Berapa gelas plastik yang dihasilkan satu coffee shop dalam sehari? Ke mana perginya setelah dibuang? Pertanyaan-pertanyaan itu yang coba dijawab oleh komunitas Berdaur lewat acara Movement Talks Daur Baur di Makassar. Di sana, mereka tak hanya menyodorkan data dan edukasi, tapi juga bukti nyata: produk-produk bernilai dari sampah yang selama ini dianggap tak berguna.
MAKASSAR, Inspirasinusantara.id — Di sebuah ruang diskusi yang digelar sederhana namun penuh makna, sekelompok anak muda memamerkan tatakan gelas, anting, nampan, hingga gantungan kunci.
Sekilas tampak seperti kerajinan biasa. Namun benda-benda itu, menurut Yayang Malil, adalah “sisa-sisa gaya hidup modern” yang telah melalui proses panjang penyelamatan.
Baca juga: Waspada! Mikroplastik Ancam Kesehatan lewat Makanan
“Ini semua dari limbah sehari coffee shop—plastik gelas, sedotan, sampai bungkus makanan,” kata Yayang, pendiri komunitas Berdaur, dalam forum Movement Talks Daur Baur beberapa waktu lalu.
Baca juga: Kesehatan Warga Tergerus Krisis Iklim Makassar
Ia menunjuk satu nampan dari plastik daur ulang, yang masih menyisakan aroma kopi.
Acara itu bukan sekadar pameran. Ia adalah ruang edukasi, ajakan reflektif, sekaligus peragaan konkret tentang bagaimana jejak konsumsi dari warung kopi kekinian bisa kembali ke tangan masyarakat sebagai produk berguna—dan bernilai ekonomi.
Dari Gunungan Sampah ke Produk Estetik
Berdaur lahir dari keprihatinan yang tak sederhana: bagaimana sampah rumah tangga, khususnya plastik dan limbah coffee shop, mengalir diam-diam menyusup ke kehidupan kota.
Proyek ini merupakan kelanjutan dari gerakan kampus pecinta alam Organik, yang sejak 2019 rutin mengkampanyekan gerakan #StopSingleUsePlastik lewat edukasi ke sekolah, demo jalanan, hingga lomba desain tumbler.
“Kalau hanya kampanye tanpa solusi konkret, ya mentok di selebaran,” ujar Yayang.
Maka sejak akhir 2024, sepulang dari program pertukaran praktik pengelolaan sampah di Jerman, ia menginisiasi Berdaur sebagai aksi nyata—mengolah limbah plastik dan kertas menjadi produk ekonomis sambil mengedukasi.
Produk daur ulang Berdaur lahir dari kerja sama dengan sejumlah coffee shop yang bersedia memilah sampah plastik mereka.
Setiap potongan kemasan kopi, sendok plastik, dan bekas bungkus diubah menjadi suvenir dengan nilai estetika dan ekonomi.
“Kami ingin menunjukkan bahwa sampah itu bisa diolah, tapi harus ada sistem dan kepercayaan,” kata Yayang.
Konsistensi sebagai Kunci Perubahan
Gagasan ini disambut baik oleh komunitas lingkungan lain. Zul Kifli Coel dari Catatan Bumi menilai gerakan seperti Berdaur perlu dikawal dengan refleksi dan konsistensi.
“Tanpa refleksi, aksi hanya jadi tren sesaat,” katanya.
Dalam forum yang sama, ia mengingatkan bahwa edukasi lingkungan semestinya tak berhenti di kelas atau media sosial, melainkan menyentuh praktik harian dan kebijakan publik.
Coel mencontohkan perjuangan mereka melawan tambang nikel di Raja Ampat. Di sana, sungai tercemar limbah industri dan hutan dibabat habis.
“Kami pakai dress code coklat untuk mengingatkan: sungai kami tak lagi bening,” ujar Coel.
Ia berharap kampanye urban seperti daur ulang sampah coffee shop bisa bersinergi dengan gerakan yang lebih luas, termasuk perbaikan regulasi dan fasilitas dari pemerintah.
Dari Kopi ke Kompos: Gagasan Usaha Berbasis Data Sampah
Inisiatif pengolahan sampah juga hadir dari pengalaman Erbe, seorang pegiat muda yang pernah viral karena mengumpulkan ampas kopi dari sejumlah kafe di Makassar.
Dari upaya sederhana itu, Erbe kini tengah merintis layanan pengangkutan dan pengolahan sampah organik, lengkap dengan sistem laporan bulanan.
“Saya ingin satu kampung atau RT bisa punya data riset sampah mereka sendiri,” ujar Erbe.
Ia menyusun sistem layanan yang memungkinkan rumah tangga dan restoran menyerahkan sampah organik sekali sepekan, lalu mendapat laporan pemrosesan dan taksiran karbon.
Tarif yang ditawarkan pun terjangkau, mulai Rp40 ribu per bulan untuk rumah tangga hingga Rp900 ribu untuk restoran besar.

Biaya itu mencakup ongkos bensin, upah tenaga kerja, hingga biaya pengomposan.
“Sampah adalah data dan data bisa jadi dasar perubahan,” kata Erbe, yang berharap usahanya bisa menyatu dengan program kampung iklim atau inisiatif urban farming.
Ekonomi Sirkular, Tapi Siapa yang Memulai?
Gerakan daur ulang seperti Berdaur atau layanan kompos seperti yang dibangun Erbe menegaskan bahwa ekonomi sirkular bukan sekadar jargon pemerintah atau jargon CSR korporat.
Ia lahir dari keresahan warga, dari tumpukan sampah yang menyesakkan lorong, dari pertanyaan sehari-hari: ke mana perginya jejak gelas kopi?
Tantangannya, tentu, tak ringan. Regulasi lemah, fasilitas terbatas, dan sistem pengelolaan sampah kota yang masih tambal sulam membuat banyak inisiatif warga berjalan tertatih.
Namun di tengah keterbatasan itu, gerakan seperti Daur Baur menunjukkan bahwa perubahan mungkin, selama ada konsistensi, kolaborasi, dan keyakinan.
“Saya percaya,” kata Yayang sambil merapikan nampan daur ulangnya, “bahwa mendidik orang bisa dimulai dari secangkir kopi.” (Andi/IN)



