IN, MAKASSAR–Songkok Bone yang seringkali diidentikkan dengan raja, bangsawan, dan cendekiawan Bone ini punya sejarah yang menarik.
Menurut Andi Irwandi Paomi, salah seorang mahasiswa Sastra Daerah Unhas, keberadaan songkok ini berawal dari masa pemerintahan Raja Bone ke-32, Lamappanyukki, pada tahun 1931.
“Pada masa itu, songkok ini amat dihargai dan menjadi semacam kopiah resmi atau songkok kebesaran bagi raja, bangsawan, dan para ponggawa kerajaan,” ujarnya pemuda asal Kecamatan Tanete Rianttang itu, Jumat (3/5/2024).
Awalnya, songkok ini dibuat sebagai identitas masyarakat Bone dalam konteks peperangan. Raja Lamappanyukki menginginkan tanda pengenal bagi pasukannya ketika akan berperang melawan Luwu.
“Songkok to Bone itu pada awalnya dikenakan pada saat peperangan di daerah Bulu’ Cina, di daerah Wajo, dalam peperangan melawan Luwu. Petta Ponggawae, panglima kerajaan, ingin membedakan prajurit Bone dan prajurit Luwu”. lanjut Irwandi.
Namun, menurut Abdi Mahesa, Mahasiswa Sastra Daerah mengatakan songkok ini juga memiliki makna yang lebih mendalam bagi cendikiawan Bone. Ia menjelaskan bahwa,
“Songkok to Bone ini awal mulanya digunakan oleh para cendikiawan yang menggunakan songkok to Bone dalam dua kata, yaitu ‘naenreki acca’, artinya orang yang meningkat kecerdasannya, meningkat keilmuannya, dan juga bertambah wawasannya terkait dengan hal-hal yang berkaitan dengan struktur-struktur kebudayaan beserta nilai-nilai normatifnya,” jelas Abdi Mahesa pada Jumat (3/5/2024).
Dalam perkembangan selanjutnya, kata ‘naenreki acca’ kemudian menjadi akronim dan dipersingkat menjadi ‘recca’, yang pada akhirnya menjadi nama bagi songkok ini. Hal ini menandakan bahwa songkok Racca tidak hanya menjadi simbol kebesaran bagi raja dan bangsawan, tetapi juga memiliki kaitan erat dengan para cendikiawan dan nilai-nilai budaya serta pengetahuan yang melekat pada masyarakat Bone. (*/kta)