back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
29.1 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

Makassar dalam Krisis: Jalan Panjang Menuju Kota Ramah Iklim

Warga pesisir, pekerja harian, dan aktivis muda menghadapi krisis iklim yang tak memberi ruang untuk berteduh. Negara kerap datang terlambat—atau sama sekali tidak. MAKASSAR, Inspirasinusantara.id...
BerandaEksklusifSuara Perempuan dari Garis Pantai: Melawan Reklamasi, Menjaga Laut

Suara Perempuan dari Garis Pantai: Melawan Reklamasi, Menjaga Laut

IN, MAKASSAR — Asmania duduk di depan layar komputer, suaranya gemetar namun tegas. Di balik jaringan sinyal yang naik turun dari Pulau Pari, perempuan nelayan ini mengangkat suara yang selama bertahun-tahun ditekan oleh deru ekskavator dan ancaman kriminalisasi.

“Kami terus melawan reklamasi karena ini menyangkut ruang hidup kami, masa depan anak-anak kami,” ujarnya dalam sebuah webinar yang digelar Rabu, 30 April 2025.

Webinar itu bukan sekadar diskusi daring. Ia menjadi ruang pelampiasan frustrasi, tempat para perempuan pesisir dari berbagai penjuru negeri bersatu dalam perlawanan terhadap proyek reklamasi yang mereka nilai hanya memperkaya segelintir orang, sembari merampas laut yang selama ini mereka rawat dan wariskan.

Diselenggarakan oleh Jejaring Perempuan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Nusantara (JPPK), komunitas ini dibentuk pada 29 Desember 2023 di Makassar sebagai respons terhadap kebijakan negara yang dinilai melegitimasi perampasan ruang laut. Topik utama diskusi hari itu: “Tata Kelola Laut Era Prabowo dan Suara Perempuan Tolak Reklamasi.”

Baca juga: WALHI Ingatkan Risiko Lingkungan dari Kebijakan Iuran Sampah Gratis di Makassar

Dari Pulau Pari ke Manado: Satu Laut, Banyak Luka

Asmania bukan satu-satunya yang berbicara hari itu. Bersamanya hadir Karestin Bangsuil, Ketua Pergerakan Perempuan Tolak Reklamasi Manado, yang mengungkapkan dampak proyek reklamasi 90 hektare di pesisir utara Manado.

Menurutnya, sejak PT Manado Utara Perkasa menggusur bibir pantai untuk menguruk laut, nelayan kehilangan tempat melaut, rumah warga rutin terendam air, dan lingkungan rusak parah.

“Reklamasi membuat laut kami rusak, rumah kami kebanjiran, dan nelayan kehilangan tempat mencari nafkah,” kata Karestin.

Ia menambahkan bahwa proyek ini hanya menguntungkan kelompok elit tertentu. Bagi warga, reklamasi bukan pembangunan, tapi penyingkiran.

Di Pulau Pari, Asmania menggambarkan situasi yang lebih brutal. Sejak 2014, konflik antara warga dan perusahaan yang mengklaim kepemilikan pulau belum kunjung selesai.

Perusahaan seperti PT Bumi Raya Pari Asih dan PT Panorama dituding menjadi aktor utama reklamasi besar-besaran di gugusan Pulau Seribu tersebut.

“Kami diintimidasi, rumah diklaim bukan milik kami, suami-suami kami dipenjara,” ujar Asmania lirih namun penuh amarah. Pemerintah, katanya, absen dalam konflik yang terus membara ini.

Kebijakan yang Dianggap Melegitimasi Perampasan

Kepala Departemen Penelitian dan Keterlibatan Masyarakat WALHI Sulawesi Selatan, Slamet Riadi, menyebut pembentukan JPPK tak lepas dari kekecewaan terhadap kebijakan yang terus mereproduksi ketimpangan ruang kelola laut.

Ia menyebut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023, yang melegalkan ekspor pasir laut, sebagai bentuk nyata abainya negara terhadap krisis ekologis dan sosial di wilayah pesisir.

“Rezim sekarang sama saja, hanya meneruskan kebijakan yang merusak dari pemerintahan sebelumnya,” katanya lugas.

Diskusi ini adalah bagian dari serial yang dijadwalkan berlangsung enam kali, yang kelak akan ditutup dengan pembacaan resolusi perempuan pesisir terhadap arah kebijakan kelautan di era Prabowo-Gibran.

Narasi besar yang dibawa: pembangunan tak boleh dilakukan dengan mengorbankan kehidupan masyarakat yang telah lama hidup berdampingan dengan laut.

Reklamasi: Janji Pertumbuhan, Realita Kehancuran

Proyek reklamasi telah lama menjadi ladang konflik di berbagai wilayah pesisir Indonesia. Dari Teluk Jakarta, Teluk Benoa di Bali, hingga Makassar New Port, penolakan datang dari akar rumput yang melihat langsung dampaknya: rusaknya terumbu karang, punahnya biota laut, naiknya frekuensi banjir, hingga hilangnya sumber penghidupan utama nelayan.

Narasi pemerintah dan pengembang selalu sama: reklamasi sebagai simbol pertumbuhan dan kemajuan. Namun, biaya sosial dan ekologis yang ditanggung oleh masyarakat, terutama perempuan dan kelompok rentan, tak pernah masuk dalam neraca pembangunan.

Karestin mengingatkan bahwa kawasan strategis seperti Taman Nasional Bunaken, Manado Tua, dan Siladen terancam rusak jika reklamasi terus dilanjutkan.

“Bagaimana mungkin kami bicara pariwisata dan konservasi jika laut di bawahnya sedang dikubur hidup-hidup?” katanya getir.

Perempuan sebagai Penjaga Laut

Bagi perempuan pesisir, laut bukan hanya ruang ekonomi, melainkan ruang sosial, spiritual, dan kultural. Mereka tak hanya menggantungkan hidup dari hasil tangkapan, tetapi juga merawat keseimbangan ekosistem dan komunitas.

Ketika reklamasi datang, yang hancur bukan sekadar pantai, tetapi tatanan hidup yang telah diwariskan lintas generasi.

Di sinilah pentingnya ruang-ruang seperti webinar yang diselenggarakan JPPK: menjadi panggung alternatif ketika saluran formal tak lagi berpihak pada rakyat.

Suara perempuan seperti Asmania dan Karestin adalah bukti bahwa perlawanan tak pernah padam, meski badai terus datang.

Dan dari layar-layar kecil di desa pesisir, suara-suara itu terus bergema: Jaga laut, hentikan reklamasi. (mg1/IN)