acara ini bisa dilakukan kapan saja, bahkan di luar musim panen. Hal ini menunjukkan bagaimana kearifan lokal Sulsel tetap dijaga dan diwariskan kepada generasi muda melalui berbagai adaptasi zaman.
Selain prosesi menumbuk padi, Mappadendang juga diwarnai dengan pertunjukan seni seperti tari tradisional, musik gandrang, serta kelong—puisi lisan khas Bugis-Makassar. Momentum ini menjadi ajang berkumpul bagi warga desa, mempererat hubungan sosial, dan memperkuat nilai-nilai budaya yang diwariskan turun-temurun.
Tradisi ini menegaskan bahwa kearifan lokal Sulsel tidak hanya terjaga dalam ritual adat, tetapi juga dalam ekspresi seni yang memperkaya budaya daerah.
Pelajaran Kebahagiaan dari Tradisi Mappadendang
Sebagai perayaan penuh makna, Mappadendang mengajarkan tiga nilai utama dalam kebahagiaan yang selaras dengan kearifan lokal Sulsel:
1. Rasa Syukur
Sejalan dengan pesan Hari Kebahagiaan Internasional, Mappadendang menekankan pentingnya mensyukuri apa yang dimiliki. Bagi masyarakat Bugis, hasil panen yang melimpah bukan hanya rezeki, tetapi juga berkah yang patut disyukuri bersama.
Nilai ini menunjukkan bahwa kearifan lokal Sulsel telah mengajarkan masyarakat untuk selalu menghargai setiap nikmat yang diterima, baik besar maupun kecil.
2. Kebersamaan dan Solidaritas
Tradisi ini mempererat ikatan sosial antarwarga, mencerminkan filosofi Siri’ Na Pacce—konsep budaya Bugis-Makassar yang menekankan empati dan kepedulian terhadap sesama. Kebahagiaan tidak hanya tentang diri sendiri, tetapi juga bagaimana seseorang berbagi dan membangun harmoni dalam komunitas.
Filosofi ini adalah bentuk nyata dari kearifan lokal Sulsel, yang menempatkan kebersamaan sebagai elemen utama dalam kehidupan sosial masyarakat.
3. Harmoni dengan Alam
Mappadendang juga mengajarkan betapa pentingnya keseimbangan antara manusia dan alam. Bagi masyarakat agraris, kesuksesan panen tidak lepas dari kelestarian lingkungan. Ini menjadi pengingat bahwa kebahagiaan sejati juga terkait dengan keberlanjutan dan kepedulian terhadap alam.
Dalam kearifan lokal Sulsel, konsep menjaga keseimbangan dengan alam telah lama diterapkan, salah satunya melalui tradisi pertanian yang berbasis kearifan nenek moyang.
Mappadendang dan Refleksi Hari Kebahagiaan Internasional
Di era modern, kebahagiaan sering diukur melalui kesuksesan pribadi dan pencapaian materi. Namun, Mappadendang menunjukkan bahwa kebahagiaan sejati ada dalam kebersamaan, rasa syukur, dan hubungan harmonis dengan alam.
Nilai-nilai ini memperlihatkan bagaimana kearifan lokal Sulsel dapat menjadi pedoman bagi masyarakat modern dalam mencari kebahagiaan yang lebih bermakna. Mappadendang bukan sekadar tradisi, tetapi juga filosofi hidup yang mengajarkan makna kebahagiaan sejati.
Masyarakat Bugis telah memahami bahwa kebahagiaan tidak perlu dicari jauh-jauh—ia hadir dalam tradisi yang diwariskan, dalam kebersamaan yang terjalin, dan dalam rasa syukur atas berkah yang diterima. Kearifan lokal Sulsel telah membuktikan bahwa kebahagiaan tidak selalu berkaitan dengan materi, melainkan bagaimana seseorang menghargai dan berbagi dengan sesama.
Semoga nilai-nilai ini terus menginspirasi generasi muda Sulawesi Selatan dan menjadi pelajaran berharga bagi dunia dalam menemukan kebahagiaan yang sejati melalui kearifan lokal Sulsel. (*/IN)
Sumber : Rahman, A. (2022). Mappadendang: Ekspresi rasa syukur oleh masyarakat petani di Atakka Kabupaten Soppeng. Cendekia: Jurnal Ilmu Sosial, Bahasa dan Pendidikan.