Budaya  

Hari Dongeng Nasional: Rayakan dengan Cerita Sulawesi Selatan Berikut

Hari Dongeng Nasional: Rayakan dengan Cerita Sulawesi Selatan Berikut
ILUSTRASI. Hari Dongeng Nasional, Rayakan dengan Cerita Sulawesi Selatan. (foto:istimewa)

INSPIRASI NUSANTARA– Hari Dongeng menjadi momentum untuk mengenang dan menghidupkan kembali kekayaan cerita rakyat Nusantara, termasuk dari Sulawesi Selatan.

Hari Dongeng adalah momen yang tepat untuk mengenang kembali kekayaan cerita rakyat Nusantara, termasuk dari Sulawesi Selatan. Wilayah yang kaya budaya ini memiliki banyak dongeng yang tidak hanya menghibur, tetapi juga sarat dengan pesan moral yang relevan hingga kini.

Dongeng dan cerita rakyat adalah warisan budaya yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan. Sebagai bagian dari kekayaan sastra lisan Nusantara, Sulawesi Selatan memiliki beragam cerita rakyat yang diwariskan turun-temurun.

Dalam memperingati Hari Dongeng, mari kita telusuri kembali kisah-kisah penuh pesan moral yang mengajarkan kebijaksanaan, kecerdikan, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Kisah-kisah ini diabadikan dalam buku Ceritera Rakyat Daerah Sulawesi Selatan (1976-1977), yang mengumpulkan setidaknya 20 cerita dari berbagai wilayah di Sulawesi Selatan.

Berikut adalah beberapa di antaranya yang sarat makna dan relevan untuk generasi saat ini:

1. La Upe dan Ibu Tiri

Cerita rakyat dari Sulawesi ini mendeskripsikan seorang anak yang ibunya meninggal dunia. Anak tersebut bernama La Upe. Sepeninggal ibu kandungnya, ia diasuh oleh ibu tiri bernama I Ruga.
Orang tua itu ternyata tidak memperlakukan anak tirinya dengan baik, bahkan dikisahkan galak dan sering memukul. Situasi ini terus berlanjut sampai La Upe menemukan ikan berkekuatan mistik yang bisa membantunya.

Suatu hari dikisahkan I Ruga sedang menunggu La Upe di depan pintu. Hendak memarahi anak tirinya, I Ruga malah merasakan kondisi aneh karena tubuhnya tiba-tiba menempel ke pintu.

Masalah tersebut diketahui oleh ayah La Upe. Pria yang menjadi kepala keluarga itu pun memberikan nasihat kepada istri barunya.

2. La Tongko-Tongko

Dinukil dari Cerita Rakyat Daerah Wajo di Sulawesi Selatan, “La Tongko-Tongko” merupakan nama seorang anak yang dikenal kebodohannya. Namun demikian, ia dengan percaya diri ingin mencari perempuan untuk dinikahi.
Gadis pertama yang ditemukannya adalah pembawa kentang, berakhir nahas dengan timpukan makanan berkarbohidrat tersebut. Begitu juga nasib La Tongko-Tongko saat mendatangi sosok cantik pembawa belanga.

Kegigihan La Tongko-Tongko ternyata tidak pudar, dia masuk ke sebuah semak-semak dan bertemu gadis di sana. Tanpa berpikir panjang, pria yang sedang haus terhadap cinta ini mengajak perempuan itu menikah.

Adapun gadis tersebut tidak bernyawa, sehingga tak memunculkan respon sedikitpun. Berangkat dari latar belakang ini, La Tongko-Tongko pun membawa calon pengantin ke kediaman untuk bertemu ibunya.

Ibu La Tongko sadar bahwa perempuan itu sudah tidak bernapas, kemudian menasehati anak untuk segera menguburnya. Kesalahan fatal terjadi kala itu, di mana Ibu mendeskripsikan ciri meninggalnya seseorang dari bau busuk.

La Tongko menerima alasan tersebut secara mentah-mentah. Bahkan setelahnya menyebutkan bahwa ibu sudah meninggal lantaran buang angin. Tidak masuk akal juga, ia menganggap dirinya tewas karena alasan serupa.

Merasa sudah tidak bernyawa, La Tongko-Tongko mengubur dirinya sendiri dan menyisakan kepala saja di atas tanah.

3. La Mellong

“La Mellong” secara garis besar mengisahkan kondisi Kerajaan Bone yang hendak melakukan hajatan, dengan tokoh utama bernama La Mellong. Acara tersebut membutuhkan sumber daya bambu lebih besar dari biasanya. Namun, kerajaan tak punya stok.
Dengan kecerdikan La Mellong menghampiri para pengurus Kerajaan Wajo. Bukan langsung meminta, ia malah diperlihatkan bagaimana banyaknya peliharaan kerbau yang dimiliki oleh kerajaan.

Siasat cerdik pun tergambar di kepalanya, menyebutkan bahwa kerbau di Kerajaan Bone ada di setiap ruas batang bambu. Berkat pengantar itu, orang-orang Wajo merasa tidak percaya dan ingin membuktikan kebenarannya.

Pihak Kerajaan Wajo pun datang berbondong-bondong ke Kerajaan Bone sambil membawa banyak sekali bambu. Bukan melihat deretan kerbau yang berbaris di setiap ruas bambu, namun hewan ternak itu hanya dikalungi masing-masing dengan seruas bambu.

Merasa telah dikelabui, mereka yang sudah datang dari tempat jauh pun membuang bambu. Dengan begitu, permasalahan kurangnya bambu di Kerajaan Bone untuk hajatan bisa diatasi.

Pesan moral cerita dari Sulawesi Selatan adalah jangan mudah percaya dengan perkataan orang lain. Berbagai hal yang dikatakan oleh orang lain bisa jadi suatu kebenaran dan tidak, sehingga kita harus cari hal pastinya dahulu.

4. La Sallomo

“La Sallomo” merupakan cerita rakyat dari Sulawesi Selatan yang terkenal karena kecerdasan dan kelicikan tokoh utamanya, La Sallomo. Namun demikian, semua hal licik yang dilakukan oleh tokoh utama bertujuan untuk menyelamatkan Addatuang Sidenreng.
Bermula dari kisah pernikahan Addatuang, di mana terdapat pihak dari Kerajaan Bone yang hendak menghancurkan acara. Lantaran terdaftar sebagai kekuatan besar, Raja Bone meminta pesuruhnya untuk hanya menyajikan burung gereja sebagai hidangan perkawinan.

Lauk tersebut tidak diperbolehkan dicampur dengan makanan lain, sementara konsekuensinya adalah penyerangan. Berawal dari situ, La Sallomo memerintahkan pesuruh Bone untuk membuat berbagai pisau dari bahan jarum.

Alat itu akan dipakai untuk menyembelih burung, membaginya menjadi bagian-bagian kecil, dan sebagainya. Namun, pihak Bone langsung angkat tangan karena pembuatannya cenderung negatif berhasil.

Begitulah salah satu aktivitas La Sallomo dalam cerita folklore tersebut. Kemudian dilanjutkan dengan kelicikan dan kecerdasan lain untuk mencegah terjadinya.

5. La Dana dan Kerbau

Dikutip dari P4tKTKPLB Kemdikbud, dikisahkan seorang anak bernama La Dana yang cerdik dan licik. Bocah tersebut mengikuti acara pemotongan kerbau di Tana Toraja, budaya yang kerap dilakukan saat pesta kematian.
Adapun La Dana hanya memperoleh bagian kaki belakang, sementara sisanya diterima oleh salah satu temannya. Berangkat dari pemikiran licik, bocah itu mengajak temannya untuk menukar barang mati menjadi kerbau hidup.

Hewan tersebut dipelihara oleh teman La Dana. Namun demikian, siasat licik dilakukan oleh La Dana dengan mempertanyakan kerbau setiap hari. Bahkan, temannya yang sudah lelah menanggapi langsung menyerahkan hewan yang dimaksud.

6. Putri Tandampalik

Mengutip laman Kebudayaan Kemdikbud, kisah “Putri Tandampalik” menceritakan putri bernama serupa yang merupakan anak dari Datu Luwu. Pada dasarnya, perempuan di sana tidak diperbolehkan menikah dengan orang luar wilayah suku.
Namun demikian, Raja Bone malah meminang paksa Putri Tandampalik. Dengan kekuasaan yang dimiliki pria tersebut, ia melanggar aturan adat yang seharusnya berlaku di wilayah Luwu.

Pernikahan antara kedua orang ini memang berhasil. Namun, Putri Tandampalik mengalami nasib buruk karena kulitnya terkena penyakit.

Kasus tersebut membuat Putri Tandampalik diasingkan ke sebuah pulau, wilayahnya disebut Wajo. Ia pun bertempat tinggal di sana bersama beberapa pengikut setianya.

Perempuan ini bertemu dengan sosok kerbau berwarna putih yang ternyata bisa menyembuhkan penyakit. Kemudian bertemu Pangeran Kerajaan Bone yang jatuh hati secara langsung kepada Tandampalik.

Hari Dongeng bukan sekadar perayaan, tetapi juga momentum untuk merefleksikan nilai-nilai luhur dalam cerita rakyat. Dongeng-dongeng ini tidak hanya menyajikan hiburan, tetapi juga menjadi sumber inspirasi untuk menghadapi tantangan kehidupan.

Generasi muda dapat belajar banyak dari kisah-kisah ini, mulai dari ketabahan La Upe hingga kecerdikan La Mellong. Mari kita jaga dan lestarikan dongeng sebagai bagian dari identitas budaya, sekaligus membagikan pesan-pesan moral kepada dunia. (fit/in)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *