Penulis: Hendra, Pemerhati Budaya
SEORANG pemimpin adalah individu yang memiliki kekuasaan dalam suatu kelompok. Dalam kepemimpinan, terdapat sistem nilai yang dianut dan dijalankan oleh pemimpin tersebut. Seorang pemimpin memiliki beberapa peran yang harus dipahami—yaitu sebagai pemimpin itu sendiri, sebagai anggota masyarakat, dan sebagai pribadi dengan nilai-nilai yang melekat pada dirinya. Oleh karena itu, pemimpin harus bijaksana dalam menjalankan kepemimpinannya.
Seorang pemimpin juga memiliki batasan wilayah kekuasaannya. Dalam catatan Whittaker (1994), terdapat konsep Limes Romanus, yaitu sistem pertahanan Kekaisaran Romawi yang berfungsi sebagai penanda dan pelindung batas kekuasaan dari serangan eksternal.
Seiring berjalannya waktu, serangan terhadap kepemimpinan tidak lagi hanya berupa ancaman fisik atau perebutan wilayah kekuasaan. Foucault (1991) menjelaskan bahwa kekuasaan sering kali bersifat visible (terlihat), tetapi mekanisme kendali yang dijalankan tidak selalu tampak secara nyata. Saat ini, tantangan terbesar bagi kepemimpinan bukan hanya ancaman eksternal yang kasatmata, melainkan juga terkikisnya nilai-nilai kepemimpinan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Relevansi Nilai Kepemimpinan Leluhur Bugis
Setiap pemimpin lahir dari budaya tempat ia memimpin. Budaya tersebut mewariskan nilai-nilai serta pesan moral yang diturunkan dari generasi ke generasi. Nilai-nilai ini menjadi fondasi moral dan etika yang membentuk cara hidup serta jati diri suatu masyarakat. Namun, di era modern ini, di tengah keinginan akan legitimasi kekuasaan dan penghormatan, nilai-nilai leluhur semakin memudar dan tergeser oleh gaya hidup yang pragmatis.
Noor (2011: 42-43) menegaskan bahwa nilai-nilai etika dalam kepemimpinan semakin terkikis oleh pola pikir instan dan pragmatisme. Hal ini juga diperkuat oleh Abbas (2013: 272-284), yang menyatakan bahwa sikap hidup pragmatis dan budaya kekerasan yang semakin melembaga telah melemahkan karakter anak bangsa. Akibatnya, nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh para leluhur menjadi kurang relevan dalam praktik kehidupan modern.
Salah satu contoh nilai kepemimpinan dalam budaya Bugis dapat ditemukan dalam buku Glosarium Petuah Leluhur Bugis (2022), yang memuat ajaran berikut:
Tellui appongenna décénna rupa tauwwé ri lino. Séuwwani, pesangkaiéngngi timunna makkéada-ada maja’. Maduwanna, pésangkaiéngngi nawa-nawa maja’. Matullunna, pésangkaiéngngi aléna gau’ maja’.Artinya, tiga tanda kebaikan seseorang di dunia: Pertama, menghindari perkataan buruk. Kedua, menghindari pikiran buruk. Ketiga, menghindari perbuatan tercela.
Dalam konteks kepemimpinan, pesan ini mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus mampu menjaga lisannya dari ucapan yang buruk, karena pemimpin adalah panutan bagi masyarakatnya. Selain itu, seorang pemimpin juga harus memiliki pola pikir positif, karena pemikiran negatif dapat menjadi awal dari kesalahan dalam pengambilan keputusan. Terakhir, pemimpin harus menghindari tindakan tercela yang dapat merusak kepercayaan rakyat terhadap kepemimpinannya.
Apakah Seorang Pemimpin Harus Menjaga Lisannya?
Dalam kepemimpinan, salah satu aspek fundamental adalah bagaimana seorang pemimpin menjaga ucapannya. Kata-kata memiliki kekuatan besar—bisa membangun kepercayaan dan motivasi, tetapi juga bisa menghancurkan kredibilitas dan hubungan sosial. Oleh karena itu, supremasi etika dalam berkomunikasi tidak boleh diabaikan oleh seorang pemimpin.
Warisan leluhur Bugis juga menekankan pentingnya menjaga lisan. Terdapat tiga petuah yang relevan dalam hal ini. Pertama Alitutuiwi lilamu – apak iyatu lilae’ – pawere’ were’. Jagalah lidahmu, sebab lidah itu bisa mengiris.
Petuah ini mengingatkan bahwa perkataan yang tajam dapat melukai seseorang lebih dalam dibandingkan luka fisik. Luka akibat perkataan sering kali sulit disembuhkan, berbeda dengan luka akibat sayatan pisau yang bisa hilang seiring waktu.
Kedua, Mamosoi cappa’ lilaé nacappa’ kawalié. Artinya, lebih berbisa ujung lidah daripada ujung badik. Maknanya, kata-kata yang diucapkan dapat lebih berbahaya daripada senjata tajam. Seorang pemimpin harus berhati-hati dalam berbicara agar tidak melukai hati orang-orang yang dipimpinnya.
Ketiga, liwu baté bangkung telliwu baté lila. Bekas parang dapat sembuh, tetapi bekas luka akibat ucapan tidak akan hilang. Petuah ini memperkuat pesan bahwa ucapan memiliki dampak jangka panjang. Oleh karena itu, pemimpin harus bijak dalam berkata-kata agar tidak meninggalkan luka yang sulit disembuhkan dalam hati rakyatnya.
Ketiga petuah di atas menunjukkan bahwa dalam konteks kepemimpinan, menjaga lisan adalah hal yang sangat penting. Seorang pemimpin harus memahami dampak dari setiap kata yang diucapkan, karena perkataan yang tidak terjaga dapat merusak kepercayaan serta memicu ketidakstabilan sosial.
Artikel ini bertujuan untuk merefleksikan kembali nilai-nilai kepemimpinan yang telah diwariskan oleh para leluhur. Pesan-pesan moral dari budaya Bugis memberikan panduan berharga bagi para pemimpin dalam menjaga ucapan, pikiran, dan tindakan mereka.
Lidah memang tidak bertulang, tetapi kekuatannya bisa lebih tajam daripada pedang. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus memahami bahwa setiap ucapan yang keluar dari mulutnya memiliki konsekuensi. Jika nilai-nilai kepemimpinan yang luhur mulai memudar, sudah saatnya kita merajut kembali kebijaksanaan yang telah diwariskan oleh para leluhur. (*)