Setiap tarikan gas adalah bisikan kecil dari mesin yang membakar harapan dan bahan bakar. Di Makassar, kota yang berdetak cepat di bawah matahari tropis dan lampu-lampu jalan yang padat, kendaraan pribadi bukan sekadar alat berpindah. Ia telah menjelma menjadi denyut hidup, satu-satunya pilihan dalam ritme urban yang menggulung tanpa kompromi.
Sore itu, langit mendung seperti menyimpan amarah, Jumat (30/05/2025). Hujan baru saja reda, menyisakan cermin-cermin tipis di atas aspal. Klakson bersahut-sahutan, suara knalpot berbaur dengan rintik air yang tertinggal di lubang-lubang jalan. Di tengah hiruk-pikuk itu, seorang pemuda bernama Lukman memacu motornya, membelah kepadatan lalu lintas antara Perintis Kemerdekaan dan Urip Sumoharjo.
BACA JUGA: Di Balik Kelezatan Makanan Kekinian Ada Banyak Jejak Karbon di Makassar
Dia bukan siapa-siapa di jalanan. Hanya satu dari ribuan pengemudi yang saban hari menyusuri lorong kota, mengantar makanan yang harus tetap hangat, menjemput rezeki dari gawai dan bensin. Tapi bagi Lukman, motor yang ia tunggangi bukan sekadar kendaraan. Itu adalah napas panjangnya di kota yang menuntut mobilitas nyaris tanpa jeda.
“Saya tahu, setiap hari motor saya menyumbang karbon,” ujarnya pelan. “Tapi ini satu-satunya cara saya bisa bertahan. Bisa kuliah. Bisa bantu keluarga.”
Di dashboard motornya, aplikasi pengantar makanan terus berbunyi. Titik-titik pengantaran seolah tak pernah habis. Hari-harinya dijatah oleh jarak—60 hingga 70 kilometer per hari, melintasi gang-gang sempit dan lampu-lampu merah yang tak kunjung bersahabat. Ia tahu langkah kakinya lebih ramah bagi bumi. Tapi hidup kadang terlalu padat untuk dilalui dengan pelan.
BACA JUGA: Ngopi juga Meninggalkan Jejak Karbon di Makassar
Lukman bukan satu-satunya. Di sisi lain kota, Zaki—mahasiswa pascasarjana Universitas Hasanuddin—menyusuri rute-rute yang tak kalah padat. Dari rumahnya di Batua ke kampus, ke warung kopi tempat berdiskusi, ke titik-titik pertemuan yang tak bisa ditunda.
“Saya sadar jadi bagian dari penyumbang emisi. Tapi berjalan kaki bukan jawaban atas kota yang tak ramah,” katanya. “Mobilitas saya menuntut efisiensi, dan Makassar belum memberi ruang bagi pilihan lain.”
Data dari Dinas Perhubungan Kota Makassar menyebut, 92 persen mobilitas warga ditopang oleh kendaraan pribadi, dan 75 persen di antaranya adalah sepeda motor. Angka ini bukan hanya statistik, tapi gambaran atas kota yang kehilangan arah dalam membentuk pola hidup berkelanjutan.
BACA JUGA: Jejak Karbon dari Gaya Hidup Urban di Makassar
Dalam kaca spion kota ini, terlihat jejak-jejak karbon yang membubung dari knalpot—terus menebal, terus mengendap. Bukan hanya di udara, tapi juga di nalar masyarakat yang sejak lama ditinggalkan oleh perencanaan kota yang manusiawi.
Menurut Prof. Tasrifin Tahara, antropolog dari Universitas Hasanuddin, budaya berkendara di Makassar bukan lagi soal gaya hidup. Ia telah menjadi struktur sosial, bagian dari cara bertahan hidup.
“Dulu kendaraan adalah simbol status. Kini ia jadi kebutuhan mendasar,” ujarnya. “Satu rumah bisa punya dua, tiga motor. Ini menciptakan budaya emisi yang nyaris tak bisa dihentikan.”
Makassar, dengan langitnya yang kerap dilukis polusi, dengan trotoar yang kadang lebih ramah pada pedagang ketimbang pejalan kaki, telah menjelma menjadi kota yang memaksa warganya untuk memilih kecepatan daripada kelestarian.
Tapi tidak semua pasrah. Di antara deru mesin dan asap knalpot, suara-suara kecil mulai tumbuh.
“Kalau pemerintah ingin kurangi penggunaan kendaraan pribadi, jangan cuma larang. Sediakan dulu transportasi publik yang layak, aman, dan manusiawi,” kata Lukman. Ia menyebut Jepang dan kota-kota Eropa sebagai contoh: di sana, berjalan kaki adalah gaya hidup yang ditopang oleh sistem.
Prof. Tasrifin menambahkan: perubahan butuh narasi baru. Narasi yang membangun ulang kebiasaan—dari rumah ke halte, dari halte ke ruang kerja. “Pemerintah harus menata infrastruktur yang berpihak pada pejalan kaki dan pengguna angkutan umum,” ujarnya. “Karena dari langkah kecil itu, kota bisa diselamatkan.”
Makassar hari ini tidak kekurangan kebijakan. Tapi yang kurang mungkin adalah keberanian merumuskan ulang cara hidup. Membuat warga tidak hanya berpindah, tetapi juga merasa hidup tanpa perlu menyakiti langit yang sama-sama mereka hirup.
Sebab di jalanan kota ini, tak hanya suara knalpot yang bergema, tapi juga keresahan dari generasi muda yang bertanya:
“Apakah ada cara lain untuk hidup tanpa meninggalkan jejak yang kian menyesakkan bumi?,” tutupnya. (*)
Penulis: Muh Nur Ardiyansah
Editor: Farisal