INSPIRASI NUSANTARA–Di Sulawesi Selatan, aksara atau naskah Lontara menjadi saksi kejayaan budaya Bugis dan Makassar sejak berabad-abad lalu. Lebih dari sekadar sistem tulisan, Lontara menyimpan filosofi dan identitas yang masih bertahan hingga kini.
Di antara warisan budaya Bugis yang paling berharga, naskah Lontara menjadi saksi perjalanan sejarah dan sastra. Salah satu karya terbesar yang menggunakan naskah ini adalah I La Galigo, epos mitologi Bugis yang ditulis pada abad ke-15.
Dilansir dari Indonesia.go.id, Jika dikompilasi dalam bentuk buku, naskah Lontara ini akan mencapai 9.000 halaman folio, menjadikannya salah satu epos terbesar di dunia, sebanding dengan Mahabharata dan Ramayana dari India.
Pada tahun 2012, I La Galigo resmi diakui oleh UNESCO sebagai bagian dari Memory of the World, mengukuhkan posisinya sebagai warisan budaya dunia. Uniknya, naskah ini ditulis di atas daun lontar dengan aksara Lontara, menunjukkan sistem penulisan yang khas dan sarat makna.
Keunikan naskah Lontara
Naskah Lontara atau Lontaraq merupakan sistem tulisan tradisional masyarakat Bugis dan Makassar. Nama “Lontara” berasal dari pohon lontar (Borassus flabellifer), tumbuhan endemik Sulawesi Selatan yang daunnya digunakan sebagai media tulis sejak berabad-abad lalu.
Ciri Khas Naskah Lontara:
1. Sistem Abugida: naskah ini terdiri dari 23 huruf dasar, ditulis tanpa spasi (scriptio continua), dan memiliki tanda baca yang minimal.
2. Tanpa Virama: Tidak adanya tanda pemati vokal membuat konsonan mati tidak dituliskan, sehingga pembacaan kata bergantung pada konteks.
3. Bentuk Geometris: Garis-garis lurus tanpa lengkungan menggambarkan karakter suku Bugis yang menjunjung kejujuran.
4. Teknik Penulisan: Garis lurus ke atas ditulis tebal sebagai simbol tekad yang kuat, sementara garis ke bawah lebih halus, mencerminkan kehalusan budi pekerti.
Dari Naskah Kuno hingga Papan Penunjuk Jalan
Aksara Lontara aktif digunakan sebagai sistem penulisan utama masyarakat Bugis sejak abad ke-14 hingga awal abad ke-20. Namun, seiring masuknya huruf Latin, penggunaannya mulai berkurang.
Meskipun demikian, aksara Lontara tetap dilestarikan melalui berbagai bentuk, seperti:
Mata pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah di Sulawesi Selatan.
Papan nama dan penunjuk jalan di berbagai tempat, termasuk nama gedung.
Peninggalan naskah kuno yang masih tersimpan di museum dalam dan luar negeri, seperti Tropenmuseum di Belanda.
Ekspresi seni kontemporer, salah satunya melalui puisi beraksara Lontara yang terukir di dinding Pusat Studi Asia Tenggara dan Karibia di Leiden, Belanda.
Menghidupkan Kembali Warisan Lontara
Sebagai bagian dari identitas budaya Bugis, pelestarian aksara Lontara menjadi tanggung jawab bersama. Peran generasi muda dalam mempelajari dan mengadaptasi aksara ini dalam kehidupan modern akan menjadi kunci dalam menjaga warisan ini tetap hidup.
Bagaimana menurut Anda? Apakah aksara Lontara bisa kembali populer di era digital? Mari kita terus melestarikan warisan budaya ini! (fit/in)