back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
30.9 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

Makassar Makin Padat: Hutan Kota yang Hilang

MAKASSAR, Inspirasinusantara.id – Siang itu, Maulana Ishak menatap matahari dari balik jendela rumahnya di Mariso. Udara terasa tajam, menampar kulit tanpa ampun. Sinar mentari...
BerandaBudayaMa'pakopi, Seni Menjamu Tamu di Toraja

Ma’pakopi, Seni Menjamu Tamu di Toraja

Oleh Natalia Datu Letta

TRADISI Ma’pakopi  ini merupakan salah satu prosesi dalam penerimaan tamu, baik pada acara rambu tuka’ maupun rambu solo’.

Ma’pakopi artinya menyuguhkan kopi. Meski disebut ma’pakopi, yang disuguhkan bukan hanya kopi, tetapi juga teh dan kue sebagai pelengkap suguhan. Ma’pakopi dilakukan sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan kepada tamu yang datang.

Orang-orang yang ma’pakopi disebut To Ma’pakopi. To ma’pakopi biasanya terdiri dari lebih sepuluh 10 orang atau disesuaikan dengan acara. Tak hanya perempuan, laki-laki juga biasa terlibat ma’pakopi.

Ma’pakopi dilakukan dengan apik dan tertata. Masing-masing dari To ma’pakopi memiliki tugas tertentu. Ada yang bertugas membawa ceret berisi kopi atau teh, ada yang bertugas membawa baki berisi gelas, ada yang bertugas membawa kue, dan juga ada yang bertugas sebagai To Ma’petado atau yang menyuguhkan.

To Ma’petado atau orang yang menyuguhkan biasanya membawa pengkokoan (wadah khusus berisi air untuk berkumur) dan bosara’ berisi Indo’ deppa (kue bolu utuh berukuran kecil atau sedang).

To Ma’petado inilah yang akan menyuguhkan secara langsung kopi atau teh serta kue kepada tamu. Uniknya, penyuguhannya harus dengan mengenali strata sosial tamu.

Yosfina Nanning Daun Datu, salah satu warga Lembang Randan Batu, Kecamatan Makale Selatan, Kabupaten Tana Toraja yang biasa bertugas sebagai To Ma’petado dalam prosesi Ma’pakopi mengatakan dibutuhkan keterampilan khusus dalam menyuguhkan kopi atau teh dan kue dalam prosesi ma’pakopi. To Ma’petado harus mengenali tamu dengan strata sosial tertinggi dalam rombongannya. Hal tersebut karena pengkokoan dan bosara’ berisi Indo’ deppa harus disuguhkan terlebih dahulu padanya.

Olehnya itu, To Ma’petado harus memiliki kemampuan khusus untuk mengenali strata sosial rombongan tamu yang tidak ditentukan oleh usia atau kedudukan, melainkan strata keturunan.

Seperti yang dikemukakan Marampa dan Upa Labuari dalam buku berjudul Budaya Toraja yang diterbitkan oleh Yayasan Maraya pada tahun 1997 di Jakarta bahwa masyarakat Toraja mengenal tiga (3) tingkatan sosial dalam masyarakatnya baik itu dalam aktivitas pemeliharaan adat, upacara-upacara keagamaan, sikap maupun tutur bahasa masing-masing mempunyai disiplin sendiri. Tingkatan sosial tersebut terdiri dari;

1.Tokapua(Tana’ Bulaan)
Tingkatan ini adalah golongan “rulling class” dalam masyarakat Toraja. Golongan ini terdiri dari kaum bangsawan, pemimpin adat, pemuka masyarakat.

2.Tomakaka(Tana’ Bassi)
Golongan menengah masyarakat Toraja disebut tomakaka. Golongan ini erat hubungannya dengan golongan tokapua. Mereka adalah golongan bebas, mereka juga memiliki tanah persawahan, namun tidak sebanyak yang dimiliki golongan bangsawan. 3.Tobuda (Tana’Karurung-Tana’ Kua-kua), golongan ini terbanyak yang menjadi tulang punggung masyarakat Toraja ialah tobuda.

Selain etika, faktor kerapian pun sangat diperhatikan oleh To Ma’pakopi. Saat baru mengantar kopi kepada tamu, To Ma’pakopi akan meletakkan baki pada tangan sebelah kanan, sementara setelah pulang posisi baki akan berada di tangan sebelah kiri.

Penampilannya pun harus rapi dan anggun. Pakaian yang digunakan merupakan pakaian adat dengan melilitkan sarung pada pinggul atau dengan istilah ma’kundai (perempuan) dan ma’bida’ (laki-laki). Rambut juga harus rapi dengan sanggulan. Biasanya pada acara-acara besar, To Masara’ atau yang menggelar acara menyediakan seragam dan perias khusus untuk To Ma’pakopi. (*)