MAKASSAR, Inspirasinusantara.id – Pukul sembilan pagi, ruang kerja di salah satu bank swasta nasional di Kota Makassar sudah penuh aktivitas.
Di balik meja layanan nasabah, L.F., seorang pegawai bank, duduk dengan tenang. Ia terbiasa dengan rutinitas ini: bekerja dari pagi hingga sore, ditemani dinginnya AC yang menyala tanpa jeda.
“Setiap hari kerja, pagi hingga sore,” katanya saat ditanya soal penggunaan pendingin udara di kantornya.
Suhu ruangan yang ia rasakan tidak membuatnya mengeluh. Tidak terlalu dingin, tidak pula terasa pengap. Baginya, suhu seperti itu sudah cukup.
Baca juga: Pakaian Bekas di Makassar dan Iklim yang Kian Sesak
“Sedang, terasa normal,” ujarnya singkat.
Namun, ada kalanya ia sendiri mengatur suhu ruangan. Bukan karena kebijakan kantor, melainkan karena kondisi cuaca di luar ruangan.
Baca juga: Gaya Hidup Rendah Karbon Tumbuh Perlahan di Makassar
“Ya, menyesuaikan dengan cuaca,” katanya.
Meski menggunakan pendingin udara setiap hari, L.F. mengaku kantornya tidak memiliki kebijakan khusus tentang penghematan energi. Tidak ada arahan untuk membatasi suhu atau mematikan AC di jam tertentu.
“Tidak ada,” jawabnya tegas.
Lebih jauh lagi, ia juga belum menyadari bahwa penggunaan AC berkontribusi pada emisi karbon atau krisis iklim.
“Tidak,” katanya singkat saat ditanya soal kesadaran tersebut.
Namun ketika ditanya apakah kenyamanan di ruang kerja harus bergantung pada AC, L.F. memberikan pandangan yang lebih reflektif.
“Menurut saya lebih nyaman dengan suhu sedang.”
***
Di ruang kerja lain, tak jauh dari pusat kota, Muhammad Asri duduk di balik meja pelayanan Kecamatan Ujung Pandang, Kota Makassar. Jam kerja baru saja dimulai, namun AC di kantornya sudah menyala sejak pagi. Ia tahu benar, perangkat pendingin itu hanya mati saat gedung dikosongkan.
“Selama jam kerja, selalu menyala dari pagi sampai sore,” katanya lugas.
Tak seperti L.F. yang menyebut suhu ruangan terasa normal, Asri merasakannya sebagai dingin. Bahkan terlalu dingin untuk ukuran ruangan pelayanan umum.
“Dingin,” katanya singkat.
Bukan sekali dua kali ia harus turun tangan mengatur suhu ruangan.
“Iya sering, karena terlalu dingin,” ujarnya.
Namun, sebagaimana juga dialami L.F., tidak ada kebijakan khusus di kantor tempatnya bekerja mengenai penghematan energi. Tidak ada panduan suhu, tidak ada anjuran pemadaman perangkat elektronik saat ruangan kosong.
“Tidak ada,” tegasnya.
Ketika ditanya soal kaitan antara penggunaan AC dan isu lingkungan, Asri hanya menggeleng.
“Tidak,” katanya, merujuk pada ketidaktahuan bahwa kenyamanan ruang yang ia tempati saban hari turut berperan dalam jejak karbon kota.
Lantas, apakah kenyamanan kerja baginya identik dengan AC? Ia tidak menjawab dengan teoritis. Jawabannya sederhana dan mencerminkan sudut pandang umum:
“Tidak juga, yang jelas tempatnya tidak panas.”
Kesejukan di kantor kecamatan itu hadir setiap hari, tanpa banyak pertanyaan. AC dinyalakan sejak pagi, hanya dipadamkan saat sore menjelang. Tidak ada pembahasan tentang efisiensi, tidak ada pembicaraan tentang emisi. Yang penting ruangan tidak gerah.
Kenyamanan telah menjadi kebiasaan. Kebiasaan itu tak pernah merasa perlu menjawab siapa yang menanggung biayanya.
***
Di dalam pusat perbelanjaan yang hiruk-pikuk, di antara deretan rak minuman dingin dan barisan kasir yang tak pernah benar-benar sepi, Syahrul menjalani hari-harinya sebagai karyawan supermarket. Ia tahu betul bahwa dingin adalah bagian tak terpisahkan dari tempatnya bekerja.
“Setiap hari itu kalau AC, apalagi saya kerja di salah satu supermarket di mall,” ujarnya. Suaranya santai, tapi pasti.
Kenyamanan udara sejuk tidak hanya diperuntukkan bagi pelanggan. Sebagai pekerja, ia juga merasakannya—meskipun kadang harus berhadapan dengan suhu yang ekstrem, terutama saat harus masuk ke ruang penyimpanan bahan pangan beku.
“Menurutku normal ji, kecuali kalau masukka di pendingin ruangan yang simpan stok ayam atau daging—dingin sekali ki,” kata Syahrul, sambil tertawa kecil.
Sebagai staf biasa, Syahrul tak punya kendali atas suhu ruangan. Bahkan untuk sekadar mengatur suhu AC, ia mengaku tak pernah melakukannya.
“Tidak pernah. Kita karyawan datang jaki kerja, tidak ditau yang begitu.”
Namun ia meyakini, ada mekanisme hemat energi di tempat kerjanya. Bukan karena diberi tahu secara langsung, melainkan karena ia memperhatikan rutinitas saat mal tutup.
“Mungkin ada ji, karena toko ku tidak 24 jam ji juga. Kalau maumi tutup mal, pulang maki, dimatikanmi itu lampu.”
Tapi soal apakah penggunaan AC berkaitan dengan emisi karbon atau krisis iklim, Syahrul mengangkat bahu.
“ Saya tidak tahu kalau itu,” katanya polos.
Namun bagi Syahrul, AC bukanlah kemewahan—melainkan keharusan. Ia menyebut langsung ruangan penjualan butuh suhu sejuk untuk menjaga kualitas produk.
“Kalau di tempatku harus ki ia ada AC. Karena supermarket, ada buah, sayuran, daging na jual toko ku.”
Dingin, di tempat Syahrul bekerja, bukan pilihan. Itu adalah syarat logistik, bagian dari sistem yang harus dijalankan. AC menyala demi menjaga buah tetap segar, sayur tak layu, dan daging tak cepat busuk. Dan dari sana, lahirlah kenyamanan untuk pembeli, efisiensi untuk pemilik, dan beban energi yang tak pernah benar-benar terlihat.
Bagi Syahrul, tugasnya adalah bekerja. Soal suhu, listrik, dan emisi—itu urusan orang lain.
Satu Mesin, Separuh Konsumsi
Studi rancangan hemat energi dari Building Energy Efficiency and Conservation—konsentrasi WWF tahun 2019—mengungkap bahwa di Makassar, lebih dari 50 % konsumsi energi bangunan disebabkan oleh penggunaan AC. Mengadopsi desain seperti isolasi panas, ventilasi alami, vegetasi mikro‑iklim, dan menaikkan ambang suhu bisa menghasilkan penghematan energi antara 17–30 %
Selain itu, prototipe audit energi di Gedung Balai Kota Makassar (luas 5.119 m²) mengungkapkan bahwa 82 % dari total beban listrik bulanan sebesar 267 kW digunakan oleh sistem AC split (37 unit). Sementara di Gedung Gabungan Dinas (luas 3.256 m²), AC memakan 84 % dari total listrik. Ini mempertegas argumen bahwa AC adalah penyumbang utama konsumsi listrik di gedung perkantoran Makassar.
Di negara tropis seperti Indonesia, AC menyumbang hingga 60 persen dari konsumsi listrik di bangunan perkantoran dan komersial. Laporan dari International Energy Agency (IEA) mencatat bahwa permintaan energi untuk pendinginan di negara berkembang meningkat pesat, dan Indonesia menjadi salah satu pendorong utamanya.
Sebuah studi di Semarang oleh Institut Teknologi Nasional menyebut bahwa penggunaan sistem AC yang tak efisien dan desain bangunan yang buruk menyebabkan pemborosan energi antara 32–44 persen. Jika dikalkulasi secara nasional, potensi penghematan bisa mencapai miliaran rupiah per tahun.
Sejuk yang Menghanguskan
Kementerian ESDM mencatat bahwa sektor bangunan—rumah, kantor, mal, hotel—menyumbang lebih dari 30 persen total konsumsi energi nasional. Dan di dalam sektor itu, AC adalah beban utama.
Namun bukan hanya listrik yang jadi masalah. Refrigeran dalam AC, seperti HFC (Hydrofluorocarbon), adalah gas rumah kaca yang memiliki potensi pemanasan global ribuan kali lipat dari karbon dioksida (CO₂). Bila terjadi kebocoran atau pembuangan tidak terkontrol, dampaknya terhadap pemanasan global akan jauh lebih destruktif.
Padahal, sebagian besar listrik di Indonesia—termasuk Makassar—masih berasal dari pembangkit batu bara, bahan bakar fosil yang paling kotor. (Andi/IN)



