INSPIRASI NUSANTARA--lego-lego yang ada di rumah adat Sulawesi Selatan (Sulsel) bukan hanya sebagai elemen arsitektur, tetapi juga sebagai ruang sosial untuk berkumpul dan berinteraksi. Ini mencerminkan bagaimana budaya nongkrong telah menjadi bagian penting dari kehidupan sosial masyarakat Sulsel sejak zaman dahulu.
Pada zaman dahulu, masyarakat Sulsel memanfaatkan lego-lego ruang terbuka di depan rumah adat—sebagai tempat berkumpul yang tidak memerlukan biaya. Di tempat ini, perbincangan ringan dan kebersamaan terjalin tanpa sekat, hanya dengan duduk bersama dan berbagi cerita.
Namun, seiring dengan peralihan zaman dan kemajuan teknologi, tempat nongkrong utama masyarakat kini banyak yang beralih ke warkop (warung kopi). Perubahan ini sangat terasa, terutama bagi Generasi Z (Gen Z) yang tumbuh besar dengan teknologi dan kehidupan modern.
Dalam jurnal antropologi yang mengulas fenomena ini, disebutkan bahwa peralihan budaya nongkrong ini dipengaruhi oleh tiga faktor utama: perkembangan teknologi, perubahan lingkungan, dan gaya hidup yang semakin mengarah pada kehidupan yang lebih praktis dan instan.
Faktor Teknologi dan Lingkungan
Teknologi, terutama dengan hadirnya media sosial dan ponsel pintar, memengaruhi cara orang berinteraksi di ruang publik. Nongkrong di warkop kini tak hanya soal berbincang tatap muka, tetapi sering disertai dengan penggunaan gadget yang memungkinkan perbincangan menyebar ke dunia maya, memperluas wawasan, dan terkoneksi dengan berbagai kalangan global.
Bagi Gen Z, yang sangat familiar dengan dunia digital, warkop menjadi lebih dari sekadar tempat ngopi. Itu adalah ruang untuk berinteraksi dan memperluas jaringan melalui media sosial atau aplikasi pesan.
Lingkungan warkop yang lebih modern dan nyaman juga lebih menarik bagi Gen Z, yang sering mencari kenyamanan dan estetika dalam setiap pengalaman sosial mereka. Di sini, mereka bisa menikmati kopi sambil berbicara tentang berbagai topik, dari hal-hal ringan hingga isu-isu yang lebih global.
Perbedaan Interaksi di Lego-Lego dan Warkop
Di lego-lego, interaksi terasa lebih sederhana dan lebih dekat. Tempat yang tanpa biaya ini memungkinkan siapa pun, dari berbagai lapisan sosial, untuk berkumpul dan berbicara tanpa banyak hambatan. Meskipun demikian, percakapan yang terjadi di lego-lego cenderung lebih terbatas, dengan topik yang sering kali berfokus pada isu lokal atau masalah pribadi.
Di sisi lain, interaksi di warkop, yang lebih populer di kalangan Gen Z, memungkinkan pembicaraan yang lebih luas dan terbuka. Topik-topik yang dibicarakan bisa beragam, mencakup isu politik, ekonomi, hingga tren dunia maya.
Namun, ada perbedaan signifikan dalam hal biaya; di warkop, setiap orang perlu mengeluarkan uang untuk menikmati fasilitas yang ada, sementara di lego-lego, tidak ada biaya yang harus dikeluarkan.
Positif dan Negatif dari Peralihan Budaya
Bagi Gen Z, peralihan dari lego-lego ke warkop membawa tantangan dan peluang. Warkop menawarkan kenyamanan dan fasilitas yang lebih baik—seperti koneksi internet, kenyamanan tempat duduk, dan suasana yang lebih “Instagrammable.”
Di sisi lain, peralihan ini membuka peluang baru dalam hal ekspresi diri dan pergaulan. Gen Z, yang sangat aktif di media sosial, dapat mengabadikan momen nongkrong mereka di warkop dan membagikannya dengan teman-teman mereka, memperluas jejaring sosial mereka secara digital.
Perubahan ini menunjukkan bagaimana tradisi dapat beradaptasi dengan teknologi dan gaya hidup modern, tanpa menghilangkan nilai-nilai sosial yang terkandung dalam kebersamaan.
Sumber :
Jurnal Antropologi Alliri, Budaya Lego-Lego ke Budaya Warkop di Watansoppeng, DOI: 10.26858/alliri.