back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
31.2 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

Hujan Lebat Disertai Petir dan Angin Kencang Ancam Sulsel Selama 3 Hari ke Depan

MAKASSAR, inspirasinusantara.id — BMKG Sulawesi Selatan mengingatkan masyarakat untuk lebih waspada dalam tiga hari ke depan, 3–5 Desember 2025. Hujan berintensitas sedang hingga lebat...
BerandaEksklusifGaya Hidup Kekinian, Sampah Menggunung di Belakang Layar

Gaya Hidup Kekinian, Sampah Menggunung di Belakang Layar

MAKASSAR, Inspirasinusantra.id — Debby, 23 tahun, warga Talasalapang, Makassar, tak butuh waktu lama untuk menentukan makan siangnya. Cukup membuka aplikasi layanan antar makanan di gawainya, dalam hitungan menit ia bisa memesan dimsum mentai, pizza, atau matcha latte favoritnya.

“Saya hampir tiap hari pesan online. Bisa dibilang 90 persen makanan saya dari aplikasi,” ujar Debby kepada Inspirasinusantara beberapa waktu lalu.

Di kota-kota besar seperti Makassar, pola konsumsi makanan berubah drastis. Makanan dan minuman kekinian hadir bukan lagi sebagai selingan, tapi kebutuhan harian. Video promosi makanan yang menggoda di TikTok dan Instagram semakin menguatkan tren ini.

Baca juga: Di Balik Kelezatan Makanan Kekinian Ada Banyak Jejak Karbon di Makassar

Namun, di balik kemudahan dan kenikmatan itu, ada persoalan limbah kemasan sekali pakai yang terus menumpuk.

Baca juga: Krisis Air di Pesisir Makassar: Subuh Baru Mengalir, Siang Mati Total

“Saya sadar, kemasan plastik itu mencemari lingkungan, berbahaya untuk satwa, bahkan bisa berdampak buruk ke tubuh manusia,” kata Debby.

Tak sekadar sadar, Debby mulai bertindak. Ia memilih toko atau gerai yang menggunakan kemasan ramah lingkungan, atau setidaknya bisa didaur ulang. Menurutnya, konsumen punya peran penting dalam mendorong pelaku usaha lebih bertanggung jawab.

Badan Pusat Statistik mencatat peningkatan konsumsi makanan siap saji di kawasan urban dalam lima tahun terakhir. Kenaikan itu diikuti lonjakan sampah rumah tangga, terutama dari kemasan makanan. Sebagian besar belum mampu ditangani dengan sistem daur ulang yang memadai.

Debby bukan satu-satunya yang mempersoalkan hal ini. Di berbagai kota, kesadaran anak muda akan gaya hidup berkelanjutan mulai tumbuh. Namun, tanpa regulasi ketat dan insentif bagi pelaku usaha, upaya individu seperti Debby bisa jadi tak cukup.

“Kita perlu dorong lebih banyak pelaku usaha pakai kemasan eco-friendly. Tapi kita juga sebagai konsumen harus pilih-pilih, jangan asal beli yang viral,” ujarnya.

Makanan kekinian mungkin menjawab selera zaman, tapi dampaknya tak berhenti di meja makan. Jejak karbon, sampah plastik, dan ketergantungan pada kemasan instan menjadi pekerjaan rumah bersama — yang tak bisa diselesaikan hanya dengan satu klik di aplikasi.

Di Balik Makanan Kekinian

Di balik makanan hangat yang tiba tepat waktu di depan pintu rumah Anda, ada cerita lelah dan jarak yang tak selalu singkat. Muh Farel Al Fahrezy, mahasiswa sekaligus pengemudi ShopeeFood di Makassar, tahu betul bagaimana satu klik pemesanan bisa berarti kilometer tambahan di jalanan yang macet.

Dalam sehari, Farel rata-rata menerima sepuluh pesanan. Tapi angka itu tak selalu pasti.

“Kadang cuma dapat tiga sampai lima orderan. Sekarang driver makin banyak, persaingan makin ketat,” kata Farel.

Ia bercerita bahwa jarak tempuh rata-rata untuk satu pesanan berkisar antara 1 hingga 4 kilometer. Terdengar pendek, namun tidak ketika harus menembus kemacetan kota, atau saat alamat pelanggan justru menyesatkan.

“Kadang Google Maps tidak akurat, ditambah pemesan kasih lokasi yang keliru. Akhirnya saya harus mutar-mutar,” keluhnya.

Masalah lain yang kerap ia temui adalah pesanan fiktif — pesanan yang tak pernah benar-benar diminta atau dibayar. Bagi driver seperti Farel, itu bukan sekadar kerugian materi.

“Waktu dan tenaga juga habis. Belum lagi kalau orderannya jauh,” katanya.

Di jalanan, Farel harus bersiasat menimbang antara bensin, waktu tunggu, dan potensi rating dari pelanggan. Di satu sisi, ia menjadi penggerak roda ekonomi digital. Di sisi lain, ia menghadapi risiko tanpa jaminan.

Makanan kekinian memang mudah dipesan. Namun di balik kenyamanan konsumen, ada kerja senyap dari ribuan pengemudi seperti Farel — yang kadang harus mengantar minuman dingin dalam panas terik, atau nasi panas di tengah hujan deras.

“Kami cuma harap, orang bisa sedikit lebih peduli. Lokasi yang jelas, sikap yang ramah, itu sangat membantu,” ucap Farel pelan.

Di sisi lain layar, Fajar Aswad Amar memandang geli antusiasme netizen yang ramai memburu “croffle lumer,” “ramen pedas level tujuh,” hingga “es kopi susu pakai jelly.” Mahasiswa 21 tahun yang juga dikenal sebagai food blogger ini tak heran jika makanan kekinian selalu punya tempat di hati (dan feed Instagram) anak muda.

“Estetika itu penting. Makanan sekarang bukan cuma soal rasa, tapi juga visual. Semakin Instagramable, semakin cepat viral,” kata Fajar saat ditemui di sebuah kafe minimalis di bilangan Pettarani, Makassar.

Ia menyebut, daya tarik makanan kekinian adalah kombinasi unik dari bentuk, warna, dan rasa yang nyeleneh — perpaduan yang menciptakan rasa penasaran. Di balik itu, ada kerja kreatif para pelaku usaha kuliner yang rajin bereksperimen.

“Kadang rasanya biasa saja, tapi plating-nya bagus, lighting-nya pas, langsung trending. Dan itu cepat sekali menyebar lewat TikTok atau Instagram Reels,” ujarnya. Fajar sendiri mengelola akun kuliner dengan ribuan pengikut dan kerap diundang untuk mencicipi menu-menu terbaru dari kafe lokal.

Menurutnya, tren makanan kekinian di kota seperti Makassar sangat bergantung pada tiga hal: kreativitas pelaku usaha, respons netizen, dan kecepatan algoritma media sosial. “Dulu tren datang dari Jakarta, sekarang kadang dari satu warung di lorong pun bisa viral nasional,” katanya.

Namun, di balik gelombang tren itu, ada standar baru dalam menikmati makanan. Konsumen tak hanya ingin rasa, tapi juga pengalaman. “Di kafe, mereka cari tempat yang cozy buat nongkrong atau kerja. Kalau pesan lewat aplikasi, mereka ingin cepat, murah, dan tetap enak sampai rumah,” jelas Fajar.

Ia mengakui bahwa layanan pesan antar telah mengubah cara orang makan. Dari yang dulu duduk lama menikmati suasana, kini cukup sekali klik, makanan datang dengan cepat — lengkap dengan kemasan, promo, dan potensi sampahnya.

Fajar sendiri mulai menyadari sisi gelap dari tren ini. Ia mengakui pentingnya memilih tempat makan yang juga peduli lingkungan, meski tak banyak yang konsisten dalam praktiknya.

“Saya juga sedang belajar memilah, mendukung tempat yang pakai kemasan ramah lingkungan. Tapi jujur, belum banyak yang begitu,” katanya.

Dari tangan pengusaha kuliner kreatif hingga jari influencer yang menekan tombol “unggah”, makanan kekinian terus mengalir tanpa henti. Tapi di balik tren yang menggugah selera dan algoritma yang terus menggiring selera publik, ada realitas yang harus dicicipi lebih dalam seperti ketimpangan, sampah, dan lelah yang tak pernah masuk daftar trending. (Andi/IN)