Studi di Kepulauan Spermonde menunjukkan mayoritas nelayan tak punya mata pencaharian alternatif dan sulit bertahan saat cuaca ekstrem melanda.
MAKASSAR, Inspirasinusantara.id – Mayoritas nelayan kecil di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan, menghadapi kerentanan ekonomi tinggi akibat perubahan iklim.
Dalam riset terbaru yang dilakukan oleh tim Universitas Hasanuddin, ditemukan bahwa sekitar 80 persen nelayan dari empat pulau utama tak memiliki pekerjaan alternatif selain melaut.
Baca juga: Kisah Dg Sese dan Krisis Iklim di Kota Makassar
Hal ini menjadikan mereka sangat rentan ketika cuaca ekstrem atau hasil tangkapan menurun drastis.
“Kalau cuaca buruk atau musim ikan bergeser, mereka tidak punya penyangga ekonomi,” kata Prof Nita Rukminasari, Guru Besar Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas sekaligus Sekretaris Pusat Studi Perubahan Iklim kampus itu.
Baca juga: Gaya Hidup Rendah Karbon Tumbuh Perlahan di Makassar
Studi yang dimuat di Journal of Marine and Island Cultures edisi Agustus 2024 itu dilakukan di empat pulau: Kodingareng, Barrang Lompo, Balang Lompo, dan Badi.
Para peneliti mewawancarai 366 nelayan secara mendalam untuk menggali pendapatan, persepsi perubahan iklim, hingga kapasitas adaptasi mereka.
Tak Punya Pekerjaan Alternatif
Hasilnya menunjukkan bahwa 90 persen nelayan di Kodingareng termasuk dalam kategori “sangat rentan” secara ekonomi.
Mereka tidak memiliki pekerjaan lain dan sangat bergantung pada hasil laut. Sebaliknya, nelayan di Balang Lompo, yang lebih banyak berwirausaha atau beternak ikan, memiliki tingkat kerentanan lebih rendah.
Menurut Prof Nita, tingkat kerentanan ini ditentukan oleh tiga faktor utama: pendapatan, biaya operasional melaut, dan ketersediaan pekerjaan alternatif.
Semakin sedikit penghasilan dan semakin besar biaya operasional, kerentanan pun meningkat—terutama bila nelayan tak bisa beralih ke jenis pekerjaan lain.
Indeks Kerentanan Ekonomi (Economic Vulnerability Index) dalam studi ini menggunakan lima tingkatan. Sebanyak 79,5 persen responden masuk dalam level 5, yang artinya sangat rentan. Hanya 0,8 persen yang dianggap tidak rentan.
Sadar Iklim, Tapi Terjebak
Para nelayan mengaku telah merasakan perubahan iklim dalam sepuluh tahun terakhir.
Mereka menyebut musim tak menentu, ombak tinggi lebih sering terjadi, dan lokasi tangkapan ikan makin jauh dari bibir pantai.
Sebagian bahkan mencatat bahwa biaya melaut meningkat seiring dengan jarak tempuh dan kebutuhan bahan bakar.
Sayangnya, meski sadar perubahan iklim sedang terjadi, kemampuan nelayan untuk beradaptasi masih rendah.
Indeks Kapasitas Adaptasi (ACI) menunjukkan nilai rata-rata hanya 2,8 dari 5 poin. Artinya, pengetahuan ada, tapi sarana dan daya untuk bertindak masih kurang.
“Para nelayan tahu laut sedang berubah, tapi mereka tidak punya pilihan lain,” ujar Prof Nita.
Salah satu alasan utama, menurut dia, adalah tingkat pendidikan yang rendah dan minimnya akses terhadap modal atau pelatihan kerja di luar sektor perikanan.
Diversifikasi Kunci Bertahan
Penelitian ini menunjukkan bahwa diversifikasi pekerjaan menjadi kunci untuk menurunkan kerentanan.
Nelayan yang memiliki usaha lain seperti berdagang atau beternak ikan lebih mampu bertahan saat hasil tangkapan menurun. Mereka masuk dalam kategori kerentanan level 2 atau 3.
“Semakin banyak sumber pendapatan, semakin kecil risiko,” kata dia.
“Sayangnya, hanya sedikit yang punya akses ke peluang itu.”
Tim peneliti merekomendasikan agar pemerintah mendorong pendidikan kejuruan bagi anak-anak nelayan serta membuka akses pelatihan kerja.
Saat ini, sebagian anak nelayan dari Spermonde mulai menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Kelautan dan Perikanan Unhas.
“Mereka ini harapan baru,” kata Prof Nita.
Pendidikan untuk Generasi Penerus
Dalam wawancara, sebagian besar nelayan menyatakan harapan agar anak-anak mereka bisa bekerja di luar laut. Mereka menyadari kerasnya kehidupan sebagai nelayan di tengah perubahan iklim yang tak menentu.
“Pendidikan adalah kunci agar generasi berikutnya tak senasib,” ujar Prof Nita.
“Bukan untuk meninggalkan laut, tapi untuk kembali dengan bekal yang cukup—entah sebagai ilmuwan, pelaku usaha, atau pembuat kebijakan.” (Andi/IN)