back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
30 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

Tempat Wisata Ladang Sulsel: Menyapa Alam, Menghargai Petani 

inspirasinusantara.id -- Liburan tak lagi sekadar soal destinasi populer atau bangunan megah, kini ladang-ladang pangan pun berubah menjadi tempat wisata yang memanjakan mata dan...
BerandaGaya HidupCerdas Tapi Boros? Mengungkap Jejak Karbon di Balik ChatGPT 

Cerdas Tapi Boros? Mengungkap Jejak Karbon di Balik ChatGPT 

Inspirasinusantara.id – Di balik kecanggihan ChatGPT dan teknologi AI lainnya, tersimpan fakta yang sering luput dari perhatian publik: jejak karbon yang ditinggalkan dari setiap interaksi digital ternyata nyata, dan terus membesar.

CEO OpenAI, Sam Altman, mengungkapkan fakta mengejutkan soal konsumsi energi ChatGPT. Menurutnya, satu kueri (permintaan) ChatGPT menghabiskan sekitar 0,000085 galon air—setara seperlima belas sendok teh.

Selain itu, satu pertanyaan juga membutuhkan listrik sebesar 0,34 watt-hours. Terlihat kecil, namun ketika diakumulasikan dalam miliaran kueri setiap hari, maka jejak karbon yang tercipta menjadi sangat signifikan.

The Verge mencatat air digunakan untuk pusat data AI sebagai cara mendinginkan server. Di sinilah letak masalahnya: penggunaan energi dan air yang masif dari AI menciptakan jejak karbon digital yang tersembunyi, tetapi perlahan-lahan memperparah beban lingkungan global.

Teknologi Canggih, Jejak Karbon Mengkhawatirkan

Tak banyak yang tahu bahwa kecerdasan buatan memiliki kebutuhan air yang tinggi untuk menjaga suhu server tetap stabil. Laporan The Washington Post mencatat, untuk membuat satu email pendek dengan AI GPT-4, air yang dikonsumsi bisa mencapai lebih dari satu botol.

Baca juga : Jejak Karbon di Meja Makan: Saatnya Berpihak pada Pangan Lokal

Jumlah ini tentu berkontribusi pada jejak karbon, terutama jika aktivitas dilakukan dalam skala besar dan terus-menerus. Yang membuat kondisi ini semakin rumit adalah perbedaan geografis dan iklim tempat pusat data berada.

Lokasi dengan suhu panas tentu memerlukan sistem pendinginan yang lebih ekstrem, yang artinya semakin banyak air dan energi digunakan—dan semakin tinggi pula jejak karbon yang dihasilkan oleh teknologi yang kita anggap “tak berwujud”.

AI vs Bitcoin: Perebutan Energi di Dunia Digital

Selama ini, industri kripto seperti Bitcoin sering dikritik karena menyerap energi dalam jumlah masif. Namun kini, AI mulai menyaingi dominasi itu dalam hal konsumsi listrik.

“Sejumlah peneliti memperingatkan bahwa dalam beberapa tahun ke depan, jejak karbon dari teknologi AI berpotensi melebihi industri Bitcoin—yang telah lama dianggap sebagai “musuh” lingkungan dalam dunia digital.” Dikutip dari CNBC

Berbeda dari kripto yang cenderung terfokus pada satu sektor, AI digunakan di hampir semua aspek kehidupan: pendidikan, ekonomi, militer, hiburan, hingga pemerintahan. Ini berarti jejak pemakaian dan dampak lingkungannya jauh lebih luas dan sulit dikendalikan.

Jejak karbon AI bukan hanya tentang server dan listrik, tapi tentang masa depan keberlanjutan global.

Saatnya Menggunakan AI dengan Bijak

Tak ada yang menyangkal bahwa AI adalah inovasi luar biasa. Namun jika tidak dibarengi dengan kesadaran ekologis, kita sedang membangun masa depan yang cerdas tapi merusak.

Kita perlu menyeimbangkan kemajuan teknologi dengan tanggung jawab lingkungan—mengurangi penggunaan berlebihan, mendorong energi terbarukan untuk data center, dan memastikan bahwa setiap klik tidak menambah panjang daftar jejak karbon bumi. (*/IN)