back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
25.2 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

Bapenda Makassar Lakukan Penertiban Reklame Ilegal

MAKASSAR, Inspirasinusantara.id – Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Makassar kembali melakukan penertiban terhadap reklame ilegal yang tidak membayar pajak dan melanggar aturan perizinan. Penertiban ini...
BerandaEksklusifSeni Melawan Krisis Iklim di Makassar

Seni Melawan Krisis Iklim di Makassar

MAKASSAR, Inspirasinusantara.id — Di sebuah dinding papan tripleks di Gedung PKM UIN Alauddin Makassar, cat warna-warni mengalir dari kuas tangan-tangan muda. Lukisan itu menampilkan laut yang muram, tambang yang merusak gunung, dan plastik yang menghantui garis pantai.

Mural itu bukan sekadar karya seni. Ia adalah bentuk protes, sebuah bahasa diam yang menyampaikan keresahan anak muda atas kerusakan lingkungan yang semakin akut.

Dari Kampus ke Kanvas: Mural Perlawanan Iklim

Ansar Muyassar, mahasiswa UIN Alauddin dan anggota UKM Seni Budaya eSA, adalah salah satu pelukis mural tersebut. Ia menggambar sambil berdiskusi dengan rekan-rekannya soal tema krisis iklim dan kerusakan lingkungan.

Baca juga: Gerakan Dakwah Hijau Makassar di Tengah Krisis Iklim

Karya itu ia mulai dari pengalaman pribadi. Saat mengunjungi beberapa pantai di Sulawesi Selatan, ia menyaksikan kenyataan pahit: plastik menumpuk di bibir pantai, dibawa ombak dan dibiarkan membusuk di pasir.

“Saya lihat banyak sekali sampah plastik,” katanya.

Dari pengalaman itulah, gagasan mural mulai dibangun—diperkuat oleh diskusi kolektif dan riset kecil-kecilan soal krisis iklim.

Mereka kemudian menuangkan sketsa ke papan tripleks berukuran 122 x 244 cm, menggunakan cat akrilik dan kuas lukis. Warna yang mereka pilih tidak ceria—ada banyak hitam, abu-abu, dan merah menyala.

Dalam lukisan itu, tambang terlihat seperti cakar raksasa yang mengoyak bumi. Laut tergambar penuh plastik dan bangkai ikan. Di sudut lain, ada figur manusia yang dicekik asap dan panas.

“Setiap gambar ada makna tersembunyi,” ujar Ansar.

Mural itu dibuat dalam rangkaian kegiatan bertajuk Art For Earth: Anak Muda Melawan Krisis Iklim, kolaborasi antara Mapalasta dan UKM SB eSA di akhir November 2024.

Beberapa rekan Ansar, juga terlibat dalam proses pembuatan mural. Mereka menggambar sambil menyimak diskusi soal perubahan iklim dan polusi di pesisir Sulsel.

Simbol, Sampah, dan Sketsa Malam

Saat mural selesai, beberapa mahasiswa bertanya tentang isi dan maknanya. Ansar dan tim menjelaskan satu per satu: simbol tambang, laut mati, dan hutan terbakar.

Baca juga: Krisis Iklim Versi BMKG dan Suara Warga Makassar 

“Saya harap orang sadar dampak eksploitasi,” kata Ansar. Ia ingin mural menjadi titik henti sejenak—tempat orang berpikir ulang sebelum membuang plastik atau mendukung proyek yang merusak alam.

Selama pameran mural, tak ada satu pun teguran dari pihak kampus. Tak ada sensor atau penghapusan, meski lukisan itu bernada kritis terhadap pembangunan dan kebijakan lingkungan.

Bagi Ansar, seni adalah simbol komunikasi. Ia percaya bahwa mural bisa menyampaikan pesan yang tak sempat atau tak sanggup diucapkan dengan kata.

“Mural adalah simbol komunikasi,” katanya singkat.

Seni dan Krisis Iklim di Kota Panas

Di tingkat nasional, tahun 2024 mencatatkan kenaikan suhu rata-rata sebesar 1,68 derajat Celsius dibanding era pra-industri. Ini adalah rekor tertinggi sejak 1981. Di Makassar, efeknya terasa dalam banyak bentuk.

Baca juga: Makassar dan Krisis Iklim dari Rumah Tangga

Fenomena Urban Heat Island memperparah kondisi kota. Dengan hanya 3,86 persen ruang terbuka hijau, Makassar jauh dari target minimum nasional 10 persen. Kurangnya vegetasi membuat suhu kota melonjak, memperparah polusi, dan meningkatkan risiko penyakit pernapasan seperti ISPA.

Musim kemarau pun jadi lebih panjang dan berbahaya. Dari Agustus hingga Oktober 2023, tercatat 155 kasus kebakaran, sebagian besar dipicu suhu ekstrem dan kekeringan.

Di sisi pesisir, kerusakan lebih nyata. Bibir Pantai Tanjung Bayang tersapu sampah kayu sejauh tiga kilometer pada Februari 2025. Di Pantai Losari, abrasi dan sampah plastik terus menumpuk. Sampel ikan dari laut sekitar bahkan ditemukan mengandung hingga 28 partikel mikroplastik per tubuh ikan.

Ketika Tradisi Bertemu Ekspresi Jalanan

Pandangan senada datang dari Prof. Tasrifin Tahara, Ketua Departemen Antropologi Universitas Hasanuddin. Ia menyebut ekspresi seni sebagai bentuk perlawanan yang sah dalam masyarakat urban.

Baca juga: Krisis Iklim dan Ironi Makanan Terbuang di Kota Makassar

“Ekspresi seni adalah perlawanan dalam struktur,” katanya.

Dalam masyarakat yang semakin senyap terhadap bencana ekologis, seni menjadi alat untuk menggugah kesadaran kolektif.

Tasrifin menekankan bahwa seni modern bisa bersambung dengan kearifan lokal. Tradisi adat, menurutnya, mengandung pesan-pesan ekologis yang masih relevan.

“Tradisi lokal punya keseimbangan manusia dan alam,” ujarnya.

Menurutnya, penguatan narasi ekologis lewat seni tidak cukup hanya dalam bentuk simbol. Perlu ada tindakan harian, partisipasi publik, dan dukungan kebijakan.

“Penguatan bukan hanya lewat narasi,” ujarnya.

Ia menilai intervensi kebijakan sangat penting untuk memperluas ruang seni yang progresif.

“Perlu intervensi kebijakan ekspresi seni,” tegasnya. Ruang publik, menurutnya, harus dibuka lebar bagi seni yang menyuarakan harmoni dengan alam.

Narasi Anak Muda, Aksi Ekologis

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan menegaskan posisi seni sebagai medium strategis dalam perjuangan ekologis.

Zulfaningsih HS, Kepala Divisi Perlindungan Ekosistem Esensial WALHI Sulsel, menyebut seni sebagai “ruang alternatif untuk kritik lingkungan.”

Ia memberi contoh tradisi akkatto di Gowa, sebuah ritual panen yang dilakukan dengan alat sederhana dan doa-doa adat. Praktik ini sarat nilai ekologis dan spiritual. Di Luwu Timur, ada pesta panen merica—bukan sekadar acara tani, tapi perayaan seni, kuliner, dan kebersamaan warga desa.

Bagi WALHI, ekspresi seni anak muda tidak bisa dianggap simbolik belaka. Justru di tengah sempitnya ruang demokrasi, mereka hadir membawa kritik yang segar dan membumi.

“Puisi menjadi senjata kritik,” kata Zulfaningsih. Lewat musik, mural, dan pertunjukan, narasi baru soal keadilan iklim dibangun dari bawah.

Medium visual, kata dia, lebih akrab bagi generasi kini. Pesan-pesan soal perubahan iklim pun jadi lebih mudah dicerna dan dirasakan.

“Seni anak muda menciptakan narasi alternatif,” katanya. Dan narasi itu tidak hanya lahir dari buku, tetapi dari warna, nada, dan keberanian untuk bersuara.

Kembali ke UIN Alauddin, mural itu kini mungkin sudah usang. Tapi pesan yang ditinggalkannya tidak lekang. Ia menjadi bukti bahwa seni masih punya ruang untuk berteriak.

Bukan di ruang galeri atau layar bioskop, tapi di dinding kampus. Di tengah mahasiswa yang lalu-lalang, di antara debu dan suara kelas.

Seni di sana tidak diam. Ia berbisik, berseru, dan menantang diamnya birokrasi terhadap bumi yang retak. (Andi/IN)