Penulis: Supratman Yusbi Yusuf (Mahasiswa Pascasarjana Kajian Budaya Unhas)
PEKAN pertama bulan Pebruari 2025, Mahasiswa Pascasarjana Kajian Budaya (Cultural Studies) Universitas Hasanuddin menggelar Bincang Budaya bertajuk Menciptakan Representasi di sebuah objek wisata perbukitan wilayah kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Begitu banyak tema dan isu perubahan sosial yang “diteroka” menggunakan pendekatan Cultural Studies.
Dimulai dari pandangan Karl Marx, yang sejak awal pandangannya dibangun dari analisis mendalam tentang gerak kapitalisme dan ketimpangan sosial yang ditimbulkannya. Boleh dikata bahwa musuh bersama (common enemy) para pemikir kritis (Marxisme and turunannya) adalah kapitalisme, dan melihat kelas pekerja sebagai kekuatan niscaya yang akan menggulingkan tatanan kapitalisme dan bertujuan membangun masyarakat tanpa kelas.
Teori Marx sendiri, meskipun dibantah dan diotak-atik oleh generasi selanjutnya, tetap saja gema dan spirit revolusioner paradigma Marxisme masih terasa kokoh untuk digoyahkan. Antonio Gramsci misalnya, melihat pentingnya politik dan kultur dalam menganalisis dominasi sosial.
Menurut Gramsci, kekuasaan tidak hanya terjadi melalui kontrol ekonomi, tetapi juga melalui ideologi yang mendominasi pemikiran masyarakat. Ini dikenal dengan konsep hegemoni, di mana kelas penguasa (borjuasi) tidak hanya memegang kontrol atas alat produksi, tetapi juga mengendalikan ideologi, budaya, dan cara pandang masyarakat. Bagi Gramsci, untuk menggulingkan dominasi kelas penguasa, kelas pekerja perlu mengubah cara pandang masyarakat dan membangun kesadaran kelas yang lebih kritis.
Jika Gramsci menekankan politik dan budaya sebagai pilar dominasi, Henri Lefebvre, mengajukan bahwa ruang adalah dimensi yang tidak kalah penting dalam menganalisis hubungan sosial dan kekuasaan. Menurutnya, ruang tidak hanya sekadar lokus spasial fisik belaka, tetapi juga merupakan hasil dari beragam relasi dan konstruksi sosial.
Ruang tidak dapat dipahami hanya sebagai tempat yang pasif dan netral, tetapi harus dilihat sebagai bagian integral dari praktik sosial yang berhubungan dengan persoalan ideologi dan kekuasaan. Ini menantang pandangan Marx yang terlalu berfokus pada masalah ekonomi dan mengabaikan aspek ruang sebagai ruang sosial yang determinan sehingga menjadi ranah pertarungan.
Selain Gramsci dan Lefebvre, dua pemikir penting lainnya yang turut mengubah pandangan tentang kekuasaan dan kontrol sosial adalah Michel Foucault dan Louis Althusser. Michel Foucault bilang, kekuasaan tidak hanya beroperasi melalui negara atau ekonomi, tetapi juga melalui mekanisme sosial dan institusi yang lebih halus.
Menurut Foucault, kekuasaan tidak selalu tampak dalam bentuk kekerasan atau penindasan langsung, melainkan melalui pembentukan norma, aturan, dan pengetahuan. Louis Althusser, di sisi lain, menekankan pentingnya ideologi dalam reproduksi struktur sosial. Ia berargumen bahwa negara dan alat-alat ideologi seperti media dan pendidikan berfungsi untuk menjaga dan mereproduksi tatanan dan praktik sosial yang ada.
Diskusi berlangsung menarik, hingga memancing saya untuk turut berkomentar mengenai ruang. Alasan pertama, Cultural Studies sudah saatnya melakukan agenda aksi dalam menciptakan representasi dalam ruang (representational space), sebagaimana dalam yang tertulis di spanduk sebagai tema kegiatan.Kedua, sadar atau tidak, lokasi dialog sudah merupakan ruang yang terkontrol dan terbatas untuk kelompok tertentu yang mampu mengakses harga dan fasilitas yang terdapat di dalamnya.
Objek wisata perbukitan ini tentu saja berimplikasi terhadap akses kalangan tertentu yang dapat menikmati keindahan alam perbukitan yang sepanjang mata memandang terhampar perkebunan jagung yang subur nan hijau yang turut membentuk lansekap masyarakat urban. Sementara masyarakat lokal atau kelas pekerja (mungkin) tidak memiliki akses yang sama. Mereka teralienasi dari pengalaman subjektif menikmati pemandangan alam.
Lefebvre memahami betul bahwa ruang tidak hanya sekadar tempat fisik yang bisa diakses oleh siapa saja, melainkan juga ruang merupakan arena yang diproduksi melalui praktik sosial dan kekuasaan yang mendalam. Pada akhirnya, perbukitan ini bukan sekadar bertutur tentang keindahan alam, akan tetapi praktik dan relasi kuasa turut menentukan siapa yang dapat mengakses keindahan dan keasriannya. Objek wisata perbukitan adalah contoh kecil yang menunjukkan betapa relasi kuasa turut beroperasi dalam penentuan ruang darat, dan demikian pun (ruang) laut.
Di Ruang Perbukitan Membahas Ruang Laut
Sebagaimana perbukitan, fenomena “Pagar Laut” pun menarik untuk diulik secara kritis. Laut bukan hanya ruang fisikal yang berisi air asin (laut) dan menjadi batas geografi, melainkan menyangkut siapa yang berhak mengakses ruang air (laut) tersebut.
Dari media kompas.com, berjudul “Pagar Misterius di Laut Bekasi Terungkap, Ternyata Proyek Pemerintah”, diketahui bahwa proyek pembangunan pagar laut di Tangerang dan Bekasi membentang sejauh 30.16 kilometer. Begitu banyak spekulasi tentang kepemilikan pagar laut ini. Belakangan terungkap bahwa proyek ini merupakan bagian dari pembangunan alur pelabuhan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat, bekerja sama dengan PT. TRPN dan PT. MAN. Ada yang mengungkap bahwa pagar laut merupakan milik konglomerat raksasa yang telah mengantongi SHGB sejak tanah tersebut belum ditutupi air laut.
Namun, muncul juga spekulasi ala penikmat warung kopi yang menyatakan, tindakan tersebut merupakan cara “nakal” para pengusaha besar menimbun laut. Laut dipagari untuk menahan sediman pesisir, yang lambat laun akan menciptakan tanah, yang timbul dari sediman yang tertahan, sehingga biaya penimbunan laut untuk pembangunan lanjutan dapat ditekan. Sialnya, kejadian serupa juga terdapat di kota Makassar.
Dalam konteks ini, jika dilihat dari sudut pandang Marxisme, pagar laut menjadi simbol dari ketimpangan sosial dan ekonomi, dan salah satu implikasi dan disonansi nyaringnya adalah suara para nelayan tradisional yang terpinggirkan oleh kebijakan pembangunan. Di Makassar sendiri, kita melihat bagaimana kebijakan pagar laut ini berfungsi sebagai alat untuk memprioritaskan kepentingan sektor pariwisata dan perdagangan, yang sering kali didorong oleh investasi besar. Ruang pesisir yang dahulu menjadi tempat hidup dan penghidupan masyarakat lokal, kini mulai dikendalikan oleh aktor-aktor besar yang sebelumnya tidak memiliki keterikatan emosional dengan ruang.
Sudah semestinya ketika pagar laut dibangun- ini bukan soal batas ruang, tetapi juga soal ruang perlawanan- para Nelayan yang merasa diabaikan dan kehilangan hak atas ruang (the right to the space) dapat merespon dengan melakukan protes, perlawanan hukum, bahkan aliansi sosial. Nah, ini yang dibilangkan oleh Lefebvre, ruang itu tidak statis. Ruang terus dibentuk melalui interaksi sosial dan perlawanan terhadap struktur kekuasaan yang ada. Dari sini pula kita dapat melihat bahwa ruang bukanlah entitas yang selalu dibatasi kekuasaan, tetapi adalah arena dimana identitas sosial dan budaya diperjuangkan, karena ruang adalah pertarungan (struggle), bukan pertaruhan (game). Ruang merupakan manifestasi dari dominasi kekuasaan yang berusaha untuk mengontrol, sehingga kita mesti meyakini bahwa ruang merupakan alat kekuasaan.
Selanjutnya, ruang adalah representasi. Siapa yang mampu mengendalikan ruang fisik termasuk perbukitan sebagai objek wisata ataupun pagar laut, tentu saja mereka yang memiliki klaim yang sah dalam narasi kepemilikan dan pengembangan, sekaligus menjadi penentu identitas dari ruang fisik tersebut.
Bagi saya, tulisan ini merupakan ajakan untuk bergerak menguasai ruang, mengendalikan ruang, dan merepresentasikan ruang. Jangan sampai ruang sudah habis, dan kita hanya merebut wacananya. (*/)