INSPIRASI NUSANTARA— Krisis iklim telah mengakibatkan berbagai bencana. Kesadaran terhadap isu perubahan iklim pun mulai digalakkan sejak lama.
Sudah 2 abad upaya untuk mengatasi krisis iklim terus didengungkan. Berbagai penelitian dan program dilakukan untuk menemukan solusi atas berbagai permasalahan yang ada.
Meski demikian, isu perubahan iklim belum juga membawa kabar baik. Bahkan, kabarnya semakin menjadi-jadi.
Temuan terbaru dari Laporan IPCC 2023 menyatakan bahwa dunia berada di jalur untuk mencapai pemanasan 2,7°C pada akhir abad ini jika tindakan lebih tegas tidak diambil. Apakah ini menunjukkan upaya-upaya yang dilakukan selama ini tidak berhasil?
Tentu, bukan hal mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pasalnya, bumi nyatanya masih dihuni hingga kini dan kehidupan masih dijalani sebaik-baiknya.
Lantas, upaya apa saja yang sudah dikerahkan selama 200 tahun sejak kesadaran tentang isu perubahan iklim mulai dilirik? Berikut penjelasannya.
- Kesadaran Awal tentang Perubahan Iklim (Abad ke-19 hingga 1960-an)
Pada 1824, Ilmuwan Prancis, Joseph Fourier, pertama kali menyarankan bahwa atmosfer bumi bertindak seperti selimut yang memerangkap panas, yang kemudian dikenal sebagai efek rumah kaca. Selanjutnya, pada 1896, Ilmuwan Swedia Svante Arrhenius memprediksi bahwa peningkatan konsentrasi karbon dioksida (CO2) di atmosfer akibat pembakaran bahan bakar fosil dapat menyebabkan pemanasan global.
Pada awal abad ke-20, penelitian lebih lanjut tentang hubungan antara CO2 dan suhu bumi mulai berkembang, tetapi dampaknya terhadap kebijakan publik masih terbatas.
- Munculnya Kepedulian Modern (1960-an hingga 1980-an)
Pada tahun 1960-an, perhatian terhadap polusi udara dan isu lingkungan mulai tumbuh. Buku “Silent Spring” (1962) karya Rachel Carson meningkatkan kesadaran publik tentang dampak lingkungan, meskipun fokus utamanya bukan perubahan iklim.
Selanjutnya, Hari Bumi pertama diperingati pada 1970 untuk meningkatkan perhatian global terhadap isu lingkungan, termasuk perubahan iklim. Pada 1988 dibentuk Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) oleh PBB, yang menjadi badan utama yang memberikan penilaian ilmiah tentang perubahan iklim. Laporan pertama IPCC pada 1990 menyatakan bahwa ada bukti kuat tentang aktivitas manusia, terutama pembakaran bahan bakar fosil, berkontribusi pada pemanasan global.
- Aksi Global dan Konferensi Iklim (1990-an hingga 2000-an)
Konferensi Bumi di Rio de Janeiro pada 1992 menghasilkan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), perjanjian internasional pertama yang mengakui perlunya tindakan global terhadap perubahan iklim. Protokol Kyoto ditandatangani pada 1997, mengharuskan negara-negara maju untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka. Ini adalah perjanjian iklim internasional pertama yang mengikat secara hukum.
Pada tahun 2000-an awal, tepatnya padan 2001, IPCC menerbitkan laporan yang semakin memperkuat bukti bahwa pemanasan global sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia. Perdebatan tentang perubahan iklim semakin intensif di politik global selama tahun 2000-an, dengan beberapa negara, terutama AS di bawah Presiden George W. Bush, menolak untuk meratifikasi Protokol Kyoto.
- Tindakan Global dan Krisis yang Meningkat (2010-an)
Pada 2015 Perjanjian Paris disepakati oleh hampir semua negara di dunia. Tujuan utama perjanjian ini adalah untuk menjaga peningkatan suhu global di bawah 2°C, dengan target ambisius membatasi pemanasan hingga 1,5°C. Negara-negara juga sepakat untuk mengajukan target pengurangan emisi yang diperbarui secara berkala.
Pada 2017, AS di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump mengumumkan niatnya untuk menarik diri dari Perjanjian Paris, yang memicu kekhawatiran tentang kemajuan global dalam aksi iklim. Greta Thunberg dan gerakan “Fridays for Future” muncul sebagai simbol kuat protes terhadap ketidakpedulian terhadap perubahan iklim, yang terutama dipimpin oleh kaum muda. Thunberg, seorang remaja Swedia, berpidato di berbagai forum internasional, termasuk PBB, menuntut aksi yang lebih serius.
- Dampak Nyata Perubahan Iklim (2020-an hingga 2024)
Pandemi COVID-19 pada 2020 menyoroti hubungan antara krisis lingkungan dan kesehatan, dan memberikan jeda sementara terhadap emisi global karena berkurangnya aktivitas industri dan transportasi. Namun, dampaknya hanya sementara, dan perubahan iklim tetap menjadi ancaman jangka panjang.
Laporan IPCC 2021 mempertegas bahwa perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia semakin parah, dengan peningkatan suhu global yang sudah mencapai sekitar 1,1°C di atas level pra-industri. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa fenomena cuaca ekstrem seperti kebakaran hutan, banjir, dan gelombang panas sudah meningkat akibat pemanasan global.
COP26 di Glasgow pada 2021 menyepakati sejumlah komitmen baru, termasuk pengurangan penggunaan batu bara dan pengurangan emisi metana. Namun, banyak kritik menyatakan bahwa komitmen tersebut belum cukup ambisius untuk mencegah pemanasan melebihi 1,5°C.
Selama 2022-2024, cuaca ekstrem terus berlanjut, dengan banjir besar, kekeringan, dan kebakaran hutan yang semakin sering terjadi di berbagai belahan dunia. Negara-negara seperti Pakistan mengalami bencana banjir yang sangat parah, sementara Eropa menghadapi gelombang panas yang intens.
Pada 2024, perubahan iklim tetap menjadi isu kritis bagi masa depan planet ini. Meskipun ada komitmen dan inovasi yang menjanjikan, tantangan besar masih harus diatasi untuk memastikan bahwa pemanasan global dapat dijaga di bawah ambang batas yang berbahaya. (*/IN)