INSPIRASI NUSANTARA–Mappetuada telah lama menjadi fondasi dalam pernikahan adat Bugis, mengikat dua keluarga besar dalam kesepakatan sakral. Namun, kini ada tren baru yang mulai mewarnai prosesi tersebut: tukar cincin sebagai simbol komitmen pasangan.
Dalam adat Bugis, prosesi Mappetuada menjadi momen sakral yang menentukan kesepakatan pernikahan antara dua keluarga besar. Namun, di era modern ini, generasi muda Sulawesi Selatan mulai menambahkan elemen baru dalam tradisi tersebut, salah satunya adalah prosesi tukar cincin sebagai simbol pengikat sebelum akad.
Tukar cincin, yang lebih umum ditemukan dalam tradisi pernikahan Barat, kini mulai diadopsi oleh pasangan muda Bugis-Makassar sebagai bentuk simbolis keterikatan mereka. Jika dalam adat Bugis pernikahan lebih banyak berlandaskan kesepakatan keluarga, kini anak muda ingin menyatakan komitmen secara lebih personal dan romantis.
Dilansir dari Jurnal Al-Qadau, Mappetuada secara harfiah berarti memutuskan akad atau menyepakati rencana pernikahan antara dua keluarga besar. Tradisi ini biasanya dilakukan setelah ada kesepakatan awal atau mappettu ada, yaitu pembicaraan informal terkait rencana pernikahan
Antara Simbol Komitmen dan Status Sosial
Bagi sebagian besar pasangan muda, cincin bukan hanya sekadar perhiasan, tetapi juga menjadi simbol cinta dan keseriusan hubungan. Cincin ini seperti janji yang mengikat pasangan sebelum pernikahan.
Namun, di sisi lain, nilai material dari cincin juga menjadi perhatian. Beberapa pasangan melihat cincin sebagai penanda status sosial, mirip dengan konsep uang panaik dalam budaya Bugis. Makin mahal bahan dan desainnya, makin tinggi gengsi yang melekat pada calon pengantin. Hal ini pun memicu perdebatan antara nilai tradisi dan pengaruh modernitas.
Dilema Antara Adat dan Tren
Bagi generasi yang lebih tua, tradisi Mappetuada tetap menjadi esensi utama dalam pernikahan adat. Beberapa orang tua bahkan masih mempertanyakan relevansi prosesi tukar cincin.
Meski demikian, generasi muda tetap berusaha menjaga keseimbangan antara adat dan tren. Mereka tidak ingin meninggalkan akar budaya, tetapi juga ingin menyesuaikan diri dengan zaman.
Tradisi yang Berkembang Seiring Waktu
Fenomena ini menunjukkan bagaimana budaya lokal beradaptasi dengan perubahan zaman. Sama seperti tradisi pernikahan Bugis yang telah mengalami berbagai transformasi sepanjang sejarah, penambahan prosesi tukar cincin bisa dilihat sebagai evolusi dalam adat, bukan ancaman terhadapnya.
Selama tetap berpegang pada nilai-nilai inti seperti kesepakatan keluarga dan adat istiadat, generasi muda memiliki ruang untuk menambahkan sentuhan mereka sendiri dalam pernikahan. Tradisi yang berkembang bukanlah tanda lunturnya budaya, melainkan bukti bahwa budaya Bugis tetap hidup dan relevan bagi setiap generasi. (fit/in)
Sumber :
Jurnal Al-Qadau, Menelusuri Tradisi Tukar Cincin dalam Mappetuada: Implikasi Maqasidh AlSyariah terhadap Keluarga dan Masyarakat