back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
33.3 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

Eco-anxiety : Anak Muda Makassar dan Kecemasan Iklim

Generasi muda Makassar tumbuh di tengah krisis iklim dan kecemasan yang tak mereka ciptakan. Dari gawai, kelas, hingga ruang keluarga, kekhawatiran mereka tak selalu...
BerandaHukrimRoy Suryo Tak Puas, Ijazah Jokowi Masih Jadi Tanda Tanya

Roy Suryo Tak Puas, Ijazah Jokowi Masih Jadi Tanda Tanya

Meski polisi menyatakan dokumen pendidikan Presiden Jokowi otentik, polemik ihwal keasliannya belum benar-benar usai. Roy Suryo bersikukuh ada banyak kejanggalan. Bukan hanya pada selembar ijazah, tetapi juga pada cara penegak hukum menangani keraguan publik.

Inspirasinusantara.id — Selembar ijazah bisa menjadi batu ujian bagi transparansi negara. Meski Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri telah menyimpulkan bahwa ijazah sarjana Presiden Joko Widodo adalah dokumen asli, keraguan tak lantas pupus.

Pakar telematika dan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Roy Suryo, kembali menggugat hasil investigasi polisi yang dinilainya tertutup dan tergesa-gesa.

“Prosesnya itu, maaf, terlalu diam-diam. Tidak dibuka ke publik. Harusnya ditampilkan secara terbuka, ijazahnya diperlihatkan, dan para pakar dilibatkan,” kata Roy.

Roy menilai bukti visual yang disampaikan penyidik justru menambah banyak tanda tanya. Ijazah yang diklaim asli hanya berupa hasil pindai fotokopi, bukan dokumen fisik yang bisa diteliti secara langsung.

“Itu kan cuma scan dari fotokopi, bahkan kondisinya terlipat-lipat. Bukannya menjawab, malah makin kabur,” ujarnya.

Polisi memang sempat menampilkan dua versi visual. Satu berupa hasil pindai ijazah, dan satu lagi adalah foto fisik dokumen di dalam map hitam yang diklaim diantarkan oleh Wahyudi Andrianto, adik ipar Jokowi.

Baca juga: Kabar Baik! Honorer Gagal CASN 2024 Tetap Bisa Jadi PPPK Paruh Waktu

Roy menyoroti perbedaan di antara keduanya, termasuk logo Universitas Gadjah Mada (UGM) yang terlihat berwarna kuning mencolok.

Baca juag: Manusia Silver: Cermin Buram Kesejahteraan Sosial di Makassar

“Kenapa buru-buru dikembalikan? Pegang dulu ijazah itu, tunjukkan ke publik. Biarkan wartawan memotretnya. Itu baru transparan,” katanya.

Ketergesaan penyidik menjadi salah satu titik kritik utama Roy. Menurutnya, ijazah diterima polisi pada 9 Mei 2025, namun sudah dikembalikan ke pihak Jokowi sebelas hari kemudian, pada 20 Mei.

Ia mempertanyakan urgensi pengembalian dokumen itu. Ia juga meragukan tiga ijazah pembanding yang dijadikan tolok ukur oleh polisi.

“Kita tidak tahu siapa tiga pemilik ijazah pembanding itu. Identitasnya disembunyikan. Bagaimana kita yakin itu bukan hasil cetakan baru atau bagian dari satu jaringan tertentu?” ucapnya.

Baca juga: Kesehatan Warga Tergerus Krisis Iklim Makassar

Roy berencana melaporkan penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim ke sejumlah lembaga pengawas internal.

Ia menyebut akan mengadukan proses ini ke Wasidik Mabes Polri, Kompolnas, hingga menginformasikan langsung kepada Kapolri.

“Walaupun internal, tetap harus ada yang melaporkan agar publik tahu bahwa prosesnya tidak benar,” ujarnya.

Baca juga: Kisah Dg Sese dan Krisis Iklim di Kota Makassar

Komisioner Kompolnas, Choirul Anam, menanggapi langkah Roy secara terbuka. Menurutnya, setiap warga negara berhak mengadukan kinerja polisi.

“Silakan saja, laporan akan ditangani sebagaimana laporan-laporan lain,” kata Anam.

Sementara itu, Presiden Jokowi menanggapi santai soal polemik yang terus bergulir. Dalam pernyataan di kediamannya di Solo, Jumat lalu, ia kembali menegaskan bahwa ijazahnya asli.

“Ya memang asli. Tapi memang ada beberapa orang yang belum puas,” ujarnya.

Menurut Jokowi, penyelidikan oleh Bareskrim dilakukan secara menyeluruh. Pemeriksaan meliputi aspek teknis dokumen hingga bukti historis, seperti foto kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN), momen wisuda, serta aktivitasnya di organisasi pecinta alam kampus, Mapala Silvagama.

“Sangat detail. Dibandingkan juga dengan ijazah asli milik teman-teman saya,” katanya.

Salah satu bukti pendukung yang dibeberkan penyidik adalah nama Jokowi yang tercantum dalam pengumuman kelulusan Proyek Perintis I (PPI) UGM tahun 1980.

Informasi itu dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat edisi 18 Juli 1980, halaman 4, kolom 6, dengan nama Joko Widodo di nomor urut 14.

“Sudah sangat cukup membuktikan,” ujarnya.

Meski begitu, Jokowi menyatakan laporan pidananya terhadap dugaan pencemaran nama baik tetap berjalan di Polda Metro Jaya.

“Sebetulnya saya sedih kalau ini harus lanjut. Tapi ini demi kejelasan dan keterbukaan,” katanya.

Kasus ijazah ini mungkin tak akan berujung pada temuan hukum baru, tetapi menyingkap satu hal yang lebih besar yakni kesenjangan antara klaim transparansi dan praktik tertutup lembaga negara.

Selembar ijazah, yang seharusnya menjadi bukti administratif sederhana, justru berubah menjadi simbol dari ketidakpercayaan publik terhadap institusi hukum.