back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
31.7 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

Makassar Makin Padat: Hutan Kota yang Hilang

MAKASSAR, Inspirasinusantara.id – Siang itu, Maulana Ishak menatap matahari dari balik jendela rumahnya di Mariso. Udara terasa tajam, menampar kulit tanpa ampun. Sinar mentari...
BerandaEksklusifJalur Sunyi, Langit Pengap: Mobilitas dan Polusi di Kota Makassar

Jalur Sunyi, Langit Pengap: Mobilitas dan Polusi di Kota Makassar

MAKASSAR, Inspirasinusantara.id — Pagi di Jalan Perintis Kemerdekaan 12, deru motor mulai bersahutan. Matahari belum sepenuhnya tinggi, tapi lalu lintas sudah menunjukkan gelagatnya.

Di sudut trotoar yang retak, Andi Adilfi M. — mahasiswa Universitas Hasanuddin — menepikan sepedanya sejenak, mengecek rem dan posisi pedal sebelum mengayuh menuju kampus.

Ia bukan sekadar pengayuh roda dua. Bagi Andi, bersepeda dan berjalan kaki setiap hari ke kampus adalah pilihan sadar — sebuah bentuk perlawanan kecil terhadap kota yang kian bising, padat, dan sarat emisi.

Baca juga: Pakaian Bekas di Makassar dan Iklim yang Kian Sesak

 “Saya memilih bersepeda dan berjalan kaki bukan sekadar praktis,” ujarnya pelan. “Ini kesadaran hidup sehat dan ramah lingkungan.”

Andi adalah bagian dari komunitas pejalan kaki dan pengguna sepeda di Makassar—kelompok yang tak bersuara di lampu merah, tak terdengar di rapat perencanaan kota, tapi hadir setiap hari di jalanan, melawan debu dan knalpot.

“Di tengah dominasi kendaraan bermotor yang kian padat dan bising, berjalan kaki dan bersepeda memberi ruang untuk bernapas,” tuturnya.

Baca juga: Cerita Ibu Herdianti dan Jejak Karbon di Piring Prasmanan Makassar

Ia percaya bahwa mobilitas aktif adalah bentuk perlawanan kecil terhadap polusi udara dan kemacetan. Dari sudut pandangnya, kota bisa lebih manusiawi bila lebih banyak orang yang berjalan, bukan berkejaran dengan waktu lewat mesin.

Kegemarannya bersepeda tak berdiri sendiri. Sejak 2018, para pengguna, penggemar, pencinta, dan aktivis sepeda di seluruh dunia memiliki momentum peringatan sendiri. Tanggal 3 Juni ditetapkan sebagai Hari Sepeda Sedunia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), melalui konsensus 193 negara anggota pada Sidang Umum di New York, 12 April 2018.

Dalam deklarasinya, PBB mendorong negara-negara untuk memajukan penggunaan sepeda sebagai sarana pembangunan berkelanjutan—mulai dari kesehatan, inklusivitas, hingga pengurangan emisi karbon. Namun, keinginan hidup sehat itu kerap berbenturan dengan kenyataan.

“Trotoar rusak, jalur sepeda diserobot motor, dan kesadaran pengguna jalan masih rendah terhadap kami,” kata Andi.

Menurutnya, menyeberang jalan pun sering kali jadi perjuangan karena tidak ada zebra cross atau rambu yang layak. Ia tidak memungkiri ada beberapa inisiatif dari pemerintah kota—jalur sepeda dan revitalisasi trotoar—tapi baginya semua itu terkesan setengah hati.

“Belum terintegrasi, belum berkelanjutan. Kadang malah seperti proyek simbolis,” ucapnya.

Di kota yang menomorsatukan kendaraan pribadi, pesepeda seperti Andi harus ekstra hati-hati agar tak terhempas oleh laju mobil yang tergesa. Ruang yang semestinya menjadi milik publik, kini terkikis oleh parkiran liar, baliho, dan ekspansi aspal.

Gaya Hidup sebagai Tekanan

Namun Andi tidak patah. Ia tetap percaya bahwa gaya hidup individu punya pengaruh besar.

“Berjalan kaki ke tempat kerja, bersepeda ke pasar, atau naik angkutan umum—itu langkah konkret yang bisa dilakukan siapa saja,” ujarnya.

Dalam pandangannya, ketika semakin banyak orang berpindah ke moda transportasi yang bersih, tekanan terhadap kebijakan dan infrastruktur juga akan ikut meningkat.

“Pemerintah tidak bisa terus-menerus mendahulukan kendaraan bermotor kalau masyarakatnya sudah bergerak,” tambahnya.

Harapan yang Masih Tertahan

Harapan Andi sederhana – Makassar yang inklusif. Kota di mana semua moda, terutama yang ramah lingkunganmendapat ruang yang adil. Ia tidak ingin pembangunan terus difokuskan pada jalan raya dan kendaraan pribadi saja.

“Saya berharap pemerintah berani mengalokasikan ruang dan anggaran untuk infrastruktur pejalan kaki dan pesepeda,” katanya tegas.

Dengan begitu, kata dia, kota ini bisa jadi lebih sehat, nyaman, dan berkelanjutan. Bukan hanya untuk para pemilik kendaraan, tapi juga bagi mereka yang memilih menggerakkan tubuhnya sendiri demi hidup lebih baik—dan bumi yang lebih bernapas.

Napak Kaki di Kota yang Tak Ramah Langkah

Di pagi hari yang lembab, Muh Zulifiqar Al Gifary, 23 tahun, melangkah keluar dari rumahnya di kawasan Katangka, Makassar. Dengan sepatu lari dan headset kecil di telinga, ia menyusuri trotoar yang mulai dipadati kendaraan. Sejak beberapa tahun terakhir, mahasiswa Universitas Terbuka itu menjadikan jogging sebagai bagian dari ritme hidupnya.

“Saya lari bukan untuk gaya-gayaan. Tapi karena itu menunjang kesehatan anggota tubuh,” ujarnya, dengan napas teratur.

Zulifiqar percaya bahwa olahraga seperti jogging bukan hanya kebiasaan fisik, tapi juga bentuk perawatan diri yang paling mendasar. Ia menikmati sensasi udara pagi yang menyapu wajah, oksigen segar yang mengalir ke paru-parunya, dan denyut jantung yang stabil.

“Itu kebutuhan tubuh. Kita butuh oksigen yang baik, itu hak paling dasar untuk hidup sehat.”

Namun, langkah-langkah kecilnya nyaris selalu terganggu oleh kenyataan jalanan kota. Trotoar yang sempit, aspal yang berlubang, hingga jalur yang seharusnya bisa digunakan untuk berolahraga kini dipakai parkir liar, atau diserobot pengendara motor. Dalam banyak kesempatan, Zulifiqar harus mengalah: melangkah ke pinggir, menahan napas di antara knalpot dan suara klakson yang tak pernah lelah.

“Trek jalan itu sebenarnya bisa dimanfaatkan lebih baik. Tapi ya, di sini sering kali bukan dipakai sebagaimana mestinya,” katanya lirih.

Makassar, dalam pandangannya, belum menyediakan ruang yang cukup bagi mereka yang memilih bergerak tanpa mesin. Bahkan, kebijakan mobilitas non-motor masih jauh dari kata mendukung. Ia menyebut beberapa titik jogging track di taman kota atau stadion, tapi tak banyak yang bisa diakses mudah oleh warga biasa, apalagi tanpa kendaraan.

“Infrastrukturnya belum mendukung seratus persen,” ucapnya. “Yang ada sering disulap jadi fungsi lain, padahal kita butuh ruang sehat.”

Meski begitu, Zulifiqar tak surut. Ia terus menjaga rutinitas jogingnya sebagai bagian dari komitmen hidup sehat sekaligus kesadaran lingkungan. Ia paham, setiap langkah kecil yang ia ambil adalah bentuk perlawanan terhadap gaya hidup serba cepat dan polusi yang membuntuti kendaraan bermotor.

“Saya berharap, ke depan makin banyak kendaraan ramah lingkungan di kota ini,” tuturnya. “Itu penting, demi keberlangsungan hidup yang lebih baik.”

Di kakinya, tidak hanya ada gerak dan peluh, tapi juga harapan akan kota yang lebih bernapas—di mana orang bisa berlari tanpa dihantui gas buang dan deru knalpot. Zulifiqar tahu perjuangan ini belum selesai. Tapi selama jalannya masih ada, ia akan terus melangkah.

Fasilitas Minim, Warga Dipaksa Membeli Mesin

Di balik semangat pejalan kaki seperti Andi Adilfi dan pelari pagi seperti Muh Zulifiqar Al Gifary, ada sistem kota yang—secara perlahan tapi pasti—menyisihkan mereka. Pandangan itu ditegaskan oleh Fadli, Kepala Divisi Transisi Energi dan Pangan WALHI Sulawesi Selatan.

“Dominasi transportasi pribadi di kota Makassar sebenarnya hanyalah cerminan atas kurangnya fasilitas umum,” ujarnya.

Trotoar yang tidak ramah, halte yang tak layak pakai, jalur pengendara yang tidak mendukung sepeda, hingga kendaraan umum yang belum memenuhi kebutuhan dasar warga, semuanya membentuk peta kelam mobilitas kota.

Menurut Fadli, penyebab utama kemacetan dan polusi bukanlah sekadar banyaknya kendaraan pribadi, melainkan minimnya pilihan transportasi lain yang layak.

“Kita tidak bisa langsung menyalahkan pemilik kendaraan pribadi. Penyediaan fasilitas umumnya masih sangat kurang,” ia menekankan.

Udara Pekat, Napas yang Dipertaruhkan

Fadli menyampaikan, transportasi darat adalah penyumbang utama pencemaran udara di Indonesia, termasuk Makassar. Semakin tinggi penggunaan kendaraan pribadi, semakin besar pula emisi gas berbahaya yang terlepas ke udara: karbon monoksida (CO), hidrokarbon (HC), nitrogen oksida (NOx), partikulat (PM10), dan karbon dioksida (CO₂).

Studi Journal of Environment Behavior and Engineering menyebutkan bahwa sektor transportasi di Makassar menyumbang 70 persen dari total polusi udara, khususnya PM₂.₅ dan PM₁₀, dengan konsentrasi meningkat di ruas jalan padat kendaraan seperti Jl. Urip Sumoharjo.

Sementara, Hasil riset Unhas (2023) menunjukkan total emisi dari kendaraan bermotor di salah satu jalan kolektor—Jalan Hertasning—mencapai 104.041 ton CO per tahun, belum termasuk NOₓ, SO₂, dan PM₁₀. Ini mengilustrasikan besarnya tekanan emisi dari penggunaan kendaraan bermotor harian.

Data E3S Conference (2021) juga mengkonfirmasi bahwa zat pencemar seperti CO, NO₂, SO₂, PM₁₀, dan PM₂.₅ dominan di Makassar, dan berkorelasi negatif dengan kesehatan—memicu penyakit pernapasan seperti TB dan pneumonia.

“Polusi ini berdampak serius pada kesehatan masyarakat dan produktivitas ekonomi,” ujarnya. Ia menyebut dampak jangka panjang berupa peningkatan penyakit pernapasan, turunnya angka harapan hidup, serta hilangnya hari kerja produktif akibat sakit yang terus berulang.

Ketimpangan Iklim dan Akses

Saat ditanya soal krisis iklim, Fadli tidak ragu mengaitkannya dengan situasi lokal. Ia menyebut laporan IPCC yang menunjukkan tren kenaikan suhu global. Di Makassar, cuaca yang semakin panas—disertai minimnya akses kendaraan umum—membuat warga enggan berjalan kaki atau menggunakan transportasi publik.

“Kadang, cuacanya memang sudah terlalu panas. Tapi kendaraan umum juga masih dianggap tidak efisien,” ujarnya.

Selain itu, aksesibilitas kendaraan umum masih diskriminatif. Fadli menyebut kendaraan publik di Makassar tidak ramah terhadap kelompok disabilitas dan gender. Akibatnya, segelintir orang yang ingin beralih dari kendaraan pribadi pun kembali mundur.

Transportasi Umum: Pusat Jawaban yang Terabaikan

Bagi WALHI, solusi utama bukan pada kesadaran individu, tapi intervensi sistemik oleh pemerintah. Fadli menekankan bahwa penyediaan transportasi umum yang terjangkau, inklusif, nyaman, dan ramah gender harus menjadi prioritas.

“Kalau pilihannya tidak tersedia dan tidak terjangkau, masyarakat jelas tidak punya pilihan selain membeli kendaraan pribadi,” katanya.

Ia menyoroti satu kondisi krusial: kini banyak pekerja yang tinggal di luar Kota Makassar, tetapi bekerja di dalam kota. Karena itu, pendekatan perencanaan transportasi tidak bisa hanya fokus pada batas administratif Makassar saja.

Sebelum Masyarakat, Pemerintah yang Harus Disosialisasi

Salah satu ironi paling nyata, menurut Fadli, justru terjadi di jalur antara pejalan kaki dan transportasi umum.

“Untuk menuju halte saja kita masih kesulitan karena trotoarnya tidak terhubung,” ujarnya.

Kondisi ini menggambarkan bahwa akses ke transportasi umum bahkan belum dimulai dari titik awal yang layak. Jalan menuju perubahan terasa jauh karena pemerintah sendiri belum menyiapkan landasannya.

“Sebelum menuntut masyarakat menggunakan transportasi umum,” kata Fadli, “kita harus menuntut dulu pemerintah untuk menyediakannya.”

Menuju Kota yang Bisa Dihirup

Dalam pandangan WALHI, Makassar tidak akan bisa keluar dari lingkaran polusi dan kemacetan jika pendekatannya masih berpusat pada kendaraan pribadi. Langkah awalnya jelas: sediakan pilihan. Pastikan warga bisa berjalan dengan aman, naik kendaraan umum dengan nyaman, dan menghirup udara tanpa takut sakit.

Perubahan tak dimulai dari ceramah kesadaran, tetapi dari perencanaan kota yang adil dan menyeluruh. Tanpa itu, warga akan terus terpinggirkan di sela-sela deru knalpot dan jalanan yang makin tak bersahabat.

Kesadaran yang Belum Tumbuh, Mobilitas yang Belum Berubah

Di tengah riuh kendaraan pribadi dan debu jalanan, Muhajirin, Koordinator Program Green Youth Celebes, memandang Kota Makassar sebagai ruang yang masih jauh dari cita-cita keberlanjutan.

“Masalah utamanya bukan hanya pada kebijakan atau infrastruktur, tapi juga pada kurangnya kesadaran masyarakat dalam mendorong penggunaan transportasi berkelanjutan,” ujarnya.

Menurutnya, gaya hidup warga Makassar masih sangat tergantung pada kendaraan bermotor pribadi dan bahan bakar fosil. Meski krisis iklim kian terasa, pilihan sehari-hari masyarakat belum banyak yang berubah.

“Kita masih sangat tergantung pada energi fosil. Padahal kita tahu, sektor transportasi adalah salah satu penyumbang emisi terbesar.”

Belajar dari Daerah Lain: Langkah Kecil, Dampak Besar

Muhajirin tak hanya mengkritik. Ia menunjukkan contoh kebijakan progresif dari daerah lain. Jawa Barat, misalnya, sudah mulai membatasi penggunaan sepeda motor bagi siswa sekolah. Selain karena belum cukup umur, kebijakan ini secara langsung mendorong penggunaan kendaraan umum dan menurunkan emisi.

“Jakarta juga bisa ditiru. Di sana, ASN wajib naik transportasi umum setiap hari Rabu,” katanya. “Kalau diterapkan di Makassar, dampaknya bisa besar.”

Menurutnya, dua langkah kecil itu — pembatasan motor pelajar dan kewajiban ASN naik transportasi publik — bisa menekan emisi secara signifikan dan sekaligus mendorong perubahan perilaku sosial.

Kritik pada Energi Bersih yang Belum Bersih

Terkait upaya peralihan ke kendaraan listrik, Muhajirin menyampaikan kekhawatiran yang lebih mendalam.

“Pemerintah belum serius ingin beralih ke transportasi ramah lingkungan,” ujarnya tegas.

Baginya, kendaraan listrik bukanlah solusi mutlak. Ia melihat paradoks: baterai kendaraan listrik masih mengandalkan tambang nikel yang merampas tanah masyarakat adat, dan pembangkit listriknya masih mengandalkan energi kotor seperti batu bara.

“Jadi dari hulu sampai hilir, belum bisa disebut ramah lingkungan. Kita belum menyentuh transisi energi yang adil.”

Krisis Iklim Bukan Tanggung Jawab Pemerintah Saja

Di akhir wawancara, Muhajirin menyampaikan bahwa edukasi publik adalah kunci. Ia percaya bahwa kebijakan tidak cukup tanpa dukungan masyarakat.

“Menurutku belum cukup. Masyarakat masih harus terus diedukasi agar bisa bergerak bersama dalam melawan krisis iklim,” ujarnya.

Gerakan perubahan, kata dia, bukan hanya soal mengganti moda transportasi, tapi mengubah cara pandang. Dari yang serba instan dan individual ke cara berpikir kolektif dan jangka panjang.

Bahwa jalan untuk mengurangi emisi bukan hanya dibangun dari beton dan halte, tapi juga dari obrolan, sikap, dan pilihan sehari-hari. Bahwa solusi krisis iklim bukan hanya soal ganti kendaraan, tapi soal meninjau ulang apa yang sudah anggap sebagai “kemajuan.”

Sebelum kota ini menyesakkan napas lebih banyak orang, suara-suara ini, walau sunyi, terus menuntun arah: Makassar bisa berubah—jika sepakat jalan bersama. (Andi/IN)