SEPERTI biasa, kebiasaan pagi yang sering saya lakukan membuka aplikasi WhatsApp, lalu melihat status teman satu persatu. Salah satu teman memasang foto tokoh agama yang juga utusan khusus presiden dengan catatan “Gus Juga Manusia”. Menariknya, ada tiga orang teman yang menjadikan itu status dengan wacana yang sama. Membuat saya tertawa, bukan karena lucu namun respons atas keresahan saya akhir-akhir ini tentang “Kekuasaan, Humor, dan Etika”.
Bagi saya, insiden yang melibatkan Gus Miftah, seorang tokoh agama yang mengolok-olok seorang penjual es teh dalam acara pengajian, telah mencuri perhatian publik. Dalam video yang viral, Gus Miftah menyampaikan kalimat kasar kepada pedagang tersebut, yang disertai dengan tawa.
Tindakan ini mendapat kecaman luas dari warganet yang menilai bahwa perilaku seperti ini tidak pantas datang dari seseorang yang dianggap sebagai figur agama. Namun, di balik kemarahan netizen, tersimpan dinamika kekuasaan yang lebih dalam.
Produksi Diskursus dan Normalisasi Perilaku
Gus Miftah, sebagai pendakwah yang memiliki posisi tinggi, memegang otoritas yang tidak hanya dibentuk oleh pengetahuan agama, tetapi juga oleh pengaruhnya dalam kehidupan sosial-politik. Sebagai Utusan Khusus Presiden dalam bidang kerukunan beragama, dia memiliki kekuasaan yang besar dalam membentuk opini dan norma di masyarakat.
Oleh karena itu, kata-kata dan tindakan Gus Miftah tidak hanya sekadar guyonan, tetapi juga dapat dipahami sebagai bentuk interaksi kekuasaan. Dalam kerangka Foucault, kekuasaan bukan hanya berupa kontrol yang menindas, tetapi juga kekuasaan yang beroperasi secara lebih halus dalam bentuk norma dan perilaku yang didistribusikan melalui diskursus.
Humor dan lelucon yang dikeluarkan oleh Gus Miftah dalam konteks ini mencerminkan bagaimana otoritasnya digunakan untuk mendisiplinkan individu, dalam hal ini pedagang es teh yang berada dalam posisi yang lebih rendah dalam hierarki sosial.
Meskipun Gus Miftah mungkin bermaksud berseloroh, masyarakat modern, yang semakin peka terhadap isu-isu keadilan sosial, melihat tindakan tersebut sebagai bentuk penghinaan. Diskursus yang dibentuk oleh figur otoritas semacam Gus Miftah tidak dapat dihindarkan dari pertanggungjawaban sosial.
Seperti yang diungkapkan oleh Foucault, kekuasaan selalu terkait dengan resistensi. Media sosial, yang berfungsi sebagai arena publik, dengan cepat menjadi tempat bagi netizen untuk menanggapi dan menentang tindakan tersebut. Dalam waktu singkat, respons publik menggugah kesadaran kolektif untuk mempertanyakan kembali perilaku seorang tokoh agama, menuntut perubahan dalam cara berinteraksi dan berdakwah.
Lebih jauh lagi, insiden ini mencerminkan ketimpangan sosial yang masih ada di Indonesia, di mana figur yang memiliki kekuasaan seringkali merasa bebas untuk memperlakukan orang-orang di bawahnya dengan cara yang merendahkan. Para pedagang kecil, yang sudah menghadapi tantangan hidup yang berat, seolah menjadi sasaran empuk untuk diejek, bahkan oleh mereka yang seharusnya menjadi panutan moral.
Dalam hal ini, Gus Miftah seolah lupa bahwa sebagai seorang tokoh agama, sikap yang lebih bijaksana dan menghargai sesama adalah hal yang jauh lebih dibutuhkan dalam membimbing masyarakat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Gus Miftah memiliki banyak pengikut dan pengaruh besar, namun insiden ini menunjukkan bahwa kekuasaan semacam itu juga bisa dipertanyakan. Tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesopanan dan penghormatan terhadap martabat manusia bisa menjadi bumerang bagi figur publik. Apalagi dalam era digital ini, ketika setiap ucapan dan tindakan dapat dengan mudah tersebar dan menjadi konsumsi publik.
Pada akhirnya, insiden ini mengingatkan kita bahwa kekuasaan harus selalu disertai dengan tanggung jawab moral. Sebagai figur agama dan publik, Gus Miftah seharusnya lebih berhati-hati dalam bertindak, terlebih lagi dalam berinteraksi dengan mereka yang lebih lemah atau lebih rendah dalam hierarki sosial.
Sementara itu, masyarakat juga memiliki peran penting dalam mengingatkan figur otoritas akan tanggung jawab mereka. Media sosial menjadi alat penting dalam menyuarakan ketidaksetujuan dan mendesak perubahan, dan ini adalah contoh nyata bagaimana kekuasaan bisa ditentang melalui diskursus yang terbuka dan partisipatif.
Di dunia yang semakin mengedepankan keadilan dan kesetaraan, tidak ada ruang untuk merendahkan martabat orang lain atas nama humor atau guyonan. Sebagai masyarakat, kita harus terus mendorong perubahan positif dengan mendukung perilaku yang lebih manusiawi dan menghargai keberagaman. Sebab, pada akhirnya, etika dan adab dalam berinteraksi adalah cerminan dari kemajuan moral sebuah bangsa. (*)