Opini  

Diskriminasi Positif Terhadap Seniman

Opini
DISKUSI. Supratman Yusbi Yusuf berdiskusi dengan beberapa rekannya beberapa waktu lalu.

Penulis: Supratman Yusbi Yusuf

BARANGSIAPA  yang menguasai ruang, maka dia juga menguasai dunia. Begitu kira-kira dalil Henri Lefebvre dalam menafsirkan upaya perlawanan kelompok-kelompok yang terpinggirkan dari perebutan dominasi atas ruang, utamanya ruang publik. Sangat mutawatir dari “suhunya” Karl Max bahwa barangsiapa yang menguasai uang (baca: ekonomi/alat produksi), maka dia juga akan menguasai dunia. Memang Karl Marx berpendapat, kontrol atas ekonomi dan produksi adalah kunci untuk memahami hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Sementara Henri Lefebvre berpendapat bahwa kontrol atas ruang adalah kunciuntuk memahami hubungan yang dimaksud sebelumnya.

Karena perlu penguasaan, sehingga Lefevbre menyatakan bilaruang bukan hanya persoalan tempat fisik semata, melainkanjuga konsep sosial yang dibentuk. Ruang itu diproduksi, begitulah kira-kira. Contoh sederhananya, kehadiran kita berdiskusi di warkop lantaran warkop bukan hanya ruang fisik tempat meminum kopi, tetapi telah terepresentasi sebagai ruang bertukar gagasan. Barangsiapa yang berhasil membangun citra representasinya, maka dialah yang menguasai ruang tersebut.

Ruang publik adalah ruang pertarungan dalam membangun representasi atas ruang. Jika kalah dalam pertarungan, sebagaikonsekuensinya, maka akan terpinggirkan dari ruang tersebut. Begitulah kira-kira yang terjadi atas seniman di ruang publikkota, khususnya di kota Makassar. Ruang-ruang yang dahulu merupakan representasi ruang berkesenian kini beralih menjadiruang kapital. Lapangan Karebosi, misalnya, sebelumnya, aktivitas berkesenian masih dapat diakses pada ruang tersebut. Kini, aktivitas berkesenian nyaris tidak ada lagi dan diganti dengan ruang-ruang lain, misalnya ruang jual beli. Tentu masihbisa berkesenian dalam bentuk yang ada sekarang, tetapi apakah ruang itu masih representasi ruang kesenian ketimbang ruangkapital? Ya, identitas ruangnya telah berubah.

Contoh lain, di Pantai Losari, kita tidak berbicara apakah kegiatan berkesenian bisa atau tidak. Tentu jawabannya, bisasaja. Banyak event kesenian di Pantai Losari. Namun soalan nya adalah apakah seniman berhasil membangun Pantai Losari sebagai ruang berkesenian, sampai saat ini?

Jangankan kedua tempat di atas, hari ini, apakah Societeit de Harmonie yang lebih dikenal sebagai Gedung Kesenian masih menjadi ruang representasi bagi seniman atau telah menjadiruang yang lain. Jika jawabannya tidak lagi, maka ada kewajaran seniman terpinggirkan dari ruang publik dan membangun ruang-ruang privat yang dimiliki menjadi ruang-ruang publik baru.

Lefevbre betul-betul tegas, ruang bukan hanya dilihat secara spasial dan dipraktikkan (spatial practice), atau apa yang dipetakan/apa yang dilabeli (abstract space), tetapi ruang adalah apa yang didiami (lived space)- ruang yang betul-betul dikuasai. Baginya, ruang itu diproduksi, The Production of Space (1974).

Seniman dan Keterpinggiran

Seniman adalah jalan kesunyian, mungkin begitu dalil yang kerap kali didengar khalayak.

Sering kali dianggap sebagai kelompok minoritas. Mereka sering dipandang sebelah mata, dikategorikan sebagai “orang-orang yang tidak realistis,” atau bahkan “terasing” dari arus utama. Memiliki cara pandang yang unik tentang dunia, dan mengekspresikan diri dengan cara yang bisa jadi tidak dipahami oleh banyak orang.

Apalagi ketidakberdayaannya membangun kemenangan“representasi” atas ruang-ruang publik yang ada saat ini, menjadikannya membangun ruang-ruang pinggiran. Berekspresi dan memproduksi karyanya di sana, sambil bersuara agar ada ruang yang dihadirkan pemerintah yang mendukung karya serta proses berkarya seniman.

Setelah kontestasi Pilwalkot Makassar lalu, samar-samar terdengar ada konsep ruang kreativitas per kecamatan dari pemenang, hanya saja, apakah konsep ini relevan dengan kebutuhan ruang atas seniman yang terpinggirkan dari ruang publik, atau yang bagaimana. Kita tunggu saja dilantik dan bekerja.

Soal program ruang itu, harapannya sih tidak bermuara pada kalkulasi ekonomi untuk menaikkan PAD. Sebab, beberapa program pemerintah terhadap ruang kerap kali dikalkulasikan terhadap nilai sehingga subtansi program nyaris kehilangan marwah. Jika ruang-ruang seni ini “dipaksa” menciptakan valid ekonomi dan turut berkontribusi terhadap pendapatan, maka kasihan juga para seniman. Sudah sering dianggap tidak mampumenghidupi dirinya sendiri, diberi ruang, eh malah diminta berkontribusi menaikkan pendapatan dari aktivitas berkesenian nya.

Bagi penulis, ruang yang dihadirkan mestinya betul-betul ruang kesenian secara representatif dan dikuasai sebagai nilai perjuangan kelasnya.

Apa Perlu Dianggap Disabilitas?

Setahu penulis, pembangunan ruang publik yang dilakukan oleh pemerintah yang tidak berorientasi terhadap ekonomi adalah pembangunan fasilitas terhadap kaum disabilitas. Meskipun anggarannya memadai, kalkulasi ekonominya tidak pernah ada.

Penulis merasa memang ada kemiripan dengan disabilitas—kelompok yang juga sering disingkirkan atau dipandang berbedaoleh sebagian besar masyarakat. Dalam konteks ini, baikseniman maupun disabilitas berbagi tantangan yang serupadalam mendapatkan pengakuan dan kesetaraan.

Berada dalam posisi yang sering kali sulit, baik seniman maupun individu dengan disabilitas, justru memiliki cara unik untuk melihat dunia. Mereka membawa perspektif yang berbeda, menawarkan wawasan baru, dan memperkenalkan ide-ide yang menantang cara berpikir konvensional. Seniman sering dianggap sebagai kelompok yang terpinggirkan atau minoritas. Melaluikarya mereka, seniman memberi suara bagi mereka yang tidakterdengar, menantang sistem yang sudah mapan, dan memberikan gambaran tentang kehidupan yang berbeda. Sama seperti individu dengan disabilitas yang sering kali memperjuangkan hak-hak mereka untuk diakui dan dihormati, seniman juga berjuang untuk menegaskan keberadaan dan nilai-nilai mereka.

Diskrimasi Positif

Soal ruang bagi seniman ini, perlu adanya diskriminasi positif. Biasanya, kebijakan diskriminasi positif ini bertujuan untuk meningkatkan kesempatan dan perlakuan yang lebih baik bagi kelompok-kelompok yang secara historis atau struktural telah terpinggirkan atau didiskriminasi. Tujuannya untuk mengatasi ketidaksetaraan yang ada dalam masyarakat dengan memberikan perlakuan khusus atau preferensi kepada kelompok tertentu.

Diskriminasi positif dapat memastikan kelompok yang kurangterwakili memiliki kesempatan lebih besar untuk berpartisipasi dalam kegiatan atau mendapatkan akses terhadap sumber dayayang lebih banyak. Selama ini kelompok disabilitas ditempatkandalam posisi ini sehingga berkonsekuensi terhadap alasan pemerintah membiayai dan membangun sarana dan prasarana tanpa adanya konsekuensi terhadap PAD. Tidak apa-apalah jikaseniman didiskriminasi secara positif agar diperhatikan pemerintah tanpa dituntut kontribusi atas pendapatan daerah.

Jika pemerintah telah memperhatikan dengan baik dan menganggarkan pembangunan sarana dan prasarananya, tugas selanjutnya adalah mempertahankan ruang, membangun representasi ruang berkesenian yang berkelanjutan. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *