Penulis : H. A. Ahmad Saransi
Akhir-akhir ini, kita semakin sering menyaksikan pertunjukan yang disebut Sigajang Laleng Lipa atau pertarungan saling tikam dalam satu sarung ditampilkan di berbagai pentas budaya, festival, bahkan sebagai tontonan wisata. Adegan dramatis ini sering dipahami sebagai warisan budaya Bugis yang menggambarkan keberanian, kehormatan, dan penyelesaian konflik secara jantan.
Namun benarkah praktik ini memiliki dasar historis dalam tradisi literasi masyarakat Bugis?
Perlu kami sampaikan bahwa hingga kini, belum ditemukan satu pun catatan dalam naskah lontara’, yaitu naskah-naskah kuno yang menjadi sumber utama dokumentasi sejarah dan budaya Sulawesi Selatan, yang secara eksplisit menyinggung tentang tradisi pertarungan sigajang laleng lipa. Tradisi ini lebih banyak hidup dalam bentuk cerita tutur, mitos, dan representasi sastra kontemporer.
Salah satu cerita rakyat yang sering dikaitkan dengan pertarungan semacam ini berasal dari daerah Bantaeng. Di sana terdapat sebuah sumur tua dengan diameter sekitar 1,5 meter yang dikenal dengan nama Balang Toddo.
Konon, di sumur kecil itulah pernah terjadi pertarungan sengit dua lelaki yang saling menikam dalam ruang sempit demi menegakkan harga diri. Meski tak terdokumentasi dalam lontara, kisah ini hidup di tengah masyarakat sebagai simbol ekstrem dari keberanian dan konsekuensi dari rasa malu (siri’).
Selain dalam cerita rakyat, salah satu jejak tertulis mengenai pertarungan dalam sarung ditemukan dalam naskah drama klasik yang berjudul We Sangiang Mangkawani, karya A. M. Mochtar Marioriwawo, yang diterbitkan pada tahun 2008.
Baca juga : Jurnalisme dan Kecerdasan Buatan: Siapa Mengabdi kepada Siapa?
Dalam salah satu adegannya dikisahkan:
“Kedua lelaki berhadapan, I Mangkawani pasrah melihat kakak kandungnya bertarung dengan buah hatinya. Pertarungan dilakukan dalam sarung…”
Adegan ini bukan sekadar simbol kekerasan, tetapi manifestasi dari konflik batin dan kehormatan yang harus dibayar mahal bahkan dengan nyawa. Drama ini menafsirkan ulang nilai-nilai lama dalam bentuk karya sastra, dan memperlihatkan bahwa pertarungan seperti itu lebih merupakan produk dramatik ketimbang praktik keseharian dalam sejarah Bugis.
Dari berbagai temuan ini, dapat disimpulkan bahwa sigajang laleng lipa lebih merupakan metafora dramatik, simbol budaya yang dikonstruksi dan direproduksi dalam berbagai bentuk ekspresi, bukan praktik historis yang secara reguler dilakukan oleh leluhur kita. Maka, pertunjukan sigajang laleng lipa di masa kini hendaknya disikapi sebagai interpretasi artistik, bukan representasi literal sejarah Bugis.
Warisan budaya kita kaya dengan nilai-nilai luhur seperti siri’, pesse, dan lempu’ yang justru lebih banyak ditulis dan diwariskan dalam bentuk ajaran etis dan filosofi hidup dalam lontara. Oleh sebab itu, menggali makna yang benar dari warisan budaya haruslah berdasarkan kajian yang jujur dan mendalam, agar generasi muda tidak terjebak pada mitos, tetapi mampu mengambil hikmah dari akar yang sebenarnya. (*)