Warga pesisir, pekerja harian, dan aktivis muda menghadapi krisis iklim yang tak memberi ruang untuk berteduh. Negara kerap datang terlambat—atau sama sekali tidak.
MAKASSAR, Inspirasinusantara.id – Setiap kali musim hujan tiba, kanal-kanal tua di Kota Makassar berubah menjadi jalur air yang tak terkontrol. Saat kemarau datang, tanah yang sama mengering dan retak.
Kota ini, dengan lebih dari 1,5 juta jiwa, terlihat seperti berjalan di atas seutas tali rapuh—di antara banjir dan kekeringan, di antara air yang melimpah dan ketiadaan air bersih.
Di rumah papan yang berdiri limbung di pesisir Untia, Nurlela (bukan nama sebenarnya) mengangkat kompor dan beras ke atas meja setiap kali air laut mulai masuk dapur. Ia tahu gelombang tidak menunggu aba-aba, sebagaimana ia tahu tak ada yang akan datang memperingatkan.
Baca juga: Krisis Iklim Versi BMKG dan Suara Warga Makassar
“Kalau air pasang datang malam-malam, kami hanya bisa selamatkan apa yang sempat,” kata Perempuan 43 tahun itu.
Di tempat ini, di tepi kota yang terus tumbuh ke arah darat dan laut, warga seperti Nurlela tak diberi pilihan selain bertahan.
Hidup dari Laut yang Makin Marah
Suaminya melaut, Nurlela berjualan ikan di sore hari. Tapi kini, ombak makin sulit ditebak.
“Kalau angin kuat, perahu tidak bisa turun. Kadang tiga hari tidak ada hasil,” ujarnya.
Dalam setahun terakhir, ia menghitung sendiri, sudah lima kali air masuk rumah—tanpa hujan, hanya pasang laut dan angin kencang dari timur.
Kampung Untia yang terletak di Kecamatan Biringkanaya, Kota Makassar memiliki luas sekitar 289 hektar. Jumlah penduduk sekitar 417 jiwa. Selain masalah banjir, Untia juga terus dihantui krisis air bersih.
Kota Tanpa Nafas
Di tengah Makassar yang hiruk pikuk, Andi Syahroni, 30 tahun, memacu motor matic-nya menyusuri Jalan Urip Sumoharjo yang padat. Ia mengenakan jaket lusuh dan helm separuh terkelupas. Sudah tujuh tahun jadi pengemudi ojek online, tapi tahun-tahun terakhir terasa makin berat.
Baca juga: Cerita Ibu Herdianti dan Jejak Karbon di Piring Prasmanan Makassar
“Kalau hujan deras, aplikasi langsung sepi. Banyak pelanggan batalkan,” ujarnya. Sialnya, itu juga saat-saat kota macet parah—dan banjir mulai muncul di mana-mana.
Tempat tinggalnya di Panakkukang juga tak luput. Kos-kosan kecil di gang sempit selalu tergenang tiap musim hujan. Air masuk, kadang bercampur limbah selokan. Ia pernah demam seminggu karena infeksi kulit.
“Saya ke puskesmas, tapi katanya harus ke rumah sakit. Saya batal karena biaya.”
Andi tahu dia hidup di zona rawan. Tapi kos-kosan itu hanya Rp500 ribu sebulan. Di kota dengan ongkos hidup yang terus naik, dia tak bisa pindah.
“Kadang saya berpikir, bencana di Makassar ini bukan soal alam lagi. Tapi soal siapa yang bisa beli keamanan,” katanya.
Perlawanan dari Kebun Belakang Rumah
Fatimah, 21 tahun, menyiram tanaman kangkung di polybag yang berjajar rapi di belakang kontrakannya di daerah Antang. Mahasiswi Biologi Universitas Swasta ini aktif di komunitas urban farming yang ia dirikan bersama teman-temannya dua tahun lalu.
“Kota ini rentan sekali,” ujarnya.
Dari kekeringan itulah komunitas mereka mulai mengembangkan kebun mini, mengolah sampah organik, dan belajar memanen air hujan.
“Ini respons kecil, tapi kami tak ingin pasrah,” katanya.
Ia juga mengadakan kelas iklim kecil untuk anak-anak sekitar rumah. Setiap Jumat sore, ia menjelaskan tentang perubahan cuaca, menanam bibit, dan menyanyi soal bumi.
“Di kampus saya belajar sains. Tapi di sini, saya belajar harapan,” kata Fatimah.
Ia mengaku frustrasi melihat kebijakan kota yang banyak bicara infrastruktur, tapi minim perhatian ke warga kecil.
“Makassar ini indah kalau dilihat dari foto drone. Tapi cobalah masuk ke lorong-lorong, ke pesisir, ke rumah kos. Baru terasa apa artinya hidup di kota yang sakit,” ujarnya.
Divisi Keterlibatan Perempuan WALHI Sulawesi Selatan, Fadila Abdillah menilai Makassar belum siap secara struktural dan ekologis untuk menghadapi ancaman cuaca ekstrem yang berulang.
Pernyataan itu bukan sekadar penilaian akademik. Ini peringatan yang lahir dari kenyataan di lapangan. Kerusakan ekosistem, ketimpangan distribusi infrastruktur, dan sistem tata kota yang mengabaikan warga paling rentan.
Di Pesisir, Air Naik Tapi Harapan Turun
Bencana ekologis di Makassar datang tanpa waktu pasti, tapi selalu menghantam tempat yang sama yakni wilayah marginal di pesisir kota.
Di sini, sebagian besar penduduk tinggal karena satu alasan sederhana: harga tanah murah. Namun biaya itu dibayar dengan risiko tinggi—banjir rob, abrasi, dan luapan kanal kerap datang tanpa peringatan.
“Mereka sadar bahaya itu ada, tapi tidak punya pilihan lain,” ujar Fadila.
Kondisi ekonomi membuat mereka terjebak dalam siklus kerentanan yang sulit diputus. Ketika air masuk rumah, mereka tidak hanya kehilangan perabot, tetapi juga akses pada bantuan dan fasilitas pemulihan.
Fasilitas dasar seperti tanggul atau drainase layak hampir tak tersedia. Bahkan saat bencana datang, banyak yang tidak tahu harus ke mana.
Hidup di Antara Tiga Sungai yang Sakit
Secara ekologis, Makassar berada di pertemuan tiga Daerah Aliran Sungai (DAS): Jeneberang, Tallo, dan Maros. Ketiganya mengalami tekanan tinggi akibat alih fungsi lahan, sedimentasi, dan pencemaran.
Tahun 2023, ketiga DAS ini berkontribusi pada dua bencana besar yang melanda kota: banjir dan kekeringan.
Badan Pusat Statistik Kota Makassar mencatat 63 kejadian bencana terkait air sepanjang tahun itu. Data BNPB (2024) menunjukkan, lebih dari 113 ribu jiwa terdampak, dengan 111 ribu di antaranya terkena kekeringan.
“Dulu banjir jadi sorotan, sekarang panas ekstrem dan kekurangan air juga jadi ancaman nyata,” kata Fadila.
Ketimpangan yang Menguat di Tengah Krisis
Krisis iklim tidak datang di ruang kosong. Ia memperbesar ketimpangan yang sudah ada. Di Makassar, akses terhadap air bersih, ruang terbuka hijau (RTH), dan kawasan aman dari bencana sangat timpang.
Kawasan elite dibangun dengan sistem air dan taman luas, sementara kawasan padat penduduk makin terhimpit.
“Ketimpangan iklim di kota seperti Makassar bisa dilihat dari mana-mana,” ucap Fadila.
Ia menyebut, dari distribusi air bersih yang tidak adil hingga ketiadaan RTH di sekitar pemukiman padat. Kekeringan dan banjir, meski bersumber dari alam, dampaknya ditentukan oleh siapa yang tinggal di mana.
RTH yang ideal seharusnya 30 persen dari luas wilayah kota. Tapi data Dinas Lingkungan Hidup menunjukkan Makassar hanya memiliki sekitar 10–13 persen RTH, angka yang terus menyusut akibat pembangunan infrastruktur dan reklamasi pantai.
Adaptasi yang Masih Setengah Hati
Fadila menilai bahwa tantangan utama dalam adaptasi iklim adalah keterbatasan infrastruktur dan ekosistem yang sudah rusak.
Sistem drainase kota tak mampu menampung air saat hujan deras. Hutan kota menyusut, DAS makin tertekan. Akibatnya, kota ini tak punya bantalan saat menghadapi lonjakan suhu atau curah hujan ekstrem.
“Pemerintah belum serius membangun sistem perlindungan bagi kelompok rentan,” ujar Fadila.
Banyak masyarakat pesisir belum mendapat fasilitas dasar, apalagi perlindungan terhadap ancaman iklim.
Akses terhadap layanan kesehatan, air bersih, dan pendidikan juga masih menjadi persoalan besar.
Dari Warga untuk Warga
Meski lambannya kebijakan, Fadila dan WALHI Sulsel tak tinggal diam. Mereka membangun program pendidikan lingkungan, pelatihan komunitas tangguh iklim, dan advokasi kebijakan berbasis keadilan iklim.
“Edukasi iklim penting, agar warga bisa memahami dampak perubahan iklim dan tahu peran mereka,” katanya.
Melalui pendekatan akar rumput, WALHI berusaha membangun kapasitas warga menghadapi krisis.
Mereka juga mendorong adanya penguatan kebijakan adaptasi iklim, terutama di sektor layanan dasar, air bersih, dan perlindungan masyarakat pulau-pulau kecil yang rawan tenggelam akibat kenaikan permukaan laut.
Jalan Panjang Menuju Kota Tangguh
Makassar bukan satu-satunya kota yang terancam krisis iklim. Tapi kota ini menjadi contoh jelas bagaimana kerentanan struktural—dari tata ruang, ekosistem sungai, hingga kebijakan sosial—membuat ancaman alam berubah jadi bencana sosial.
“Kalau tidak ada evaluasi menyeluruh, Makassar akan selalu jadi korban,” kata Fadila.
Menurutnya, peningkatan RTH, perbaikan tata kelola DAS, dan kebijakan berbasis keadilan adalah kunci masa depan kota.
Krisis iklim adalah persoalan global, tapi dampaknya sangat lokal. Di lorong-lorong pesisir, di bantaran kanal, dan di kampung-kampung urban yang mengering, warga Makassar merasakannya lebih dulu—dan lebih dalam.
Di tengah kabut krisis iklim global, Makassar adalah contoh nyata bahwa ancaman terbesar bukan badai, tapi ketidakadilan. Bukan banjir, tapi pengabaian.
Kalau tak segera berubah, Makassar bukan hanya akan tenggelam oleh air—tapi oleh ketimpangan yang tak pernah dibereskan. (Andi/IN)