Opini  

Camping and Study Tour CS Unhas’s Family: “Dari Kampus ke Kampung”

Camping and Study Tour CS Unhas’s Family: “Dari Kampus ke Kampung”
CS UNHAS'S FAMILY mengadakan Camping and Study Tour di Bissoloro pada Sabtu-Minggu, 18-19 Januari 2025. (foto:istimewa)

BAK bunyi pepatah lama, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, sekali CS Unhas’s Family bepergian dua tiga agenda lunas terbayar. Pada Sabtu-Minggu, 18-19 Januari 2025 pekan kemarin, CS Unhas’s Family menghelat  Camping and Study Tour di Rita Malompoa, Bissoloro, Gowa.

Berada di ketinggian 1.500 Mdpl, Bissoloro dikelilingi hutan pinus, hamparan pegunungan, lembah, dan perkebunan. Bissoloro juga menyimpan banyak peninggalan budaya, satu diantaranya, seperti kandang ternak (Bara domenga) yang diperkirakan telah berusia 500 tahun. 

Selama dua hari ngecamp di Rita Malompoa Bissoloro. Dr. Andi Faisal, M.Hum, Kaprodi Kajian Budaya (Cultural Studies) UNHAS bersama sepuluh mahasiswa menjelajahi dan berinteraksi dengan masyarakat yang mayoritas petani, peternak, dan sebagian jadi pembuat gula aren. Tujuan utama Camping and Study Tour CS Unhas’s Family, yakni pascabelajar di kampus, mahasiswa CS UNHAS berkewajiban untuk ‘turba’—turun ke bawah. Atau bergerak ‘dari kampus ke kampung’ berkomuni dengan masyarakat kelas bawah.

Mengapa penting bergerak ‘dari kampus ke kampung? Mengingat kampus sebagai ‘pabrik pengetahuan’ lebih banyak mendapat suplai ‘bahan pokok’ dari kampung. Tetapi, hari-hari belakangan antara warga kampus dan warga kampung tercipta hubungan begitu berjarak. Keadaan ini disoal Peter Fleming dalam Dark Academia: How Universities Die, yang menilai kampus sudah terlalu elitis, dan karena itu mengambil jarak dengan masyarakat biasa. Kampus terkurung sistem neoliberal, sehingga cenderung berorientasi bisnis. 

Persoalan semakin kompleks ketika homo academicus hanya berumah di ‘menara gading’, dan membiarkan masyarakat kelas bawah berurusan dengan kebijakan negara yang sepenuhnya berbasis pasar. Kita tahu bersama bahwa masyarakat yang terbatas pengetahuan, slogan “membangun dari kampung” adalah keberuntungan. Padahal dalam kamus negara, membangun artinya memindahkan titik eksploitasi dari pusat yang telah habis digarap ke wilayah pinggiran yang belum dimamah mulut-mulut eksavator.

Dalam kasus yang lain, antara masyarakat perkotaan dengan masyarakat kampung tercipta hubungan begitu berjarak. Keadaan ini menginggatkan kita pada “plural society yang diperbincangkan J.S Furnivall (1948) mengenai segregasi sosial yang terjadi di era kolonial. Di mana rezim kolonial menyekat masyarakat beragam dalam kelompok-kelompok yang diberi peran dan pemukiman yang terpisah, yang hanya bertemu di pasar.

Rezim kolonial melihat kampung sebagai sumber masalah, terutama ketika berbagai macam wabah seperti kolera dan sampar menyerang kota-kota di Hindia Belanda di awal abad ke-20. Perkampungan dianggap tempat yang tidak higienis, kumuh, dan rawan dari segi keamanan. Untuk mengatasi hal itu, pemerintah kolonial mengadakan program perbaikan kampung (kampung verbetering), dengan membuat jalan, selokan, dan penerangan.

Padangan semacam ini dilanggengkan hingga kini, frasa ‘kampung’ masih dimaknai secara negatif, seperti istilah ‘kampungan’ yang berarti terbelakang, tidak mengikuti perkembangan jaman, tertinggal, dan kumuh. Orang kota kerap memandang orang kampung sebagai ‘orang kotor’. Padahal mereka tidak menyadari bahwa makanan yang mereka makan itu ada karena orang kampung berkubang dengan tanah. Stigma buruk ini pada akhirnya, memaksa orang-orang pergi dari kampung, tinggal di kota. Ketika orang-orang bermigrasi ke kota, berbagi studi menunjukkan bahwa di sanalah mereka tercekik kemiskinan yang pelik.

Upayah membebaskan masyarakat kelas bawah dari kemiskinan, atau stigma kampungan. Pemerintah seperti seorang dukun yang meracik obat di malam hari dan menjualnya di pagi hari. Begitu cepat dan tergesa-gesa, sehingga tanpa didukung pengkajian yang matang. Semisal megatren wisata global, di mana  pemerintah pusat dan pemerintah daerah berinvestasi dalam proyek “kampung wisata. Desa-desa yang selama ini terpinggirkan, baik di kawasan kumuh perkotaan atau di pedesaan, direplikasikan menjadi tempat wisata.

Pada tahun 2023, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mencatat ada 4.674 desa wisata di Indonesia. Jumlah ini meningkat sebesar 36,7 persen dari tahun sebelumnya yang hanya 3.419 desa wisata. Nahasnya, dalam sejumlah kasus, banyak desa wisata hanya mengikuti trend, pascaperesmian desa-desa wisata tadi kembali tiarap.

Di tepian lain, paradigma wisata telah membuat kampung menjadi lokasi dan objek untuk ditatap. Warga yang tinggal di kampung menjadi bagian dari lanskap yang dipakai untuk ber-selfie. Masyarakat lokal di kawasan wisata dibatasi dan dikekang oleh aturan-aturan yang bertujuan memberi kenyamanan bagi para pengunjung.

Melani Budianta dalam Lumbung Budaya di Sepanjang Gang, Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta 2020, menunjukkan bahwa megatren wisata global dalam prosesnya, lahan dan rumah penduduk dibeli oleh yang memiliki modal, dan disulap menjadi kawasan khusus wisata. Penduduk yang tanah dan rumahnya dibeli dipinda secara sukarela, atau dengan cara penggusuran. Berbagai alasan, seperti pembangunan fasilitas umum, urusan legalitas, atau moralitas seringkali dipakai untuk memaksa pemindahan warga dari tempat tinggalnya di kampung. Warga yang direlokasi bukan hanya mereka kehilangan huniannya saja, tetapi juga, memori kolektif masa kecilnya.

Anggapan masyarakat lokal tidak bisa mengelola segala potensi di daerahnya, merupakan suatu pandangan yang terlalu menggampakan. Padahal kenyataannya, masyarakat tidak diberi kesempatan. Ekowisata Bissoloro semisalnya, adalah bukti masyarakat lokal punya kemampuan mengelola potensi di daerahnya. Bahkan mereka menjaga keberlangsungan potensi sumber daya di daerahnya.

Tren desa wisata tidak serta membuat masyarakat Bissoloro meninggalkan profesinya sebagai petani. Justru mayoritas penduduk Bissoloro mengandalkan sektor pertanian sebagai mata pencaharian utama, dengan fokus utama pada pertanian sawah dan kebun jagung. Potensi ini tidak hanya mendukung ketahanan pangan masyarakat, tetapi juga membuka peluang untuk pengembangan ekonomi yang berkelanjutan di tingkat lokal.

Demi menjaga keberlanjutan lahan pertanian mereka, para petani di Bissoloro tidak menjual lahan pertaniannya kepada para investor yang akan mengubah fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian. Semisal di Camp Wisata Rita Malompoa—lokasi Camping and Study Tour CS Unhas’s Family, masih berdiri kukuh berhektare-hektare perkebunan jagung, yang justru menambah keindahah pemandangan. (*/IN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *