back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
30.2 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

Unismuh Makassar Buka Jalur Fast Track: Kuliah 5 Tahun Boyong Ijazah Sarjana dan Magister

IN, MAKASSAR - Setelah meraih akreditasi institusi Unggul dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), Universitas Muhammadiyah Makassar terus mengembangkan inovasi dan terobosan. Salah...
BerandaTerbaruBias Gender dalam Algoritma Mesin Penelusuran di Internet

Bias Gender dalam Algoritma Mesin Penelusuran di Internet

IN, MAKASSAR – Perkembangan teknologi telah membuat orang-orang bergantung pada algoritma kecerdasan buatan yang kita kenal sebagai Artificial Intelegence (AI) dalam meningkatkan efisiensi dan objektifitas dalam pengambilan keputusan manusia. Hampir semua sektor masyarakat, mulai menggunakan mesin-mesin pencari di internet untuk kepentingan pemecahan masalah yang lebih cerdas dan terintegrasi.

Algoritma AI digunakan untuk berbagai macam kepentingan. Tidak hanya dipilih karena lebih efisien, namun tingkat akurasi hasil yang lebih tinggi membuat manusia seakan bergantung pada AI. Sejauh ini, penerapan unggulan dari sistem tersebut, salah satunya adalah mesin pencari di internet, Google, yang digunakan hampir setiap hari.

Google adalah mesin pencari di internet yang berbasis di Amerika Serikat yang ditemukan pada awal tahun1996 oleh 2 orang mahasiswa PHO. Universitas Stanford, Larry Page dan Sergey Brin. Sebagai mesin pencari terpopuler di website, Google menerima sekitar 200 juta permintaan pencarian setiap hari. Namun, ternyata google bukan merupakan mesin pencari yang pertama di dunia. Archie rupaya muncul di masa-masa awal internet dan pertama kali dirilis ke publik pada 10 September 1990, hanya saja, Archie pada dasarnya digunakan untuk mentranser file antar komputer. Lalu, setelah kemunculan Archie, mesin-mesin pencari lainnya mulai bermunculan seperti Yahoo, Veronica dan tentu saja Google.

Legislator Makassar Yeni Rahman Sosialisasi Perda PUG, Minta Pemkot Usung Program Responsif Gender

Namun, beberapa penelitian mendapati adanya kecacatan dan dilema besar yang sering dimunculkan dalam mesin pencari tersebut. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Madalina Vlaceanu dan David M. Amodio, dari Universitas New York (UNY) yang menemukan adanya bias gender dalam algoritma penelusuran di Internet.

Bias gender adalah bentuk dasar dari diskriminasi, di mana seseorang dinilai dan diperlakukan berdasarkan jenis kelamin mereka. Dewasa ini, kasus tersebut seringkali ditemukan di kehidupan sehari-hari maupun dunia maya.

Dengan menggunakan VPN untuk melihat riwayat penelitian di berbagai negara belahan dunia, penelitian tersebut menunjukkan bias gender algoritmik yang berhubungan dengan ketidaksetaraan gender di masyarakat ditemukan di 37 negara yang dijadikan sample.

“Kami mengumpulkan data dari penelusuran ini di sebanyak mungkin negara. Mengingat pembatasan spesifik negara dan akses VPN yang terputus-putus ke server lokal, pada saat pengumpulan data Studi 1, koneksi VPN berhasil di 37 negara. Skor bias gender dihitung untuk setiap negara dengan mengkodekan rasio laki-laki dan perempuan yang menyajikan gambar dalam 100 hasil pertama,”  dikutip dari UNY, Minggu (23/12/2023.

Google merupakan salah satu objek yang dapat dijadikan contoh kasus yang paling dekat. Ketika mengetikkan kata kunci “Pemimpin Terhebat Sepanjang Masa”, berapa banyak pemimpin laki-laki yang ditampilkan, alih-alih pemimpin perempuan? Sementara kata-kata yang mewakili konsep ‘orang’, (misalnya, “seseorang” atau “manusia”), laki-laki lebih cenderung ditampilkan sebagai bias default yang secara kolektif menjadi gambaran individu dalam suatu lingkungan masyarakat.

Demikian pula untuk profesi umum seperti “insinyur”, atau “penulis” kurang mewakili proporsi sebenarnya perempuan dalam pekerjaan tersebut, sehingga perempuan kurang ditampilkan pada hasil pencarian paling atas. Selain itu, algoritme iklan dan lowongan perkerjaan di internet, termasuk media sosial, menargetkan pengguna berdasarkan jenis kelamin mereka ditemukan. Sehingga perempuan akan lebih mendapat informasi pekerjaan yang bersifat feminin misalnya, perawat atau sekretaris, dan pekerjaan yang secara stereotip maskulin misalnya, petugas kebersihan atau sopir taksi akan disarankan pada pengguna laki-laki.

Kasus-kasus semacam ini, adalah bukti bahwa asumsi umum yang ada dimasyarakat dapat terwakili dalam data yang menjadi dasar pelatihan algoritma AI. Ini memperkuat persepsi bahwa pengambilan keputusan AI memiliki potensi untuk berkontribusi terhadap siklus ketimpangan yang melanggengkan, di mana bias sosial yang ada direkapitulasi dalam keluaran algoritmik.

UNESCO sendiri, menyarankan untuk menerapkan etika kecerdasan buatan dalam penetapan standar global dalam bidang ini. Hal ini dilakukan agar algoritma AI tidak meniru representasi stereotip perempuan dalam dunia digital. Pada akhirnya, bagaimanapun juga, bias gender harus dihindari, atau setidaknya diminimalkan dalam pengembangan algoritma penelusuran di Internet hal ini semata-mata untuk mewujudkan kesetaraan dan kesejahteraan semua orang.