TAJUK
VIRALNYA lowongan kerja sebagai manusia silver di Makassar bukan sekadar anomali pasar kerja, tapi mencerminkan bagaimana hegemoni budaya kerja terbentuk dalam ruang-ruang pinggiran urban.
Menggunakan pandangan Antonio Gramsci, kita bisa melihat bagaimana nilai-nilai dominan tentang “kerja” dan “produktifitas” menginternalisasi cara masyarakat melihat dirinya dalam sistem ekonomi yang timpang dari manusia silver ini.
Dalam konteks ini, manusia silver adalah simbol tubuh yang “dikomodifikasi” secara sadar demi bertahan hidup dalam sistem yang tidak memberi banyak pilihan. Ketika pekerjaan manusia silver ini dilembagakan lewat iklan lowongan dan mensyaratkan ijazah, kita menyaksikan bagaimana dominasi struktur ekonomi berhasil membuat kerja eksploitatif terlihat wajar, bahkan diinginkan.
Hegemoni bekerja tidak hanya melalui paksaan, tetapi melalui persetujuan. Mereka yang memilih menjadi manusia silver bukan karena tidak tahu risikonya, tetapi karena dalam struktur sosial saat ini, itu adalah satu-satunya ruang yang dianggap “masih mungkin” untuk bertahan. Maka, budaya kota tidak hanya menciptakan pekerjaan, tetapi juga menormalkan bentuk-bentuk kerja yang mereduksi nilai kemanusiaan.
Tulisan ini mengajak kita untuk tidak hanya melihat manusia silver sebagai gejala sosial semata, melainkan sebagai hasil dari hegemoni budaya kerja yang menuntut perlawanan: lewat kebijakan inklusif, edukasi kritis, dan penciptaan ruang-ruang alternatif ekonomi yang memanusiakan. (*)