back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
25.7 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

Bapenda Makassar Lakukan Penertiban Reklame Ilegal

MAKASSAR, Inspirasinusantara.id – Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Makassar kembali melakukan penertiban terhadap reklame ilegal yang tidak membayar pajak dan melanggar aturan perizinan. Penertiban ini...
BerandaEksklusifKota Makassar di Halaman Depan Krisis Iklim

Kota Makassar di Halaman Depan Krisis Iklim

MAKASSAR, Inspirasinusantara.id — Letak geografis yang strategis sekaligus rawan menempatkan Kota Makassar sebagai salah satu kota kunci dalam lanskap krisis iklim Indonesia. Di kota yang tumbuh cepat ini, suhu harian yang sebelumnya stabil kini perlahan meningkat.

“Makassar mengalami suhu yang relatif tinggi dan suhu harian yang cenderung stabil, tetapi meningkat akibat perubahan iklim,” ujar Prof. Nita Rukminasari, Guru Besar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin.

Baca juga: Krisis Iklim Versi BMKG dan Suara Warga Makassar 

Prof. Nita menjelaskan bahwa posisi Makassar dalam peta krisis iklim Indonesia cukup signifikan. Letaknya di bagian tenggara Sulawesi, dekat dengan garis khatulistiwa, membuat kota ini sejak awal memiliki temperatur tinggi. Namun kini, perubahan iklim memperparah kondisi tersebut. Risiko paling jelas datang dari laut.

“Karena kedekatannya dengan pantai dan garis pantai yang panjang, Makassar rentan terhadap dampak kenaikan permukaan laut akibat pemanasan global,” kata dia.

Kota ini memiliki garis pantai yang luas, dan dampak kenaikan air laut bukan sekadar kemungkinan, tapi sebuah ancaman nyata yang harus diantisipasi. Selain dari laut, perubahan juga datang dari langit. Makassar mengalami variasi iklim yang ekstrem.

“Perubahan pola cuaca dan curah hujan dapat menyebabkan kekeringan saat musim kemarau dan banjir saat musim hujan,” ujarnya.

Baca juga: Cerita Ibu Herdianti dan Jejak Karbon di Piring Prasmanan Makassar

Perubahan ini, menurutnya, merupakan dampak langsung dari krisis iklim yang tengah berlangsung secara global.

Dampak tersebut tak hanya bersifat fisik, tetapi juga sosial dan ekonomi. Dua sektor yang menjadi tulang punggung kota ini, yakni perikanan dan pertanian, sangat bergantung pada kestabilan iklim.

“Sektor perikanan dan pertanian sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim melalui perubahan suhu, curah hujan, dan kejadian cuaca ekstrem,” katanya.

Namun di sisi lain, Makassar juga menjadi bagian dari penyebab krisis itu sendiri.

“Sebagai kota besar di kawasan timur Indonesia, Makassar turut berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca melalui urbanisasi dan aktivitas industri,” ujar Prof Nita.

Pertumbuhan kota yang cepat, peningkatan aktivitas ekonomi, serta pembangunan infrastruktur, semuanya menyumbang emisi karbon dalam skala lokal maupun nasional.

Meski demikian, posisi Makassar juga penting dari sisi pemantauan. Kota ini, kata Nita, merupakan indikator penting untuk melihat dampak perubahan iklim di wilayah Indonesia bagian timur.

“Wilayah ini cenderung lebih rentan terhadap dampak tersebut,” ujarnya.

Panas yang Tidak Lagi Biasa

Kenaikan suhu udara di kota ini tak lagi bisa dianggap anomali musiman. Ia adalah bagian dari pola besar yang bisa dijelaskan dengan ilmu pengetahuan.

“Kenaikan suhu udara di Makassar secara ilmiah dapat disebabkan oleh beberapa faktor utama,” ujarnya.

Faktor pertama yang ia sebut adalah perubahan iklim global. Peningkatan emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO₂) dan metana (CH₄) telah menyebabkan suhu rata-rata atmosfer meningkat secara global.

“Termasuk di Makassar,” ujarnya.

Kota ini tak luput dari konsekuensi pemanasan yang terjadi jauh di luar batas geografisnya sendiri. Namun, suhu tak hanya naik karena proses global. Fenomena lokal memainkan peran yang semakin besar. Salah satunya adalah urban heat island (UHI)—fenomena di mana kota menjadi lebih panas dibandingkan wilayah sekitarnya karena dominasi permukaan keras seperti beton dan aspal.

“Pertumbuhan kota yang pesat menyebabkan akumulasi panas di area perkotaan,” katanya.

Bahan-bahan bangunan itu, menurutnya, menyerap dan memancarkan panas lebih banyak dibandingkan wilayah alami seperti hutan atau lahan terbuka. Perubahan pola atmosfer dan cuaca juga tak bisa diabaikan. Nita menyebut bahwa loading suhu, tekanan udara, dan pola angin memainkan peran dalam mengubah suhu udara harian dan musiman.

“Pola sirkulasi atmosfer turut memengaruhi,” ujarnya.

Selain itu, fenomena El Niño dan La Niña memperparah ketidakstabilan. Kedua siklus alami ini, yang memengaruhi musim kemarau dan hujan di Indonesia, juga berdampak signifikan terhadap suhu udara di Makassar.

“Pengaruh musim dan fenomena alam seperti ini perlu diperhitungkan,” ungkapnya.

Di sisi daratan, deforestasi dan perubahan penggunaan lahan memperparah efek pemanasan. “Pengurangan tutupan vegetasi menyebabkan berkurangnya evaporasi dan transpirasi,” jelasnya.

Proses alami ini sebenarnya membantu menurunkan suhu udara, tetapi ketika tutupan hijau hilang, panas menjadi lebih mudah terakumulasi di permukaan kota.

Terakhir, ia menyebut faktor yang sering luput dari perhatian: kemiringan dan kondisi geografis.

“Letak geografis dan topografi daerah juga turut berpengaruh terhadap temperatur lokal,” katanya.

Dari laut ke dataran rendah, lalu ke perbukitan dan kawasan padat penduduk, masing-masing menyimpan dinamika suhu yang berbeda.

Panas yang Dibangun dari Dalam

Di luar faktor global yang memicu kenaikan suhu, penyebab paling nyata justru tumbuh dari tubuh kota itu sendiri.

“Faktor lokal sangat mempercepat efek pemanasan di Makassar,” ujar Prof. Nita.

Prof Nita menjelaskan bahwa fenomena urban heat island (UHI) menjadi pemicu utama. Pertumbuhan kota yang pesat dalam dua dekade terakhir membuat suhu di pusat kota terasa lebih tinggi dibanding wilayah sekitarnya.

“Penggunaan bahan bangunan seperti beton dan aspal menyerap dan melepaskan panas lebih lama dan lebih banyak,” katanya.

Tidak seperti tanah atau pohon yang mampu mendinginkan udara secara alami, permukaan keras ini justru memperangkap panas, siang dan malam. Namun UHI bukan satu-satunya penyebab. Makassar juga mengalami penyusutan kawasan hijau yang drastis.

“Pengurangan tutupan vegetasi mengurangi proses evapotranspirasi,” ujar Prof Nita.

Proses ini, dalam sistem alami, berfungsi menyeimbangkan suhu udara. Tanpa pohon dan ruang terbuka, panas tidak punya jalan keluar.

“Suhu cenderung meningkat,” katanya tegas.

Ia juga menunjuk pada tingginya kepadatan penduduk dan aktivitas industri yang terus berkembang di kota ini. Kombinasi kendaraan bermotor, cerobong pabrik, dan pertumbuhan permukiman menghasilkan emisi gas rumah kaca dalam skala lokal.

“Asap kendaraan dan limbah industri berkontribusi terhadap suhu lokal dan mempercepat perubahan iklim mikro,” jelasnya.

Selain itu, pola hidup masyarakat urban ikut mempercepat pemanasan. Kota seperti Makassar, dengan suhu tinggi, mendorong konsumsi energi pendingin seperti AC dan kipas angin dalam skala besar.

“Konsumsi energi yang tinggi untuk pendinginan ruangan, transportasi, dan kebutuhan sehari-hari menyumbang emisi karbon,” ujarnya.

Penggunaan energi ini, kebanyakan masih berbasis fosil, memperkuat lingkaran setan pemanasan kota. Yang terakhir, Nita menyoroti pembangunan infrastruktur yang tak ramah lingkungan. Banyak gedung, jalan, dan kawasan permukiman dibangun tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan.

“Pembangunan yang tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutan meningkatkan efek panas di sekitar area pembangunan,” katanya.

Bayang-Bayang Krisis di Ufuk Makassar

Ketika suhu terus naik dan intervensi tak kunjung datang, bayangan masa depan kota mulai kabur. Krisis iklim yang terasa samar hari ini, menurutnya, bisa berubah menjadi bencana yang nyata dan merata dalam waktu dekat.

“Jika tren peningkatan suhu udara di Makassar dan secara umum di Indonesia dibiarkan tanpa intervensi, dampaknya akan sangat panjang dan serius,” ujarnya.

Ia menyebut bencana alam sebagai risiko pertama dan paling nyata. “Kenaikan suhu akan memperbesar frekuensi dan intensitas bencana terkait iklim ekstrem seperti banjir, kekeringan, angin kencang, dan gelombang panas,” kata dia.

Kota yang kini akrab dengan panas terik bisa menjadi tempat yang tak ramah hidup saat musim ekstrem semakin sering datang tanpa pola. Di sisi pesisir, ancaman yang lebih perlahan namun mematikan tengah mengintai.

“Meluasnya pencairan es dan ekspansi termal air laut akan menyebabkan kenaikan permukaan laut,” katanya.

Imbasnya, daerah-daerah pesisir Makassar—yang selama ini menjadi tempat tinggal dan sumber ekonomi masyarakat—berisiko terendam. Ia menyebut dampaknya sebagai kombinasi: “risiko erosi pantai, banjir rob, dan hilangnya lahan vital.”

Bencana ini bukan hanya soal ruang, tapi juga soal kehidupan yang menopangnya. “Ekosistem laut dan darat akan terganggu,” ujarnya. Ia memperingatkan potensi kerusakan habitat, kepunahan spesies, hingga penurunan produktivitas sektor perikanan dan pertanian. Dua sektor ini, yang sangat bergantung pada keseimbangan iklim, bisa kehilangan tumpuan.

Dampak lain yang mengintai adalah kesehatan masyarakat.

“Peningkatan suhu akan meningkatkan risiko penyakit yang berhubungan dengan panas,” ungkapnya.

Selain itu, perubahan suhu dan kelembaban turut memperluas habitat vektor penyakit. Beban penyakit menular seperti demam berdarah dan malaria bisa meningkat karena perubahan habitat nyamuk. Krisis iklim juga memperlebar jurang sosial.

“Penduduk yang kurang mampu akan semakin terbebani oleh biaya adaptasi dan perlindungan dari dampak perubahan iklim,” ujarnya.

Akses terhadap pendingin ruangan, air bersih, atau layanan kesehatan tidak merata. Ketimpangan pun tumbuh seiring naiknya suhu. Dan akhirnya, semuanya bermuara pada kerugian ekonomi yang membesar dan berjangka panjang.

“Kerusakan infrastruktur, turunnya produktivitas sektor pertanian, perikanan, dan wisata akan menyebabkan kerugian ekonomi besar,” katanya.

Bertahan di Kota yang Terus Mendidih

Panas yang kian mencengkeram Makassar menuntut respons yang lebih dari sekadar keluhan. Kota tropis seperti Makassar harus punya strategi adaptasi yang konkret terhadap gelombang panas.

Langkah pertama, menurutnya, adalah memperkuat ruang terbuka hijau. Taman, hutan kota, hingga jalur hijau bukan sekadar dekorasi urban, melainkan sistem alami untuk mengatur suhu.

“Evapotranspirasi dari vegetasi membantu menurunkan suhu udara,” ujarnya.

Ruang hijau juga memberi tempat berlindung dari terik, sesuatu yang semakin dibutuhkan warga.

Di sisi arsitektur, desain bangunan ramah panas menjadi kunci. Ia menyebut pentingnya atap hijau, ventilasi silang, dan cat bangunan berwarna reflektif.

“Bangunan perlu dirancang untuk mengurangi penyerapan panas,” katanya.

Bukan hanya estetik, desain seperti ini bisa menyelamatkan energi dan kenyamanan hidup.

Makassar juga perlu infrastruktur berkelanjutan—material bangunan yang memantulkan panas dan area resapan air untuk mendinginkan permukaan kota. Di tengahnya, sistem pengelolaan air yang cermat juga membantu.

“Air bisa jadi alat pendingin alami kota jika dikelola baik,” ujarnya.

Namun, tak cukup dengan beton dan taman. Nita menekankan edukasi publik dan kesadaran masyarakat sebagai fondasi. Masyarakat harus tahu kapan suhu mencapai titik bahaya, bagaimana cara berpakaian, menjaga hidrasi, dan menghindari aktivitas luar ruang saat panas ekstrem.

“Kita butuh kampanye perlindungan dari panas,” tuturnya.

Ia juga menyinggung perlunya fasilitas perlindungan fisik—ruang istirahat umum yang sejuk, shelter, kipas angin, dan pendingin di ruang publik. Terakhir, data dan sistem peringatan dini adalah elemen yang tak bisa diabaikan.

“Dengan teknologi, kita bisa memberi informasi cepat bagi masyarakat dan pemerintah untuk bertindak,” ujarnya.

Dari sana, percakapan bergeser ke tiga poros penting dalam penanganan krisis iklim urban: kebijakan publik, desain kota, dan perilaku warga.

“Tiga elemen ini saling terkait dan sama-sama vital,” kata dia.

Di ranah kebijakan, ia menyebut pentingnya regulasi tentang pembangunan berkelanjutan. Kota perlu standardisasi bahan bangunan reflektif, pemaksimalan ruang hijau, dan perencanaan kota berbasis iklim.

“Kita juga perlu investasi khusus untuk ruang terbuka dan infrastruktur adaptif,” ujarnya.

Selain itu, perencanaan adaptasi dan mitigasi berbasis data iklim jadi kunci menghadapi ancaman gelombang panas, kekeringan, dan banjir.

“Pemerintah harus hadir lewat edukasi dan kampanye iklim,” katanya. Warga yang sadar akan lebih siap, dan tindakan kolektif akan lebih cepat.

Dalam aspek desain kota, Nita menyebut bahwa sirkulasi udara optimal dan ruang hijau bisa mengurangi efek pulau panas. Tata ruang harus menyediakan jalur pejalan kaki dan area teduh yang mendukung aktivitas luar ruang.

“Teknologi sensor iklim dan sistem peringatan dini bisa membantu perencanaan,” katanya.

Namun kota tidak hidup hanya dari perencanaan. Perilaku warga pun menentukan. Ia menyebut pentingnya kesadaran individu—dari cara berpakaian, pola konsumsi energi, hingga menanam pohon di halaman rumah.

“Partisipasi warga dalam menjaga lingkungan akan membantu menurunkan suhu lokal,” ujar Prof Nita. Bahkan penggunaan teknologi sederhana, seperti kipas angin dan atap reflektif, sudah cukup membantu.

Soal seberapa sadar warga Makassar bahwa kotanya semakin panas akibat perubahan iklim. Jawaban Prof Nita singkat, tapi dalam.

“Kesadarannya bervariasi dan masih relatif terbatas.”

Ia menyebut bahwa tingkat pengetahuan dan edukasi masih rendah, sehingga banyak warga belum mengaitkan panas yang mereka rasakan dengan krisis iklim global.

“Sering kali pengetahuan itu hanya sebatas pengalaman pribadi,” ujarnya. Ketika panas datang, orang hanya menyesuaikan diri—bukan memahami penyebabnya.

Media dan pemerintah, menurutnya, masih harus banyak bekerja. Informasi iklim belum menjadi bagian dari percakapan sehari-hari. Dan di antara berbagai isu kota, seperti kemacetan dan sampah, perubahan iklim belum jadi prioritas.

“Isu yang bersifat jangka panjang dan global sering kalah perhatian,” kata Prof Nita.

Namun begitu, ia menutup dengan harapan. Kota ini, kata Nita, bisa memperlambat laju pemanasan jika semua pihak bergerak. Warga bisa mengurangi konsumsi energi, menanam pohon, dan mengelola sampah.

Pemerintah bisa membuat peraturan ramah lingkungan, membangun infrastruktur adaptif, dan memperkuat pendidikan iklim. Dan kampus, seperti Unhas tempat ia mengajar, bisa jadi pusat riset, inovasi, dan praktik berkelanjutan. (Andi/IN)