back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
30 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

Empat Hari Tanpa Air, Warga Ranggoon Permai Keluhkan Layanan PDAM

MAKASSAR, Inspirasinusantara.id – Warga kompleks perumahan Ranggoon Permai, Kelurahan Bangkala, Kecamatan Manggala, Kota Makassar, mengeluhkan tidak mengalirnya air PDAM sejak empat hari terakhir. Kondisi ini...
BerandaParentingSave the Children Sebut Jumlah Pekerja Anak Kian Melonjak

Save the Children Sebut Jumlah Pekerja Anak Kian Melonjak

MAKASSAR, Inspirasinusantara.id — Di sebuah desa kecil di Sulawesi Selatan, Anwar, seorang petani sekaligus guru sekolah dasar, sudah lama resah melihat murid-muridnya datang ke kelas dengan mata sayu dan tubuh letih.

“Sering kali saya menemukan anak-anak di sekolah kecapaian karena sebelumnya mereka membantu orang tua di kebun. Malamnya harus kembali belajar,” ujarnya, lirih.

Baca juga: Anak-Anak Tumbuh dalam Kepungan Asap Rokok

Anwar bukan hanya guru, ia juga Ketua Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) di desanya. Ia tahu, di balik keletihan anak-anak itu, tersembunyi persoalan besar yakni kemiskinan yang memaksa.

Cerita seperti itu bukan hanya milik Anwar. Di berbagai pelosok Indonesia, anak-anak kini makin sering terlihat memanggul cangkul, memikul hasil kebun, atau membantu orang tua di tambak ikan.

Baca juga: Kisah Dg Sese dan Krisis Iklim di Kota Makassar

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pekerja anak usia 15–17 tahun melonjak dari 1,01 juta pada 2023 menjadi 1,27 juta pada 2024. Ironisnya, mayoritas dari mereka tinggal di wilayah pedesaan—tempat yang seharusnya menjadi ruang tumbuh aman bagi anak.

Fenomena ini menjadi latar peringatan Hari Dunia Menentang Pekerja Anak pada 12 Juni 2025. Save the Children Indonesia, salah satu lembaga yang aktif dalam isu perlindungan anak, kembali menegaskan komitmennya untuk melindungi anak-anak Indonesia dari praktik eksploitasi dan pekerjaan berat yang tak sesuai usia.

Di tengah melonjaknya jumlah pekerja anak, organisasi ini memfokuskan langkahnya pada penguatan sistem perlindungan berbasis komunitas, terutama melalui kader PATBM yang tersebar di desa-desa.

PATBM, yang merupakan gerakan nasional gagasan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, kini menjadi ujung tombak. Di tangan para kadernya, lahir inisiatif akar rumput seperti menyadarkan orang tua tentang bahaya pekerjaan fisik pada anak, mengenali kasus-kasus pekerja anak, hingga mendorong pembentukan SOP penanganan di desa.

“Anak-anak pada dasarnya ingin belajar, bukan bekerja,” tegas Anwar.

Data Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) 2023 menyebutkan, sekitar 25,22 persen pekerja anak yang tak melanjutkan pendidikan bekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan—semuanya sektor yang identik dengan kerja fisik berat. Penggunaan alat tajam, paparan pestisida, dan jam kerja panjang menjadi ancaman nyata bagi tumbuh kembang mereka.

Di banyak desa, pekerjaan anak justru masih dianggap normal, bahkan membanggakan. Anak yang bisa membantu orang tua sejak kecil kerap dilabeli “tangguh” atau “berbakti”, sebuah paradigma sosial yang makin memperkuat rantai kemiskinan.

“Kita harus mengubah pola pikir itu,” kata Dessy Kurwiany Ukar, CEO Save the Children Indonesia. “Yang membanggakan adalah anak yang terpenuhi hak dasarnya—pendidikan, kesehatan, dan perlindungan. Hanya dengan itu mereka bisa keluar dari siklus kemiskinan.”

Padahal secara hukum, Indonesia telah mengatur batas-batas ketat mengenai pekerjaan anak. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 69 hanya memperbolehkan anak usia 13–15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan, tanpa mengganggu sekolah, kesehatan fisik maupun mental.

Namun dalam praktiknya, banyak anak justru terjebak dalam pekerjaan yang jelas-jelas melanggar batas ini.

Untuk itu, Save the Children memperkuat program pengembangan kapasitas kader PATBM, termasuk pelatihan tentang identifikasi kasus pekerja anak, positive parenting bagi orang tua, sistem remediasi, hingga advokasi anggaran desa. Salah satu tujuannya adalah memastikan desa memiliki instrumen dan sistem untuk mencegah serta menangani pekerja anak secara berkelanjutan.

Bagi Save the Children, masa depan anak-anak Indonesia tidak bisa ditentukan oleh kemiskinan yang diwariskan.

“Investasi terbaik untuk masa depan bangsa,” ujar Dessy, “adalah memastikan anak-anak kita tidak kehilangan hak mereka sejak dini.”  (*)