Penulis: Farisal, Mahasiswa Kajian Budaya, Unhas
KANTOR Komunikasi Makassar telah dibuat di Balai Kota Makassar, Jl Ahmad Yani No.12. Tepat di lantai 2, depan ruangan wali kota. Tagline “Makassar Unggul, Inklusi, Aman, dan Berkelanjutan” menjadi tulisan pada latar belakang panggung wali kota untuk di wawancara para wartawan.
Setiap kota memiliki cara tersendiri dalam membingkai identitas dan masa depannya. Kota Makassar, misalnya, memilih untuk menegaskan diri melalui tagline “Makassar Unggul, Inklusi, Aman, dan Berkelanjutan.” Sepintas, kalimat ini tampak sederhana, sebuah pernyataan aspiratif tentang kota yang ingin maju, merangkul semua lapisan masyarakat, menjaga keamanan, serta berpikir jauh ke depan. Namun, jika kita menelaah lebih dalam, maka tagline ini bukanlah sekadar retorika promosi kota. Ia merupakan medan kuasa yang membentuk cara berpikir dan bertindak warga kota, serta mengatur siapa yang layak masuk dalam narasi “unggul” tersebut dan siapa yang tidak.
Michel Foucault, filsuf asal Prancis, dalam karya-karyanya yang monumental seperti The Archaeology of Knowledge dan Discipline and Punish, memperlihatkan bahwa wacana adalah instrumen kuasa. Bahasa bukan hanya menyampaikan kenyataan, melainkan menciptakan dan mendefinisikan kenyataan. Dalam konteks itu, tagline seperti “Makassar Unggul” bukanlah komunikasi netral, melainkan konstruksi kebenaran versi institusi yang memproduksinya.
Keunggulan yang Siapa Miliki?
Mari kita lihat kata pertama: “Unggul”. Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Makassar 2021–2026, keunggulan dimaknai sebagai kemajuan dalam aspek pelayanan publik, daya saing ekonomi, dan transformasi digital. Namun, apakah semua warga mendapatkan manfaat yang sama dari narasi keunggulan ini?
Data dari BPS Kota Makassar (2023-2024) menunjukkan bahwa rata-rata ketimpangan pendapatan (Gini Ratio) Kota Makassar berada di angka 0,408, masih tergolong tinggi. Sementara itu, tingkat kemiskinan mencapai 4,78%, dengan sebagian besar berasal dari sektor informal. Sektor informal ini, meski menopang ekonomi kota secara signifikan, justru jarang masuk dalam narasi pembangunan unggul yang kerap identik dengan inovasi teknologi dan industri kreatif modern. Maka, dalam logika Foucault, “unggul” menjadi konstruksi wacana yang membentuk subjek ideal: warga yang produktif, melek digital, efisien, dan patuh terhadap logika pembangunan. Sementara mereka yang tidak sesuai dengan profil ini, seperti buruh pelabuhan, pedagang kaki lima, atau nelayan di pesisir kota cenderung dipinggirkan dari pusat perhatian pembangunan.
Inklusi atau Penjinakan?
Kata “inklusi” terdengar sebagai sebuah kemajuan dalam demokratisasi ruang kota. Namun, kita perlu mengajukan pertanyaan foucauldian: Bagaimana inklusi dilakukan? Siapa yang mendefinisikannya?
Menurut catatan Komnas HAM Wilayah Sulawesi Selatan, beberapa kasus penggusuran di kawasan urban Makassar, seperti di Tamalanrea dan daerah pesisir Untia, menunjukkan bahwa inklusi kerap menjadi jargon yang menutupi eksklusi. Komunitas-komunitas yang tinggal secara turun-temurun justru dianggap ilegal karena tidak sesuai dengan tata ruang baru yang diklaim sebagai bagian dari transformasi kota inklusif. Dalam perspektif ini, menunjukkan bahwa ini bentuk praktik normalisasi, menjadikan segala sesuatu yang berbeda sebagai “abnormal” dan harus dijinakkan atau disesuaikan dengan norma dominan.
Aman untuk Siapa?
Istilah “aman” telah mengalami transformasi makna dalam konteks pemerintahan modern. Dalam pemahaman klasik, keamanan merujuk pada tidak adanya kekerasan atau kriminalitas. Namun, seperti yang dijelaskan Foucault dalam konsep biopower dan governmentality, keamanan kini mencakup pengawasan, manajemen risiko, dan pengaturan populasi.
Pemasangan CCTV katanya telah lebih dari ribuan di berbagai titik kota Makassar, sebagaimana dilaporkan dalam program Smart City Pemerintah Kota, memang bertujuan meningkatkan rasa aman. Namun, langkah ini juga menjadi bagian dari sistem pengawasan sosial yang terus-menerus. Berdasarkan laporan dari E-LAPOR Makassar, keluhan warga tentang penggunaan data pribadi yang dikumpulkan melalui aplikasi pelayanan publik belum ditindaklanjuti secara transparan. Di sisi lain, data dari BPS menunjukkan bahwa meskipun jumlah kasus kriminalitas menurun (3.201 kasus pada 2022 menjadi 2.807 kasus pada 2023-2024), persepsi keamanan warga masih rendah di beberapa kecamatan padat penduduk, seperti Tallo dan Panakkukang. Maka, keamanan di kota tidak hanya soal kenyamanan fisik, tetapi tentang siapa yang dikendalikan dan siapa yang memiliki kuasa untuk mengawasi.
Keberlanjutan yang Membungkus Eksklusi
Kata terakhir dalam tagline “berkelanjutan” secara normatif tampak sebagai bentuk komitmen kota terhadap lingkungan dan masa depan. Namun, konsep ini juga tidak netral. Di tengah tren pembangunan hijau, kita perlu bertanya: keberlanjutan untuk siapa?
Menurut laporan WALHI Sulawesi Selatan (2023), sejumlah proyek reklamasi dan pembangunan infrastruktur di pesisir Makassar telah menyebabkan hilangnya lahan nelayan tradisional dan rusaknya ekosistem mangrove. Di sisi lain, proyek seperti Center Point of Indonesia (CPI) justru menjadi simbol keberlanjutan ala investor: ruang terbuka hijau yang steril dari aktivitas warga marginal, dengan akses terbatas untuk kelompok menengah ke atas. Maka, seperti yang diperingatkan Foucault, bahasa keberlanjutan dapat menjadi alat kuasa yang menyamarkan praktik eksklusi dalam balutan kata-kata mulia.
Data dari Bank Indonesia Perwakilan Sulsel juga menunjukkan adanya ketimpangan pertumbuhan ekonomi kawasan: pusat kota mengalami pertumbuhan tinggi berkat sektor jasa dan properti, sementara kawasan pinggiran mengalami stagnasi. Ini menandakan keberlanjutan ekonomi yang tidak merata.
Dengan membaca tagline “Makassar Unggul, Inklusi, Aman, dan Berkelanjutan” melalui kacamata Foucault, kita menyadari bahwa kota tidak hanya dibangun oleh beton dan jalan raya, tetapi juga oleh narasi dan wacana yang mengatur cara hidup warganya. Tagline adalah bentuk kuasa simbolik, ia memberi tahu siapa yang patut menjadi bagian dari masa depan kota, dan siapa yang harus menyesuaikan diri atau tersingkir.
Kesadaran akan wacana membuat kita bisa menjadi subjek yang bukan hanya diatur, tapi juga turut menentukan arah. Respons ini bukan untuk menghalangi pembangunan, melainkan untuk memastikan bahwa kota benar-benar dibangun untuk semua, bukan hanya untuk mereka yang sesuai dengan versi ideal. (*)