Penulis: Syamsul Rijal
Dosen Bahasa dan Sastra Universitas Mulawarman
Beberapa hari yang lalu, hashtag KaburAjaDulu sempat menjadi trending topic di media sosial X. Hashtag ini ternyata digaungkan oleh anak muda yang merasa semakin susah mencari pekerjaan di Indonesia. Selain itu, pekerjaan yang didapatkan kadang-kadang terjadi kesenjangan antara beban kerja dan penghasilan. Inilah yang mengawali munculnya seruan “KaburAjaDulu” untuk mendapatkan peluang kerja yang lebih menjanjikan di luar negeri.
Hashtag KaburAjaDulu ini tidak boleh dipandang sebelah mata. Ini bukan sekadar seruan, tetapi bisa jadi ini merupakan salah satu bentuk kritik, gerakan perlawanan, atau bahkan ancaman bagi pemerintah Indonesia. Meski hanya tiga kata, hal ini sebenarnya mengandung banyak permasalahan. Di dalamnya ada konteks sosial dan ekonomi. Ada indentitas dan perubahan budaya serta dampak kulturalnya. Ada pertarungan wacana di media sosial dan ekspresi budaya. Ada harapan tentang masa depan dan kritik terhadap sistem yang sedang berjalan. Memang sangat kompleks fenomena ini.
Namun yang mencuat pembahasannya di media-media mainstream, adalah analisis kondisi sosial dan ekonomi yang membuat generasi muda merasa tidak puas. Pengangguran yang tinggi, rendahnya upah, dan kurangnya kesempatan kerja yang sesuai dengan pendidikan mereka bisa menjadi faktor pendorong. Meski demikian, kita tidak boleh berhenti sampai di situ. Sebagai sebuah wacana, hashtag KaburAjaDulu ini perlu dibedah dengan teori-teori wacana kritis.
Sebelumnya kita harus sepakat melihat hashtag ini sebagai sebuah gerakan perlawanan. Gerakan ini bisa dilihat sebagai bentuk protes atas ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah yang selama ini dianggap tidak memberikan solusi yang memadai untuk masalah ketenagakerjaan dan pendidikan. Generasi muda berusaha menantang status quo dan meminta perhatian serta tindakan nyata.
Akan tetapi, respons pemerintah tidak memadai. Respons tersebut seperti menteri dan wakil menteri tidak sejalan dengan generasi muda. Setidaknya, ada dua respons yang terasa aneh dan mengejutkan dari pejabat pemerintah tentang hashtag ini. Pertama, respons dari Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, yang mengatakan, “kalau teman-teman berpikir untuk pindah ke luar negeri, saya malah meragukan nasionalisme kalian”. Kedua, respons dari Immanuel Ebenezer, Wakil Menteri Ketenagakerjaan, mengatakan bahwa “masa hashtag kita peduliin. Mau kabur, kabur aja lah, kalau perlu jangan balik lagi”. Sikap meremehkan atau menganggap isu ini tidak penting justru menciptakan jarak antara pemimpin dan masyarakat, dan dapat semakin memperburuk ketidakpuasan.
Di sinilah awal pertarungan wacana dimulai. Betul yang dikatakan Michel Foucault bahwa kekuasaan membentuk cara orang berkomunikasi dan mengekspresikan diri melalui bahasa. Foucault mengangkat konsep bahwa wacana tidak hanya mencerminkan realitas sosial, tetapi juga berperan dalam pembentukan dan pengaturan kekuasaan. Dalam konteks ini, bagaimana wacana pemerintah berfungsi untuk mempertahankan status quo dan mengalihkan perhatian dari ketidakpuasan yang ada. Jawaban menteri yang meragukan nasionalisme rakyat mencerminkan upaya untuk mendiskreditkan suara generasi muda dan mempertahankan narasi nasionalisme yang mungkin dianggap tidak sesuai dalam konteks tekanan sosial dan ekonomi.
Respons pemerintah yang skeptis, seperti meragukan nasionalisme generasi muda atau menyarankan untuk “kabur saja,” dapat dianggap sebagai upaya untuk meredakan kritik dan menutup-nutupi kegagalan mereka dalam menciptakan lapangan kerja. Dengan memosisikan generasi muda yang ingin mencari peluang di luar negeri sebagai tidak nasionalis, pemerintah mencoba mengalihkan perhatian dari masalah struktural yang ada, yaitu kurangnya kesempatan kerja yang layak. Ini menciptakan narasi bahwa masalah tersebut ada di pihak individu (generasi muda) ketimbang sistem atau kebijakan yang ada.
Dalam konteks Foucault, wacana ini berfungsi untuk mempertahankan citra positif pemerintah dan meminimalkan dampak negatif dari kritik publik. Respons tersebut memperlihatkan kekuasaan yang berusaha untuk tetap relevan dan legit di mata publik dengan cara menyangkal atau meremehkan kritik yang ada. Ini mencerminkan bagaimana wacana pemerintah berperan dalam membangun legitimasi dan kontrol sosial. Mereka menginginkan visi optimis mengenai situasi kerja di dalam negeri, meskipun banyak yang merasa sebaliknya.
Di Indonesia, struktur kekuasaan sering kali menunjukkan ketidakmampuan pemerintah untuk mendengarkan dan merespons aspirasi masyarakat, terutama generasi muda. Ketika pemerintah menggunakan pernyataan-pernyataan yang sinis atau meremehkan, itu bukan hanya menunjukkan kegagalan untuk memberikan solusi, tetapi juga memosisikan mereka dalam peran pengatur narasi. Mereka berusaha mendefinisikan apa yang dianggap sebagai “nasionalisme” dan “cinta tanah air.”
Melalui wacana semacam ini, pemerintah berusaha untuk mengontrol diskusi publik dan menciptakan batasan mengenai apa yang dapat atau seharusnya dibicarakan. Ini menciptakan iklim di mana kritik terhadap pemerintah dianggap sebagai bentuk ketidakpuasan yang tidak valid. Dengan demikian, Foucault mengingatkan kita bahwa kekuasaan tidak hanya hadir dalam bentuk otoritas, tetapi juga dalam cara pengetahuan dan informasi dikontrol dan disebarluaskan.
Melalui wacana-tandingan ini, generasi muda yang mempertanyakan kondisi kerja dan mencari alternatif dianggap sebagai “mereka yang tidak berjuang untuk negara.” Ini menciptakan stigma bagi mereka yang ingin mencari kesempatan di luar negeri, dan semakin mengasingkan mereka dari komunitas nasional, seolah memperkuat narasi bahwa masalah mereka adalah masalah pribadi dan bukan sistemik. (*)