MAKASSAR, Inspirasinusantara.id — Di ujung lorong sempit kawasan Kapasa, Tamalanrea, Kota Makassar, perempuan berusia sekitar 65 tahun itu menyapu halaman ruko-ruko baru yang berdiri di atas bekas empang.
Namanya Dg. Mina. Sehari-hari ia membersihkan jalan di kawasan Tallasa City, dulu disebut Parangloe. Gajinya Rp80 ribu per hari, cukup untuk hidup hemat, asal air masih mengalir.
Baca juga: Krisis Air di Pesisir Makassar: Subuh Baru Mengalir, Siang Mati Total
“Kalau air PDAM mati, susah ki,” ujarnya pendek.
Data yang dihimpun InspirasiNusantara.id dari halaman resmi BMKG, musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia, termasuk Sulawesi Selatan, diperkirakan akan dimulai antara April hingga Juni 2025. Namun, dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, musim kemarau tahun ini diprediksi akan datang bersamaan atau lebih lambat dari biasanya di 409 Zona Musim (ZOM), yang mencakup sekitar 59% wilayah Indonesia.
Puncak musim kemarau diperkirakan terjadi pada bulan Agustus 2025 di sebagian besar wilayah Indonesia, termasuk Sulawesi Selatan. Baru-baru ini, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi musim kemarau 2025 di Sulawesi bakal berlangsung lebih singkat dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Durasi musim kering di wilayah ini diperkirakan bervariasi antara 3 hingga 24 dasarian (10 hari per dasarian), tergantung wilayah.
Sulawesi termasuk dalam 42 persen wilayah Indonesia yang diperkirakan mengalami musim kemarau lebih pendek, bersama sebagian besar Sumatera, Jawa, Kalimantan bagian selatan, Bali, Nusa Tenggara, Maluku Utara, dan sebagian Papua.
Baca juga: BMKG Peringatkan Krisis Iklim, Simak 5 Tips Atasi Ancaman Air Bersih
Kendati begitu, Bagi Dg. Mina, musim kemarau di Makassar tetap terasa panjang. Pasalnya, krisis iklim bukan jargon ilmuwan atau kampanye lingkungan. Ia hadir setiap kali air tak keluar dari keran.
Ketika itu terjadi, dia akan menumpang menyambung pipa ke sumur bor milik tetangga. Biayanya? Dibagi rata dengan penghuni kontrakan lain, sebab rumah yang ia tinggali hanya kamar kos.
Air hujan pun ditampung di sumur kecil. Tapi hanya cukup untuk mandi dan mencuci pakaian. Untuk memasak dan minum, air PDAM adalah satu-satunya harapan. Jika alirannya berhenti, ia akan menunggu mobil tangki dari PDAM. Itu pun kalau sempat.
“Capek mi pulang kerja. Ka tua maka saya,” katanya.
Dg. Mina lahir di Malino, kota dingin di kaki Gunung Bawakaraeng, lalu merantau ke Makassar mengikuti anak-anaknya yang bekerja.
Ia kini tinggal bersama anak sulungnya, setelah suaminya meninggal. Kepala keluarga tunggal di usia senja, ia menggantungkan hidup dari menyapu jalanan selama 16 tahun terakhir.
Dulu, katanya, kawasan tempat ia bekerja masih berupa empang. Jika lapar, mereka hanya menahan diri.
“Sekarang sudah enak, ada penjual, ada ruko,” ucapnya sambil mengingat masa-masa sulit.
Namun air tetap jadi persoalan. PDAM dan sumur bor sama-sama dibayar. Rata-rata ia mengeluarkan Rp75 ribu sebulan untuk air. Kadang lebih, kadang kurang.
Ia belum menyambung ke sumur bor tetangga bulan ini karena air hujan masih cukup tertampung.
Dulu, kata dia, ada partai yang membangun sumur bor di sekitar sana.
“Karena menang di sana,” katanya.
Tapi sumur itu tak gratis, tetap harus dibayar. Bagi Dg. Mina, politik praktis itu soal bertahan. Yang memberi sumur, diberi suara. Tidak lebih.
Yang ia tahu, belum pernah ada sosialisasi atau imbauan dari pemerintah tentang penghematan air. Jika pun ada bantuan mobil tangki, tak sempat ia ambil.
“Saya kerja, capek mi. Tidak bisa angkat berat-berat,” ucapnya.
Kini, di usia yang rawan sakit, air bersih adalah kemewahan. Jika PDAM mati total seperti biasanya saat kemarau, ia harus mengangkat ember sendiri dari tetangga yang punya sumur bor. Kadang tak sanggup namun tak ada pilihan.
“Kita kerja di sini untuk menyambung hidup ji. Kalau untuk kaya, tidak mungkin,” tuturnya lirih.
Suara Dg. Mina bukan sekadar keluhan orang tua. Ia adalah potret nyata bagaimana krisis iklim memperdalam ketimpangan di kota.
Di balik pembangunan kota baru, ada perempuan tua yang menggantungkan hidup pada air hujan, pipa tetangga, dan kekuatan kakinya sendiri.
Krisis Air, Krisis Keadilan Gender
Di kota yang berkembang pesat seperti Makassar, krisis air bersih bukan lagi isu musiman.
Ia datang tiap tahun, mengendap di lorong-lorong padat, merembes ke dapur-dapur kontrakan, dan menggantungkan nasib keluarga pada pipa yang kadang mengalir, kadang tidak.
Namun, dampaknya tak pernah netral lantaran perempuan selalu berada di barisan paling depan.
“Air bersih dibutuhkan semua orang, tapi perempuan paling berat menanggung dampaknya,” kata Kepala Laboratorium Sosiologi FISIP Unhas, Nuvida Raf kepada Inspirasi Nusantara.
Nuvida menjelaskan, krisis air menyentuh semua aspek kehidupan, mulai dari kesehatan, beban ekonomi, hingga kesejahteraan mental.
Namun karena tanggung jawab domestik secara sosial masih dilekatkan pada perempuan, maka mereka pula yang harus mengatur semua dari dapur, kamar mandi, hingga air minum.
“Ketika air tidak mengalir, perempuan harus menunggu malam untuk mencuci. Kalau kerja, mereka istirahat lebih malam karena harus tunggu air dulu,” ujarnya.
Lelah, Sunyi, dan Beban yang Tak Terbagi
Situasi makin pelik di kawasan padat, tempat mayoritas warga menggantungkan hidup dari pekerjaan informal. Di sana, pembelian air bukan hal sepele.
Setiap liter dibayar dari uang makan harian. Ketika air PDAM mati, perempuan kembali jadi penjaga tangki. Menunggu giliran, mengangkat jerigen, dan mengatur siapa dapat berapa.
“Kadang ada konflik kecil antar tetangga soal air,” ungkap Nuvida.
“Rebutan air bisa memicu ketegangan sosial.”
Selain konflik horizontal, beban ekonomi ikut menekan. Saat kemarau panjang, rumah tangga mengandalkan pendingin ruangan atau kipas angin.
Listrik melonjak, begitu pula risiko penyakit kulit dan infeksi saluran kemih akibat kurangnya air bersih.
“Semuanya dikelola oleh perempuan. Listrik naik, beli air, kesehatan keluarga (semua mereka pikirkan),” tegasnya.
Gender, Negara, dan Kebijakan yang Terjebak Formalitas
Pemerintah Kota Makassar sebenarnya telah memiliki regulasi yakni Perda Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG). Hanya saja, dalam praktiknya, kebijakan itu dinilai masih sebatas di ruang rapat.
“Pasal-pasalnya banyak bicara ke dalam, ke aparat pemerintah. Kalaupun bicara masyarakat, hanya soal partisipasi dalam kegiatan,” kata Nuvida.
Masalahnya, krisis air tak dianggap sebagai isu gender. Di lapangan, pengadaan air masih dinilai sebagai urusan pribadi–siapa mampu, dia beli.
Padahal, kata Nuvida, krisis air bersih di Makassar adalah bencana berulang yang semestinya sudah diantisipasi secara struktural hingga ke tingkat RT dan kelurahan.
“Kalau krisis ini reguler tiap tahun, kenapa belum jadi prioritas pembangunan?” tanyanya retoris.
Perempuan Butuh Meja Perundingan, Bukan Sekadar Undangan
Dalam isu adaptasi terhadap krisis iklim, Nuvida menekankan pentingnya melibatkan perempuan bukan sebagai simbol, tetapi sebagai penentu arah kebijakan. Mereka yang paling merasakan dampaknya, mereka pula yang tahu solusi paling aplikatif.
“Solusi dari perempuan biasanya dianggap sederhana, tapi justru tepat sasaran karena mereka tahu persis kebutuhan sehari-hari,” ujarnya.
Namun pelibatan perempuan, kata Nuvida, tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Undangan seminar pada jam kerja bukan solusi.
Menurutnya, yang dibutuhkan adalah pendekatan yang membumi, seperti mendatangi rumah mereka setelah jam kerja, atau saat pengajian dan arisan.
“Kalau ingin efektif, libatkan mereka dalam ruang yang nyaman dan tidak menambah beban baru,” katanya.
Bahkan, lanjutnya, laki-laki juga harus dilibatkan aktif. Bukan hanya sebagai kepala keluarga, tapi sebagai bagian dari solusi kolektif.
“Kalau ada bantuan air, jangan ibu-ibu lagi yang disuruh angkat,” tegasnya.
Jauh dari Sejahtera
Krisis air adalah krisis yang memperdalam jurang ketidakadilan. Ia tak hanya mengeringkan sumur, tapi juga menyusutkan ruang istirahat, kesehatan, dan keharmonisan keluarga.
Jika kota gagal menyusun kebijakan adaptasi iklim yang adil gender, maka Makassar bukan sekadar kekurangan air, tapi juga kekurangan keadilan.
Hingga tahun 2025, ratusan kepala keluarga di tiga kelurahan Kecamatan Tallo, Biringkanaya, dan Tamalanrea masih bergantung pada pembelian air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.
Perempuan, terutama ibu rumah tangga dan pekerja informal, menjadi kelompok yang paling terdampak.
Meskipun Pemerintah Kota Makassar telah menerima penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya 2023 atas upaya pengarusutamaan gender.
Namun, kenyataannya masih banyak perempuan di permukiman padat yang belum merasakan manfaat dari kebijakan tersebut. (mg1/IN)