Penulis: Farisal, Mahasiswa Kajian Budaya-Pascasarjana FIB-Unhas
GAK perlu khawatir lagi kalau banyak kebutuhan yang perlu kamu penuhi karena ada GoPay Pinjam yang bisa kamu temukan di aplikasi Gojek. Bikin kamu bisa lebih tenang, dengan bantu kasih pinjaman tunai sampai Rp25 juta dengan pilihan tenor cicilan hingga 6 bulan. Dua kalimat yang disampaikan gopay.co.id, 1 September 2024 lalu.
Penggunanya ada, salah satunya terlihat di sejumlah kedai di Kota Makassar, Sabtu, 15 Februari 2025. Selain digunakan untuk membayar pesanan, sejumlah pengunjung pun menggunakan untuk berbelanja beberapa produk fesyen yang branded. “Mudah dipakai, dan untuk dapatkan pinjamannya gampang ji,” kata salah seorang pengguna.
Di era digital, e-commerce tidak sekadar menjadi platform jual beli, tetapi juga menawarkan layanan pinjaman yang dikemas dengan kemudahan instan. Kemudahan ini seolah-olah memberikan akses finansial yang lebih luas bagi masyarakat, namun jika dilihat melalui perspektif Jean Baudrillard, ada dimensi simulasi dan hiperrealitas yang patut diperhatikan.
Baudrillard dalam pemikirannya tentang simulasi dan hiperrealitas mengungkap bahwa dalam masyarakat konsumsi, realitas telah digantikan oleh tanda-tanda yang tidak lagi merujuk pada kenyataan itu sendiri, melainkan pada sistem tanda yang dibentuk oleh kapitalisme. Dengan kata lain, apa yang tampak sebagai “kemudahan” dalam pinjaman digital ini sebenarnya adalah sebuah simulasi yang menutupi kepentingan kapitalisme digital yang lebih besar.
Kemudahan yang Disimulasikan
Layanan pinjaman di e-commerce sering kali dikemas dalam bentuk promo menarik, persyaratan yang mudah, serta akses instan yang menghilangkan kesan kompleksitas dalam pinjaman konvensional. Dalam simulasi ini, pengguna tidak lagi melihat pinjaman sebagai beban keuangan yang nyata, melainkan sebagai sebuah pengalaman konsumsi yang menyenangkan. Hal ini menciptakan ilusi bahwa pinjaman adalah bagian alami dari gaya hidup digital.
Merujuk dari pandangan Baudrillard, maka fenomena ini sebagai bagian dari hiperrealitas, di mana batas antara kebutuhan dan keinginan menjadi kabur. E-commerce tidak sekadar menyediakan barang, tetapi juga menciptakan dorongan konsumsi yang semakin kuat melalui pinjaman yang tampak “tanpa beban.” Namun, di balik simulasi ini, realitas sebenarnya adalah jebakan pemilik ekonomi kuat yang menjadikan utang sebagai alat kontrol konsumsi.
Kepentingan
Dalam logika kapitalisme, keberlanjutan bisnis tidak hanya bergantung pada transaksi jual beli, tetapi juga pada bagaimana pengguna terus berada dalam sistem konsumsi. Pinjaman digital yang ditawarkan oleh e-commerce memiliki beberapa kepentingan strategis. Pertama, meningkatkan daya beli konsumen, dengan memberikan akses pinjaman, e-commerce memastikan bahwa pengguna tetap mampu membeli produk meskipun tidak memiliki uang tunai. Hal ini memperluas jangkauan pasar dan meningkatkan volume transaksi.
Kedua, menciptakan ketergantungan finansial. Kemudahan pinjaman menciptakan kebiasaan konsumsi berbasis utang. Konsumen yang terbiasa menggunakan pinjaman digital akan lebih sulit keluar dari sistem ini, menciptakan ketergantungan yang menguntungkan bagi perusahaan.
Ketiga, hal ini menjadi lahan mengumpulkan data pengguna. Di era digital, data adalah aset berharga. Dengan layanan pinjaman, e-commerce dapat mengumpulkan data perilaku konsumsi dan kemampuan finansial pengguna. Data ini kemudian dapat dimonetisasi atau digunakan untuk strategi pemasaran yang lebih agresif.
Dampak Sosial dan Budaya
Fenomena ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal perubahan budaya. Jika merujuk atas pemikiran Baudrillard, maka dengan normalisasi pinjaman dalam konsumsi sehari-hari, masyarakat semakin terjebak dalam logika hiperrealitas di mana utang tidak lagi dianggap sebagai beban, melainkan sebagai bagian dari gaya hidup. Ketika realitas konsumsi direduksi menjadi sekadar tanda-tanda dan simulasi, kesadaran kritis terhadap dampak finansial yang sebenarnya menjadi semakin lemah.
Pinjaman digital di aplikasi e-commerce ini adalah contoh nyata simulasi kemudahan yang sebenarnya menguntungkan sistem lebih besar. Dengan perspektif Baudrillard, maka dapat dipahami bahwa layanan ini bukan hanya soal akses finansial, tetapi juga bagian dari hiperrealitas yang mengaburkan batas antara konsumsi dan utang. Dalam dunia di mana segala sesuatu menjadi simulasi, pertanyaannya bukan lagi apakah pinjaman ini menguntungkan konsumen, tetapi siapa yang sebenarnya mendapatkan keuntungan dari ilusi kemudahan ini? (*)