Kekerasan Seksual (KS) di Universitas kembali mencuat dua bulan terakhir. Sebabnya adalah menguatnya pemberitaan kasus kekerasan seksual di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin (FIB Unhas).
Peristiwa yang boleh dibilang bersejarah ini selain menyisakan pekerjaan rumah untuk Universitas, juga menyimpan “memori publik” yang tertanam dari pembacaan terhadap produksi teks – teks media. Baik itu dari media mainstream (media cetak dan elektronik), maupun media baru (media daring dan media sosial), keduanya adalah produsen teks yang tentunya dikonsumsi dan direspons berbeda – beda oleh pembaca maupun netizen.
Produksi teks – teks media ini menghasilkan apa yang oleh Stuart Hall (2009) sebagai encoding, sementara itu, praktik konsumsi teks media melahirkan proses decoding. Baik dalam encoding maupun decoding, sama sama berlaku proses penciptaan dan pembacaan tanda (sign) berikut praktik representasi dan respons terhadapnya.
Tulisan ini akan berfokus kepada pembahasan semiotika dan politik representasi wacana media serta orientasi hegemonik terkait dengan kekerasan seksual di Universitas, khsuusnya di Universitas Hasanuddin, Makassar.
Bagaimanakah tanda – tanda diproduksi dan politik representasi bekerja hingga akhirnya menjadi (politik) wacana di ruang publik? Bagaimana orientasi hegemonik tertentu menjadi dominan melalui produksi tanda dan politik representasi media yang kemudian disebar untuk dikonsumsi oleh khalayak ramai dan menjadi orientasi hegemonik terhadap ideologi tertentu? Pertanyaan – pertanyaan tersebut akan dijawab oleh tulisan ini.
Konsep – konsep Semiotika Ferdinand de Saussure dan Roland Barthes tentang denotasi dan konotasi / mitos tanda – tanda akan digunakan untuk menjawab pertanyaan – pertanyaan tersebut. Selain itu, ada konsep “politik representasi” dan “orientasi hegemonik” dari Stuart Hall dan Farid Alatas yang akan digunakan sebagai alat bantu analisis dalam mengkaji dan menilai produksi tanda dan wacana yang menyertai pemberitaan kekerasan seksual di Universitas, terutama di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin.
Denotasi dan Konotasi / Mitos
Denotasi dan konotasi dalam semiotika (ilmu tentang tanda) akrab dengan nama Ferdinand de Saussure dan Roland Barthes. Denotasi merupakan pemaknaan tingkat dasar yang terdiri dari penanda dan petanda dari suatu “objek” yang dimaknai sebagaimana adanya. Contoh misalnya, benda yang dikenali dengan bunga sebagai “penanda” menghasilkan “petanda” “bunga” di pikiran seseorang yang melihatnya. Sampai di situ saja untuk sementara menurut Saussure.
Kemudian, konsep tentang “bunga”, ketika dikaitkan dengan pemaknaan tingkat kedua, yaitu konotasi, maka pemaknaannya sudah melibatkan “makna kultural” yang hidup di masyarakat tempat seseorang tersebut berinteraksi secara sosial kuktural.
Roland Barthes menyebut pemaknaan konotatif ini sebagai “mitos”, yaitu sebuah praktik pemaknaan yang bersifat “arbitrer” sekaligus “konvensional”. Maksudnya, pemaknaan suatu tanda bisa dibuat semau – maunya sekaligus pada tahap tertentu menghasilkan suatu kesepakatan (konvensi).
Misalnya, “petanda” tingkat pertama dari “bunga”, bisa menjadi “penanda II” (tingkat kedua / konotasi) dari “bunga”, sehingga melahirkan “petanda II” yang dapat bermakna konotatif sekaligus mitologis karena tidak ada lagi hubungan langsung dengan objek “bunga” di penanda awal atau penada tingkat pertama tadi. Melainkan, ada makna yang “dilekatkan” (diasosiasikan) pada ‘bunga’ tersebut.
“Bunga” dalam level atau tingkat pemaknaan kedua yang dikenal dengan level konotatif atau level mitologis oleh Roland Barthes tersebut dapat bermakna “cinta”, “kasih sayang”, “sikap romantis”, bahkan “luka” dan “air mata”. Makna – makna ini saling berkontestasi atau bersaing secara terbuka di ranah kultural untuk mendapatkan “pengakuan” (recognition) sekaligus “pengikut” (followers). Makna yang manakah yang akan memenangkan “pertarungan” (kontestasi) sehingga menjadi “mitos”?
Dalam kasus kekerasan seksual di Universitas, “kekerasan seksual” dapat dibaca sebagai “penanda” yang berimplikasi terhadap “petanda” pada tingkatan denotasi dan konotasi. Pada level konotasi atau tingkatan mitos, pemaknaan kekerasan seksual saling berkontestasi satu sama lain. Faktor utamanya adalah “keberpihakan”.
Pemaknaan konotatif pihak yang ada di kekuasaan atau yang berpihak kepadanya cenderung “tidak berpihak kepada korban”. Jika tidak ingin kelihatan sekali membela pelaku, mereka sering bersembunyi pada pemaknaan konotatif dan mitologis atas nama “melindungi nama baik institusi dari aib”.
Bahkan, kekerasan seksual pada level pemaknaan konotatif — dengan narasi mengarah membela ke pelaku — cenderung menyudutkan pihak perempuan sebagai “sumber masalah”, bukannya pelaku sebagai “pelaku kejahatan”. Misalnya dengan menyebut korban dengan “berpakaian kurang sopan”, dan sebaliknya “pelaku yang alim lagi terdidik plus baru pulang umrah”. Itu semua adalah bahasa yang mengandung “tanda” (sign) yang memiliki implikasi pemaknaan.
Ujaran seperti itu ingin mengatakan bahwa “kekerasan seksual adalah kesalahan perempuan sendiri yang dinilai berpakaian atau bersikap kurang sopan, sementara laki – laki (yang dinilai baik – baik) justru adalah korbannya karena dibuat “tergoda”.
Cara pandang demikian menegasikan (mengabaikan dan menyingkirkan) keberpihakan kepada korban dari awal. Bukannya kekerasan seksual dimaknai dan diasosiasikan dengan pelaku yang bermasalah secara “personal”, lingkungan akademik yang bias gender dan tidak sehat akademik secara “kultural”, dan institusi yang memang “sakit” secara “struktural”.
Itu semua terbukti dari tindakan – tindakan atau respons para pejabat kampus dan jajarannya yang terkesan lambat dan denial, berusaha membela dan melindungi pelaku, resisten terhadap kritik, men-DO Mahasiswa, sampai penangkapan “sembrono” dan salah sasaran kepada aktivis mahasiswa dan aktivis pers mahasiswa, terakhir dengan menunda – nunda pengumuman Surat Rekomendasi Pemecatan pelaku ke Kemendikti Saintek kepada publik.
Daftar perilaku pihak kampus di atas adalah “tanda – tanda” (signs) atau “penanda” (signifier) yang dapat dimaknai sebagai “petanda” (signified) dengan bermacam – macam pemaknaan konotatif sekaligus mitologis. Intinya, secara semiotika daftar kelakuan pihak kampus di atas dapat dimaknai dengan “tak ada keberpihakan kepada korban di sana” (titik).
Yang ada adalah makna konotasi berupa “lindungi pelaku”, jikapun terdesak dan tak mampu lagi mengelak, segera lakukan “cuci tangan institusi”. Itulah “mitos” yang Unhas hasilkan dari pembacaan semiotik di atas terhadap perilakunya menangani kasus kekerasan seksual di FIB Unhas selama kurang lebih dua bulan terakhir.
Praktik – praktik pemaknaan yang bertebaran dari pembacaan perilaku pihak kampus melalui satgas dan pimpinan fakultas hingga Universitas di atas menunjukkan bahwa Unhas adalah institusi yang “eksklusif” dan “resisten” secara institusi. Unhas bukan institusi yang “inklusif” apalagi “demokratis” serta “aman” untuk kaum perempuan dan aktivisnya.
Olehnya, sangat rentan memang untuk bersikap represif ketika menghadapi kritik dan tantangan baik dari dalam apatahlagi dari luar. Secara semiotika, ini juga menandakan bahwa Unhas sesungguhnya adalah “institusi yang ‘rentan’, kalau bukan ‘rapuh’. Artinya, dalam sekali terjang — oleh kekuatan yang “sedikit lebih besar” — bisa tumbang.
Catatan kritis lainnya adalah dengan sikap eksklusif, resisten dan tertutup tersebut, Unhas bisa jadi gagal melakukan refleksi dan perbaikan institusi ke dalam di masa mendatang.
Politik Representasi dan Orientasi Hegemonik
Pembacaan secara semiotik di atas dapat dilanjutkan ke level yang “lebih tinggi” dengan melibatkan perangkat analisis bernama “analisis wacana”, lebih jauh lagi jika menggunakan “analisis wacana kritis”. Dalam karya Stuart Hall (2009) di atas, pembacaan semiotika ke analisis wacana kritis mengimpikasikan lahirnya pembacaan dari level mitologis ke tingkatan representasi.
Representasi (Representation) sejatinya berasal dari dua kata, yaitu re- yang berarti kembali dan present yang artinya hadir. Jadi, Representasi berarti menghadirkan kembali. Praktik representasi atau menghadirkan kembali di sini nampak biasa saja, akan tetapi, menjadi “politis” ketika proses representasi tersebut melibatkan relasi kuasa dan kepentingan politis dan ideologis (Hall, 2009).
Pihak berkuasa misalnya, ketika menceritakan (menghadirkan) kembali kejadian kekerasan seksual di Universitas mestilah akan mengkonstruksi cerita yang menguntungkan pihaknya. Jadi, cerita tentang “korban” akan “direpresentasikan” atau “dihadirkan kembali” melalui perspektif penguasa dengan menggunakan bahasa (language) dan tanda – tanda (signs), yang cenderung menguntungkan pihak berkuasa atau pelaku.
Oleh karena itu, perlu counter representasi, sebagaimana counter mitos untuk melakukan praktik decoding dari encoding yang diproduksi oleh pihak berkuasa. Sesungguhnya, dari praktik representasi dan counter representasi inilah, politik representasi bekerja.
Selanjutnya, bantuan terbaru datang dari ilmuwan Nusantara / Dunia Melayu atau lazim oleh Barat disebut dengan Asia Tenggara. Konsep terbaru itu bernama “orientasi hegemonik”. Syed Farid Alatas (2024) dalam The coloniality of knowledge and the autonomous knowledge tradition (Kolonialitas Pengetahuan dan Tradisi Ilmu Mandiri) menggaris bawahi konsep tentang “orientasi hegemonik” (hegemonic orientation) tersebut.
Menurut Farid Alatas, Profesor bidang Sosiologi dan Pengajian Melayu dari NUS Singapura itu, Orientasi Hegemonik adalah suatu orientasi berpikir yang menekankan pada suatu ideologi dominan tertentu. Misalnya, dalam kasus kekerasan seksual, orientasi hegemonik yang dinilai dominan adalah maskulinitas dan patriarki.
Keduanya, baik maskulinitas maupun budaya patriarki, merupakan orientasi hegemonik yang menguntungkan pihak laki – laki, sekaligus meminggirkan atau memarjinalisasi pihak perempuan. Atau jangan – jangan dibalik orientasi hegemonik yang patriarkis dan maskulin di Universitas tersebut, diam – diam terdapat orientasi hegemonik “yang lebih tinggi”, yaitu “kapitalisme pendidikan”? Jadi, kapitalisme pendidikan dapat saja bersenyawa dan saling menyokong dengan maskulinitas dan budaya patriarki di Universitas.
Dalam studi mengenai “politik representasi”, baik dalam prakteknya sehari – hari maupun dalam praktiknya di dalam teks – teks media, orientasi hegemonik mengenai maskulinitas dan budaya patriarki ini bisa jadi mendapatkan “space” (ruang) pemberitaan yang dominan.
Maksudnya, proses pemberitaan atau produksi teks media sangat “ke-laki – lakian”. Jika itu terjadi, maka media, termasuk media sosial turut serta melanggengkan cara pandang, cara berpikir, dan cara bertindak yang meminggirkan hak – hak demokratis perempuan dalam kehidupan sehari – hari. Untuk menguji ini, kita dapat memeriksa akun – akun media sosial universitas terkait dan media – media yang memberitakannya.
Namun, seperti kata Hall dalam encoding – decoding, sekuat – kuatnya Universitas membela diri melalui media, selalu ada “respons” dari media “lain” yang terus menunjukkan resistensinya, selemah – lemah dan sekecil – kecil apapun bentuk resistensi itu. Jika terjadi “praktik representasi” oleh media penguasa, ada saja “counter representasi” yang dilakukan.
Sekuat – kuatnya Unhas menciptakan “mitos – mitos” dalam kasus kekerasan seksual ini misalnya, ada saja praktik balasan berupa “demitologisasi” dan “counter mitos” dari kalangan yang “berpihak kepada korban”. Selalu ada “seni berlawan” dari para “seniman politik” yang muncul dari segala penjuru, khas cultural studies, bidang tempat Stuart Hall sepanjang hidupnya bergelut.
Bagaimanapun, politik representasi terhadap korban perempuan dalam produksi wacana penguasa dan media yang mendukungnya pada kasus kekerasan seksual di Universitas, dapat saja menguntungkan pelaku yang bukan karena kebetulan adalah seorang laki – laki.
Sehingga vokalitas (vocality) atau suara dan hak membela diri dari korban, yang juga bukan kebetulan adalah seorang perempuan, mengalami peminggiran (marjinalisasi). Politik representasi terhadap kaum perempuan dan korban kekerasan seksual di sini dapat dibaca sebagai penyokong “orientasi hegemonik” maskulinitas dan budaya patriarki di Universitas. Olehnya itu, sudah pasti bias gender dan tidak ramah sebagai institusi publik.
Di sisi lain, ujaran – ujaran dan komentar dari “pihak berkuasa”, dalam hal ini pihak Universitas ketika menangani masalah kekerasan seksual dapat dikaji secara kritis. Bagaimana “politik representasi” dan “orientasi hegemonik” pihak penguasa bekerja? Berpihak kemana mereka? Korban diposisikan seperti apa dan pelaku diperlakukan bagaimana?
Dari pembacaan kritis seperti ini, juga perlawanan secara semiotik, wacana, dan advokasi di lapangan, terlihat terus menemukan momentum solidaritasnya. Proses marjinalisasi pihak berkuasa tetap menemukan ruang resistensi dari arus berlawanan. Artinya, ini adalah pertanda bahwa Universitas kita sedang tidak baik – baik saja, dan adalah tugas masyarakat sipil, termasuk di dalamnya solidaritas Alumni, untuk “Sepakat Jalan Bersama” mengoreksi dan memperbaikinya.
Refleksi
Dengan demikian, penciptaan mitos ala Roland Barthes dan politik representasi Stuart Hall, serta konsep Orientasi Hegemonik dari Farid Alatas, adalah perangkat – perangkat analisis yang digunakan untuk “menggeledah” cara berpikir orang – orang di sekitar kita, pejabat kampus, dan tentunya “orientasi hegemonik” pihak Universitas dan media – media yang kita konsumsi.
Berpihak ke siapa dan hendak kemana mereka?
*Selamat menyambut tahun baru 2025.
Referensi
Stuart Hall (Ed.) (2009). Representation: Cultural Representation and Signifying Practices. Sage Publications.
Syed Farid Alatas. 2024. The coloniality of knowledge and the autonomous knowledge tradition. Sociology Compass 18: 1–9. https://doi.org/10.1111/soc4.13256.